Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Berburu Sampedas ke Jalan Penjara

December 29, 2024 18:09
Pondok Asam Pedas di Kota Pontianak, Kalbar (Foto: Rosadi Jamani)
Pondok Asam Pedas di Kota Pontianak, Kalbar (Foto: Rosadi Jamani)

Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)

HARI LIBUR. Jalan Penjara. Pondok Asam Pedas. Sebuah kombinasi yang terdengar seperti naskah drama murahan, tapi justru itu yang saya jalani hari ini. Mengajak istri makan siang dengan harapan sederhana, membuatnya bahagia tanpa ribet. Apakah berhasil? Kita lihat nanti.

Setibanya di Pondok Asam Pedas Kalimantan Barat, saya memesan ikan senangin asam pedas. Ini hidangan legendaris khas Melayu Pontianak. Saya menunggu dengan sabar, seperti pahlawan dalam kisah epik yang tahu bahwa ujung cerita akan membawa kemenangan. Tapi, tunggu dulu, jangan terburu-buru romantis. Bau rempah mulai menyeruak dari dapur, menusuk hidung, menggelitik perut. Harapan mulai naik seperti balon udara yang terlalu percaya diri.

Lalu, piring itu datang. Kuah merah menyala. Ikan segar. Aroma yang seperti puisi. Saya menatapnya dengan mata berbinar, seolah hidangan ini adalah tiket menuju kebahagiaan domestik. Istri saya tersenyum kecil, dan saya pikir, “Ah, ini dia momen kemenangan!”

Tapi mari kita jujur. Ini bukan soal makan. Ini soal eksistensi. Kuah merah kental itu adalah metafora hidup. Asam seperti cicilan yang tak kunjung lunas, pedas seperti komentar netizen dan hangat seperti pelukan yang jarang-jarang kita terima. Satu suap, dan rasanya seperti perjalanan spiritual ke masa kecil, saat nenek kita masak di dapur berasap, sambil memarahi kita karena main di sawah terlalu sore.

Ikan senangin ini lembut, tapi tangguh. Dagingnya seperti punya karakter, seperti berkata, “Aku telah berenang sejauh ini, kau pikir aku akan mengecewakanmu?” Tidak, wahai ikan. Kau tidak mengecewakan.

Namun, drama belum selesai. Pedasnya mulai menyerang pelan-pelan. Awalnya menggoda, seperti godaan belanja online saat tanggal muda. Lalu, tiba-tiba menyerang habis-habisan, seperti kenyataan hidup di akhir bulan. Mulut saya terbakar. Keringat mulai mengalir. Tapi anehnya, saya tidak berhenti makan. Kenapa? Karena hidup adalah tentang perjuangan, dan pedas ini adalah pengingat bahwa kita harus melawan sampai tetes kuah terakhir.

Ketika piring sudah bersih, saya menatap istri. Dia tersenyum, kali ini lebih lebar. Apakah ini artinya saya berhasil? Entahlah. Tapi setidaknya, hari ini saya menang satu ronde melawan harapan-harapan kecil yang sering kali lebih sulit ditaklukkan darihidup itu sendiri.

Ikan asam pedas. Jalan Penjara Pontianak. Hari libur. Sebuah tragedi komedi yang akan saya kenang sepanjang hidup.

#camanewak