HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Otobiografi sebagai Filsafat Sejarah

April 21, 2025 09:05
IMG-20250421-WA0002

Oleh ReO Fiksiwan

“Dari semua kesengsaraan manusia, yang paling pahit: tahu banyak hal namun tak punya kendali atas apa pun.— Herodotus(484 – 425 SM).

HATIPENA.COM – Seorang filsuf dan arkeolog Inggris terkenal, R. G. Collingwood (1889–1943) yang mumpuni di bidang estetika dan filsafat sejarah, bisa dirujuk perintis otobiografi sebagai filsafat sejarah.

Selama periode 1950-an dan 1960-an, filsafat sejarahnya, khususnya, menjadi pusat perhatian dalam perdebatan mengenai hakikat penjelasan dalam ilmu sosial dan, akhirnya, apakah penjelasan dapat direduksi menjadi penjelasan dalam ilmu alam.

Terutama, melalui upaya interpretatif W. H. Dray, karya Collingwood dalam filsafat sejarah dianggap sebagai penawar yang ampuh terhadap klaim Carl Hempel tentang kesatuan metodologis.

Sebagai penulis dua risalah terpenting dalam metafilsafat — ditulis pada paruh pertama abad kedua puluh — An Essay on Philosophical Method (1933), dan An Essay on Metaphysics (1940) — keduanya berisi diskusi berkelanjutan tentang peran dan karakter analisis filosofis.

Selain itu, keduanya sebagai metode filsafat berbeda tidak dapat disederhanakan menjadi metode ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan eksakta.

Ia sering digambarkan sebagai salah satu Idealis Inggris, meskipun label tersebut gagal menggambarkan jenis idealismenya yang khas, yang lebih bersifat konseptual daripada metafisik. Karena itu, untuk pembelaan atas gagasannya, di bab enam Otobiografi-nya, ia perlu menulis: Kebusukan Reakisme.

Dalam korespondensinya dengan penulis The Concept of Mind(1949), Gilbert Ryle(1900-1976), Collingwood sendiri secara eksplisit menolak label “idealis.”

Ia pun tak mendukung asumsi rasionalis yang membentuk banyak idealisme Inggris pada akhir abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh.

Berikutnya, Collingwood butuh tiga bab — 7. Sejarah Filsafat; 8. Kebutuhan atas Filsafat Sejarah; dan 10. Sejarah sebagai Pengenalan Diri atas Pikiran — memungkas otobiografinya sebagai kritik filsafat sejarah atas benturan pekat atas realisme vs idealisme hingga abad-20.

Sejak pertengahan tahun tiga puluhan dan seterusnya, karya Collingwood semakin terlibat dalam dialog dengan aliran filsafat analitik yang baru muncul dan jadi gagasan awal rekannya, Gilbert Ryle.

Dalam An Essay on Metaphysics (1940), ia menyerang asumsi neo-empiris yang lazim dalam filsafat analitik awal dan menganjurkan transformasi logis metafisika dari studi tentang keberadaan(ontologi).

Ontologi — studi tentang praanggapan absolut atau prinsip heuristik, yang mengatur berbagai bentuk penyelidikan — merupakan sanggahan utama otobiografinya dalam menabalkan tiga konstruksi filsafat sejarah(alam): pengenalan(self knowledge), pemahaman(konsepsi) dan pengalaman(naturalisme). Untuk yang terakhir, dibutuhkan dua bab: 9. Dasar-Dasar Masa Depan; 12. Teori dan Praktek.

Dengan demikian, Collingwood menempati posisi yang khas dalam sejarah filsafat Inggris pada paruh pertama abad kedua puluh.

Ia menolak asumsi neo-empiris yang berlaku dalam filsafat analitik awal dan jenis metafisika yang ingin digulingkan oleh aliran analitis.

Reformasi logisnya terhadap metafisika juga memastikan peran dan pokok bahasan yang khas untuk penyelidikan filosofis.

Dengan demikian, jauh dari menganjurkan konsepsi filsafat yang sekadar terapeutik atau pembubaran filsafat menjadi analisis linguistik dengan cara filsafat bahasa biasa.

Untuk gagasan otobiografi sebagai filsafat sejarah, karya Collingwood, An Autobiography(1927), terjemahan Insight Reference(Filsafat Sejarah, Yogyakarta, 2004), dapat menjadi refleksi mendalam tentang hubungan antara pengalaman pribadi dan sejarah.

Melalui otobiografi ini, Collingwood tidak hanya membahas tentang sejarah sebagai disiplin ilmu, tetapi tentang bagaimana pengalaman pribadi membentuk pemahaman kita tentang sejarah itu sendiri.

Tiga hal yang terungkap dari buku ini mencakup:

1) Pengalaman Pribadi:
Hubungan kompleks antara pengalaman pribadi dan sejarah merupakan basis data yang otentik, dinamis dan aktual.

Karena itu, semua pengalaman pribadi menjadi titik tolak siapapun membentuk pandangan tentang dunia dan menjadi fondasi bagi pemahaman sejarah.

Sebut saja, pengalaman para filsuf dan nabi. Socrates, Plato, Aristoteles serta Musa, Yesus, Muhammad maupun Siddartha dan Konghucu.

Pengalaman-pengalaman yang kita alami membentuk perspektif kita tentang masa lalu dan bagaimana kita memahaminya, terutama bagi generasi mendatang, hakikat nilai dan makna yang dikandungnya.

Pengalaman hidup dalam lingkungan yang beragam
budaya dan sosial, telah membuka mata kita
terhadap kompleksitas sejarah dan bagaimana
sejarah dapat dipahami dari berbagai perspektif.

Pengalaman-pengalaman ini, pun telah
mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat sejarah
sebagai rangkaian peristiwa. Akan tetapi, sebagai
hasil dari interaksi manusia yang kompleks dan
dinamis.

2) Tafsir:
Selain itu, Collingwood menekankan bahwa sejarah
adalah proses pemahaman dan interpretasi(tafsir) yang terus-menerus dan perlu dilakukan berulang-ulang(repetitif).

Ia berpendapat bahwa sejarah bukan hanya tentang peristiwa masa lalu. Tapi, tafsir aktual dan mutakhir tentang bagaimana kita, sebagai individu, memahami dan menginterpretasikan peristiwa tersebut berdasarkan pengalaman pribadi kita serta diteruskan pada generasi berikutnya.

Collingwood juga menekankan bahwa sejarah adalah proses pemahaman dan interpretasi yang terus-menerus.

Sejarah bukan hanya tentang pencatatan peristiwa masa lalu. Tapi, tentang bagaimana kita memberikan hakikat dan makna pada peristiwa tersebut.

Sebagai langkah tafsir(interpretasi), sejarah adalah hasil dari pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan kepada masa lalu. Jawaban -jawaban yang kita temukan, pun akan membentuk pemahaman kita — dalam dan komprehensif — tentang sejarah.

Tafsir atas pemahaman tentang sejarah telah berkembang seiring dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada masa lalu.

Sejarah tidak pernah statis. Ia akan selalu berkembang seiring dengan perubahan perspektif dan pemahaman kita atas “dasar-dasar masa depan” sebagai peristiwa alam(iah).

Sikap selalu kritis dan reflektif dalam memahami sejarah, serta untuk tidak takut mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru, dapat membuka pemahaman yang lebih dalam dan komprehensif atas makna pengalaman dan pengetahuan.

3) Refleksi:
Dengan memahami hubungan antara pengalaman pribadi dan sejarah secara dalam dan komprehensif, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih jauh tentang kompleksitas sejarah dan bagaimana sejarah membentuk wawasan(Weltanschauung) kita sebagai individu.

Dengan demikian, otobiografi sebagai filsafat sejarah bukan hanya ihwal pengalaman pribadi. Jauh dari itu, perihal bagaimana pengalaman tersebut membentuk pemahaman tentang sejarah dan dunia.

Akhirnya, sebagai filsafat sejarah, refleksi dapat memberikan inspirasi dan wawasan luas bagi pembaca.

Terutama, memahami dan memaknai hubungan antara pengalaman pribadi dan sejarah, serta bagaimana semua itu dapat membentuk pandangan kita tentang dunia seluas-luasnya. (*)