HATIPENA.COM – Kebun Binatang Bukittinggi yang kini dinamai “Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan”, ternyata memiliki riwayat yang panjang. Dengan ribuan jenis satwa yang ada di dalamnya, masyarakat bisa melihat dan mengetahui berbagai jenis, mulai dari unggas sampai binatang buas.
A. Berawal Dari Kebun Bunga
Kebun bunga stormpark adalah cikal bakal Kebun Binatang Bukittinggi. Kebun ini terletak di salah satu gugusan bukit yang ada di kawasan Fort de Kock.

Bukit ini sangat dekat dengan Bukit Nan Tinggi (Pasar Atas Bukittinggi sekarang). Bahkan dapat dikatakan saling berdempetan namun dibedakan dengan dua puncak yang berbeda. Masyarakat menamainya Bukit Malambuang. Bukit ini adalah salah satu bagian dari lima bukit yang terdapat di pusat kota Fort de Kock.
Pada bagian lereng Bukit Malambuang banyak terdapat rumput dan ilalang. Disinilah masyarakat mengembala sapi, kambing dan domba milik orang-orang keling (India). Bukit Malambuang dihubungkan dengan sebuah jalan kecil yang curam dan sempit menuju dataran Pasar Banto.
Pada masa kepemimpinan Asistent Resident Tuan Telling dilakukan perbaikan jalan ini. Sehingga dapat dilalui kendaraan yang berjalan menuju Pasar Banto dan menjadi lebih mudah. Jalan ini kemudian diberi nama dengan Jalan Teleng (Mungkin diambil dari nama Tuan
Telling). Atau diambil dari kondisi kontur jalan miring, yang dalam bahasa minang teleng. Namun sekarang lebih dikenal dengan Pendakian Wowo.
Dalam perjanjian para penghulu Kurai Limo Jorong dengan pemerintah Hindia Belanda di tahun 1821, area Bukit Malambuang merupakan wilayah yang telah disetujui oleh para penghulu untuk diberikan pada Belanda. Berdasarkan hal itu Pemerintah Hindia Belanda dapat mengelola dan membuka daerah ini menurut keinginan mereka, karena hak atas tanah telah diberikan oleh nagari pada Belanda. Ditambah lagi dengan pengakuan atas keluarnya Surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No. 1 Tahun 1888. Yang berisi perluasan daerah Kota Bukittinggi yang dikuasai Belanda.
Dapat dikatakan bahwa kebijakan Nagari Kurai Limo Jorong saat itu menyebabkan tajua nagari ka Bulando (Terjualnya nagari pada Belanda).
Semenjak memiliki hak masuk dan berkuasa di Minangkabau, kelas-kelas sosial makin terlihat. Ada kelompok Eropa, Indo-Eropa, Cina, Nias/Batak, Tamil/India dan Minangkabau. Antar kelompok sosial memiliki orientasi tempat tinggal, perkumpulan, kelab dan arena permainan yang berbeda. Masyarakat Eropa memiliki standar dan kelompok yang jauh berbeda dengan kelas sosial lainnya. Mereka cendrung ekslusif dan tak mau bergabung dengan kelompok sosial lainnya.
Harga yang dikenakan kepada mereka dalam beberapa hal juga berbeda dengan masyarakat umum. Kelab perkumpulan dan hiburan, kolam renang, bioskop, hotel, bahkan pekuburan bagi kalangan ini jauh di atas standar kelompok sosial lainnya. Hal ini tampaknya mereka terapkan juga di area Bukit Malambuang, yang akan dijadikan kawasan ekslusif bagi bangsa Eropa di negeri jajahan.
Awalnya, setiap tindakan yang akan dilakukan Belanda di Bukittinggi, mereka akan meminta izin dan bermufakat pada penghulu-penghulu kurai. Akan tetapi beberapa waktu kemudian mereka langsung menguasai saja apa yang mereka inginkan.
Malahan Belanda pun memberi izin pada pihak yang mereka inginkan termasuk bukan orang kurai untuk mendirikan kedai-kedai di kawasan Fort de Kock. Hak dan kekuatan hukum atas lahan Bukit Malambuang membuat pemerintah Kolonial Belanda. Mereka berpikir untuk memanfaatkan area bukit ini.
Atas dasar keindahan alam yang mendukung, dan kekuatan yang dimiliki oleh Controleur Belanda di Bukittinggi yang saat itu dijabat oleh Storm Gravenzanden maka dibangunlah Taman Bunga di atas Bukit Malambuang pada tahun 1900. Sang Controleur terkesan dengan keindahan panorama di sekitar Bukit Malambuang yang tepat berada di seberang Bukit Jirek, tempat berdirinya Benteng Fort de Kock.
Dari atas bukit ini, pengunjung dapat mengamati bentangan alam di sekelilingnya yang bergelombang. Mulai dari pemandangan Gunung Singgalang, Gunung Sago, Gunung Marapi, Gunung Pasaman hingga Ngarai Sianok tersaji disekitar bukit ini. Keindahan panorama inilah yang membuat pemerintah Hindia Belanda kemudian membangun tempat ini sebagai wahana rekreasi.
Sementara itu di Padang, pada periode tahun 1909-1911 Belanda mulai berusaha mencari jalan agar memiliki dan mendapatkan tanah untuk alun-alun kota dengan mengusulkan pertukaran tanah pada penguasa militer (angkatan bersenjata) yang memiliki tanah relatif luas.
Tampaknya memang di kurun waktu itulah mulai muncul kesadaran untuk menata kota dan melengkapi dengan berbagi ornament kota yang lebih maju dan tertata. Pemerintah Hinda Belanda menamai tempat ini dengan Storm Park atau dalam penulisan Stormpark yang artinya taman atau kebun Tuan Storm. Storm sang petinggi kolonial di Bukittinggi pada masa itu tentu punya keleluasaan dalam mengatur wilayah ini. Orang-orang Minangkabau menyebut kawasan ini dengan “Kabun Bungo”.
Pada masa awal dikembangkannya kebun bunga ini tentu masih sangat terbatas sebagai taman atau tempat bersantai, namun di sana telah dibangun juga semacam rumah atau gazebo. Selain itu juga ada meja-meja taman yang di susun di Kabun Bungo. Penamaan kabun bungo (kebun bunga) ini tetap popular hingga tahun 1980-an.
Pekerja yang dikerahkan membersihkan kawasan Bukit Malambuang adalah orang-orang hukuman dari Lubuk Basung dan penjara di Kota Bukittinggi.
Mengenai kuburan yang dipindahkan, diberi ganti rugi pada pihak keluarganya sebanyak 5-20 Gulden118. Kebun Bunga ini lebih diperuntukkan sebagai tempat bersantai untuk penguasa Hindia Belanda di Bukittinggi atau para tamu dan pejabat kolonial. Karena area ini hanya sebagai tempat melepas lelah di sore hari maka tidak ada pengelola secara resmi yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial.
Stormpark telah ditata dan didesain sedemikian rupa untuk kepentingan para pejabat kolonial. Bahkan di tengah-tengah tanah lapang di puncak bukit dibuatlah sebuah lapangan tenis yang dinamai Lapangan Tenis Baan. Disini mereka bisa berolahraga dan bermain bersama keluarga, bahkan untuk para tamu pejabat yang bertandang ke Fort de Kock. (*)
Sumber : Buku “Kinantan Melintas Zaman” Sejarah Kebun Binatang Bukittinggi, 2023, Egypt Van Andalas.