Oleh ReO Fiksiwan
“Penolakan di atas semua ambiguitas. Sebab, saat melepaskan pegangan, hal itu tidak secara radikal memutus subjek dari apa yang mengancamnya. Sebaliknya, penolakan mengakui bahwa subjek berada dalam bahaya yang terus-menerus.”
Julia Kristeva (83), Powers of Horror (1980).
HATIPENA.COM – Tak terelakkan, era digital telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam perjuangan emansipasi perempuan.
Dengan adanya teknologi digital, perempuan memiliki akses lebih luas untuk memperoleh informasi, berkomunikasi, dan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial, budaya, politik dan ekonomi.
Berpijak pada digitalisasi emansipasi perempuan, perlu diajukan tiga kategori terkait pemutakhiran gagasan klasik tersebut.
Pertama, akses informasi dengan dukungan internet dan media sosial yang memungkinkan perempuan cepat memperoleh informasi tentang hak-hak mereka dalam pendidikan politik, budaya dan peluang ekonomi.
Kedua, komunikasi dan jaringan teknologi digital yang dimaksud, setepat mungkin makin mempermudah perempuan untuk berkomunikasi dengan lebih efektif, baik di level lokal maupun global.
Sehingga, hal ini akan memperkuat jaringan dan solidaritas perempuan. Dewasa ini, platform blogger dan vlogger perempuan tumbuh bak cendawan di jagat dunia maya (https://wartaeq.com/food-vlogger/).
Ketiga, partisipasi dalam ekonomi digital makin mengukuhkan kemandirian perempuan dengan memanfaatkan platform digital untuk memulai usaha, meningkatkan pendapatan, dan memperoleh kemandirian ekonomi(https://ukmindonesia.id/baca-deskripsi-posts/partisipasi-perempuan-indonesia-dalam-mendukung-ekonomi-digital).
Sementara, tantangan emansipasi perempuan di era digital meliputi tiga faktor penting:
1) Kesenjangan Digital:
Akses yang tidak merata ke teknologi digital dapat memperlebar kesenjangan antara perempuan yang memiliki akses dan yang tidak (https://indonesia.go.id/kategori/editorial/7406/mengikis-kesenjangan-gender-dalam-teknologi?lang=1).
2). Kekerasan Online:
Perempuan sering menjadi sasaran kekerasan online, seperti pelecehan dan ancaman, yang dapat menghambat partisipasi mereka dalam ruang digital (https://law.ui.ac.id/kekerasan-seksual-di-internet-meningkat-selama-pandemi-dan-sasar-anak-muda-kenali-bentuknya-dan-apa-yang-bisa-dilakukan-oleh-lidwina-inge-nurtjahyo/).
Banyak kasus-kasus yang menimpa perempuan justru dengan cepat mencuat ke permukaan akibat peran media digital yang gampang ditracing.
3) Stereotip dan Diskriminasi:
Stereotip gender dan diskriminasi masih sering ditemukan dalam ruang digital, yang dapat mempengaruhi kesempatan perempuan dalam berbagai bidang (https://m.kumparan.com/amp/sejarah-dan-sosial/11-contoh-stereotip-gender-yang-melekat-di-kehidupan-masyarakat-21c9A2Ikb8S).
Merujuk laporan UNESCO (1), perempuan masih menghadapi banyak tantangan dalam mengakses teknologi digital, termasuk kesenjangan akses dan keterampilan.
Demikian pula, riset Gurumurthy (2) menunjukkan bahwa perempuan dapat memanfaatkan teknologi digital untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam ekonomi dan politik.
Dengan kata lain, digitalisasi emansipasi perempuan menawarkan peluang besar untuk meningkatkan kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan pada semua level.
Namun, tantangan seperti kesenjangan digital, kekerasan online, dan stereotip gender perlu diatasi secara komprehensif dan mutualistik untuk memastikan bahwa perempuan dapat memanfaatkan literasi teknologi digital secara lebih optimal.
Dengan demikian, perempuan dapat menjadi bagian integral dalam membentuk masa depan yang lebih inklusif dan setara di era digital. Dan bukan menjadi obyek kapitalisme patriarki yang terus mengental di bawah hegemoni oligarki-oligopoli (utan). (*)
Rujukan:
(1) UNESCO. (2020). I’d blush if I could: closing gender divides in digital skills through education.
(2) Gurumurthy, A. (2019). Women’s economic empowerment in the digital economy. UN Women.