Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Aku Bagai Debu yang Tak Terlihat

April 23, 2025 12:53
IMG-20250423-WA0039

Oleh: A.Yudi dan Taufik
Alumni 3C SMP N 1 Bangil 1983

HATIPENA.COM – Setelah membaca tulisan Mas Wahyudi dan Mas Geger di grup Alumni 3C SMP Negeri 1 Bangil 1983, aku (Murdianingsih) menutup layar ponsel pelan-pelan. Ada sejumput keheningan yang menggantung di antara dinding-dinding dadaku. Kata-kata mereka begitu terang, seperti cahaya matahari yang jatuh di hamparan pasir—mengilap, hangat, menyentuh.

Namun anehnya, yang kurasa justru sesak. Bukan karena cemburu, bukan pula minder. Tapi karena aku merasa seperti debu—tak tampak, tak disebut, tak dielu-elukan. Hanya debu. Partikel kecil yang mudah diabaikan. Yang kerap disapu dari lantai, ditiup dari buku, dan dijauhkan dari pandangan.

Tapi semakin kurenungi, semakin aku paham… debu bukanlah kutukan.

Debu adalah bagian dari perjalanan. Ia menyelip di balik langkah-langkah petani yang pulang dengan wajah berkeringat, membawa harapan pada hasil panen. Ia menempel di jemari ibu yang memasak dengan cinta, menyiapkan sarapan meski tak pernah disebut dalam pujian. Ia ikut dalam peluh para guru, perawat, dan pekerja sunyi yang berjuang dalam senyap.

Debu juga adalah saksi. Ia tahu siapa yang bekerja dalam diam. Siapa yang berkorban tanpa panggung. Siapa yang memilih jalan lurus meski tak tampak megah.

Hari itu aku tak banyak menulis. Hanya satu kalimat singkat kuucapkan di grup:

“Hari ini aku belajar, bahwa menjadi debu bukan berarti tak berarti. Kadang, yang kecil justru menopang yang besar tanpa disadari.”

Tak ada balasan panjang. Hanya ikon jempol dari Mas Wahyudi. Lalu kutipan dari Mas Geger: “Sesungguhnya Allah tidak menzhalimi seseorang walau sebesar zarrah (debu), dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya…” (QS. An-Nisa: 40).

Aku tersenyum kecil.

Mungkin aku hanya debu.

Tapi aku adalah debu yang tahu arah angin.

Yang tahu kapan harus menempel, dan kapan harus pergi.

Dan dalam diam… aku pun ikut memberi arti.


Kerendahan hati atau tawadhu’, adalah inti dari semua ini. Debu adalah simbol dari jiwa yang rendah hati—yang tak menuntut dilihat, tapi tetap hadir memberi manfaat. Tokoh Skotlandia, James M. Barrie, pernah berkata, “Life is a long lesson in humility.” Hidup ini adalah pelajaran panjang tentang kerendahan hati.

Senada dengannya, Andrew Murray dalam bukunya Humility menegaskan, “Kerendahan hati adalah pengakuan bahwa segala yang kita miliki berasal dari Tuhan, dan kita tak memiliki kuasa tanpa-Nya.” Bahkan, dalam praktik kepemimpinan nasional, kerendahan hati menjadi etika penting, seperti yang terlihat dalam pertemuan Prabowo dan Megawati—menjadi simbol penghormatan dan pengakuan terhadap yang lebih tua dan berjasa.

Penelitian dari International Journal of Intercultural Relations juga menunjukkan bahwa kerendahan hati berperan dalam merawat hubungan lintas budaya dan mempererat komunitas lintas latar belakang.

Sementara dalam konteks spiritual dan sosial di Indonesia, jurnal dari STT Intheos menekankan pentingnya kerendahan hati sebagai jati diri, bukan hanya dalam relasi dengan Tuhan, tetapi juga dengan sesama manusia—sebuah karakter yang terus diperjuangkan oleh jiwa-jiwa yang tak mau menonjol, tapi tetap setia dalam kebaikan.

Sebagaimana tertulis dalam buku Kerendahan Hati: Dasar dan Jalan Menuju Kekudusan karya Adolphe Tanquerey, kerendahan hati adalah gerbang awal menuju kesucian. Tanpa itu, segala bentuk amal hanya menjadi pertunjukan.

Maka ya, mungkin aku hanya debu. Tapi debu yang diam-diam menjadi nutrisi di ladang-ladang kering. Debu yang menempel di wajah-wajah pejuang kehidupan. Debu yang ikut menuliskan kisah keikhlasan dalam kitab semesta.

Karena menjadi besar bukan soal terlihat…
Tapi soal memberi makna. (*)

menuliscerpenpramuka& persahabatan Cerpen ke-9