By. Jias Mengki
HATIPENA.COM – Di mata pagi yang baru menjelma,
angin menyisir sejarah bangsa,
seberkas cahaya turun dari langit,
menghidupkan nama yang tak pernah sempit.
Kartini hidup lagi bukan dalam buku,
tapi dalam langkah pejuang yang merindu
akan ilmu, ruang, dan suara,
dalam dunia yang tak lagi sama.
Ia tak mengenakan kebaya semata,
tapi hoodie, jaket, bahkan toga.
Ia menggenggam pena, dan juga kode,
membangun jembatan dari ide ke mode.
Kartini tak hanya bersuara di surat,
tapi kini berkicau di jagat digital cepat,
menyulut bara lewat tulisan dan vlog,
mengubah stigma jadi dialog.
Dulu ia berkata tentang emansipasi,
kini ia bicara tentang inklusi dan demokrasi.
Di meja rapat, di ruang kelas, di jalan-jalan,
Kartini hadir—bukan satu, tapi jutaan.
Ia berani, ia tegas, ia lembut sekaligus,
tak tunduk pada batas yang semu dan mulus.
Ia tahu, kemerdekaan bukan hadiah,
tapi warisan yang harus dijaga dengan tabah.
Kartini hidup lagi dalam detak kaum muda,
yang melawan bisu dengan suara.
Ia tak mati, tak pernah hilang,
namanya kini jadi gerakan yang gemilang. (*)
BNA, 23042025