Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Ketika Penertiban Jadi Ajang Pertunjukan

April 24, 2025 14:15
Wakil Bupati Tulang Bawang Hankam Hasan bersama Satpol PP saat melakukan penertiban pedagang kaki lima di depan Pasar Modern Unit II Banjar Agung (Foto: Tangkapan Layar,Viral)
Wakil Bupati Tulang Bawang Hankam Hasan bersama Satpol PP saat melakukan penertiban pedagang kaki lima di depan Pasar Modern Unit II Banjar Agung (Foto: Tangkapan Layar,Viral)

Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung

HATIPENA.COM – Pendekatan pemerintah daerah dalam menertibkan pasar mengalami evolusi yang cukup signifikan. Bukan lagi mengedepankan musyawarah atau pendekatan partisipatif, melainkan langsung bergeser ke metode sparring ringan ala UFC. Seperti di Pasar Modern Unit II Banjar Agung, Tulang Bawang. Pemeran utamanya? Wakil Bupati Hankam Hasan, yang hadir bersama aparat dan amarah yang tampaknya sudah dipanaskan sejak pagi hari.

Skenario di lapangan berlangsung dramatis. Para pedagang ikan yang biasa menggelar dagangan di bahu jalan digiring untuk pindah ke lokasi yang disebut telah disiapkan oleh pemerintah. Namun sebagaimana sinetron dengan rating tinggi, konflik tentu menjadi elemen wajib. Ketika beberapa pedagang menolak, suasana nyaris berubah menjadi arena adu jotos. Untung saja, aparat TNI dan Polri yang berjaga mampu melerai – meskipun barangkali mereka sendiri sempat bingung: “Kami ini sedang menjaga ketertiban, atau justru ikut syuting reality show?”

Tapi memang begitulah uniknya negeri ini. Sudah disediakan lapak yang nyaman, teduh, strategis, eh, malah pilih jualan di trotoar. Seolah-olah trotoar itu bukan buat kaki manusia, tapi kaki ikan. Kadang kita lupa, bahwa pejalan kaki juga punya hak—tapi ya siapa suruh hak mereka nggak bisa dijual per kilo?

Tapi ya, mari kita akui dengan jujur. Menjual dagangan di trotoar itu sudah seperti bagian dari warisan budaya tak benda. Mau ditertibkan pakai baliho, spanduk, atau bahkan seminar, tetap saja kaki lima akan menemukan jalannya sendiri. Seolah trotoar itu bukan milik publik, tapi tanah adat yang diwariskan turun-temurun dari pedagang sebelumnya.

Mungkin memang mereka belum tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa trotoar itu sebenarnya buat orang jalan kaki. Tapi kalau ada yang nekat protes? Wah, bisa jadi drama episodik. Pedagang biasanya akan langsung pasang wajah tersinggung level dewa, sambil bilang, “Kami ini cuma cari makan, bukan cari kaya!” – dengan suara serak-serak basah dan kadang bonus tatapan maut. Kalau beruntung, ada yang sambil ngacungin parang, atau minimal kepalan tangan yang lebih keras dari argumen di DPR.

Trotoar di negeri ini adalah ruang kompromi yang aneh: pejalan kaki, pedagang, tukang parkir, sampai kadang motor-motor yang salah jalan, semua berebut ruang. Saking padatnya, kadang pejalan kaki terpaksa turun ke jalan, dan mobil-mobil pun mulai mikir, “Apa kita pindah ke trotoar aja, ya?”

Di sisi lain, niat pemerintah daerah sebenarnya mulia. Mereka ingin pasar terlihat bersih, rapi jali, konclong – kayak piring yang baru dicuci pakai Mama Lemon. Visi mereka adalah menghadirkan tata ruang kota yang tertib, sehat, dan tentu saja… instagramable. Biar kalau jalan-jalan sama dinas pusat atau tamu dari provinsi, nggak malu-maluin. Tapi ternyata, niat baik itu tak selamanya disambut baik. Apalagi kalau niatnya datang bersama rombongan aparat dan satu dua nada tinggi.

Dan seperti adegan klasik sinetron, muncullah suara rakyat yang disakiti hatinya, “Dulu waktu mau pilkada, ngemis-ngemis minta suara rakyat! Minta dukungan pedagang kaki lima! Sekarang setelah duduk, kami malah ditendang!”

Tapi ya, beginilah pola klasik kekuasaan di negeri ini. Dari bupati hingga presiden, semua akan mengalami fase metamorphosis, dari rakyat kecil yang merakyat, menjadi pejabat yang gemar merapikan rakyat. Dulu datang ke warung dengan sandal jepit dan senyum tulus, sekarang datang dengan rombongan dan walkie talkie. Dulu ngajak selfie bareng, sekarang ngajak relokasi.

Tapi ya, ini juga serba salah. Pemerintah suruh masuk ke dalam pasar modern, tapi nggak kasih tahu bahwa di dalam itu bukan surga, tapi jebakan batman. Masuk ke dalam bukan berarti dagang jadi tenang. Justru di sana, mereka harus bayar sewa, bayar listrik, retribusi ini-itu, uang keamanan (yang kadang nggak aman-aman amat), bahkan ada yang harus setor buat karcis yang gak pernah dicetak. Tagihannya lebih panjang dari pasien BPJS di rumah sakit.

Akhirnya, si pedagang kaki lima yang tadinya cuma cari nafkah jadi korban sistem. Bukan malah untung, tapi buntung. Jangankan dapet untung buat makan anak istri, buat bayar cicilan pinjol aja ngos-ngosan. Saking stresnya, ada yang sampai bilang, “Masuk pasar modern? Itu mah bukan solusi, itu undangan bunuh diri massal!”

Lalu timbul pertanyaan menarik, “Mengapa Wakil Bupati turun langsung?” Apakah Satpol PP sedang cuti bersama? Apakah kepala daerah kini harus ikut mengatur parkir dan membuka lapak agar bisa masuk daftar best leader of the year?

Atau barangkali – dan ini semata dugaan, tentu saja – semua ini bagian dari upaya membangun citra. Siapa tahu, kehadiran Wakil Bupati bukan semata demi ketertiban pasar, tetapi demi ketertiban elektabilitas menuju 2029. Dalam era digital seperti sekarang, kehadiran di lapangan bisa lebih viral daripada rapat evaluasi.

Barangkali ini latihan sebelum tampil di panggung yang lebih besar. Syukur-syukur nanti bisa mendampingi figur muda dalam kontestasi berikutnya. Ups—keceplosan. Tapi bukankah segala kemungkinan selalu terbuka di republik yang penuh kejutan ini?

Jokowi dulu masuk gorong-gorong bukan sekadar cek saluran air, tapi juga membangun citra sebagai pemimpin yang down to earth – meskipun sebenarnya ya, siapa juga yang hobi masuk got kalau bukan karena kamera. Kang Dedi Mulyadi juga serupa, tampil di pasar, nyapa rakyat, bersih-bersih kali, semua jadi konten yang viral. Dan publik pun suka, karena ada kesan “pemimpin kita dekat dengan rakyat.”

Nah, problemnya jadi menarik ketika yang tampil bukan kepala daerah utama, tapi wakil. Posisi Wakil Bupati/Wali Kota itu memang sering “nggantung” – secara struktural penting, tapi dalam praktiknya bisa seperti figuran kehormatan. Jarang dilibatkan dalam keputusan strategis, tapi tetap harus hadir di acara pemotongan pita. Maka nggak aneh kalau banyak wakil kemudian mencari panggung sendiri, masuk pasar, bersihkan selokan, atau menertibkan pedagang sambil bawa kamera dan senyum ala influencer.

Tapi ini juga menunjukkan satu hal penting: demokrasi kita makin visual. Orang tak lagi cukup dinilai dari kebijakan, tapi juga dari gestur, frame, dan narasi yang bisa dijual ke publik. Pemerintah pun, mau tidak mau, harus ikut main di dunia yang algoritmanya lebih tajam dari kritik rakyat. (*)