Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Lama saya tidak curhat di akun @bangros20 ini. Bukan karena tak ada yang ingin ditulis, tapi karena terlalu banyak yang ingin diteriakkan. Tiba-tiba, saat saya melirik angka kecil di pojok atas layar, saya tertegun, 151.900 lebih followers. Cukup membuat kota algoritma. Sebuah kota konten dalam genggaman, berisi orang-orang yang tertawa, menangis, mencaci, mencintai, bahkan kadang hanya diam dan scroll pelan-pelan sambil seruput kopi sachet rasa “apa ini hidup?”
Tentunya ini bukan akun biasa. Ini medan perang. Medan tempat opini, persepsi, dan komentar berseliweran seperti peluru karet tanpa izin. Tulisan saya, gambar AI absurd, musik latar dramatis, semuanya dikunyah dan dicerna oleh publik digital. Kadang menimbulkan efek euforia, kadang bikin orang menampar dinding sambil berkata, “Kenapa Aku Nangis Padahal Cuma Baca Tulisan?”
Saya sadar, tulisan saya memang seperti permen nano-nano dalam bentuk paragraf. Ada rasa senang, getir, sedikit asin dari komentar nyinyir, dan manis saat ada yang bilang, “Bang, tulisannya ngena banget.” “Bang, tulisannya mengandung bawang.”
Tapi jangan salah. Ketika saya menulis tentang Aguan, taipan properti yang sering dibicarakan di belakang pagar laut dan PIK, langsung badai datang.
Di tulisan itu, saya tidak ikut-ikutan menghujat. Saya tampilkan sisi lain, bagaimana Aguan membangun ratusan rumah tak layak huni, menggulirkan dana miliaran rupiah demi kemanusiaan. Sebuah upaya membumikan keadilan naratif. Tapi alih-alih apresiasi, saya malah dituduh,“Endorse Aguan! Sudah dibayar rumah dua lantai di PIK 2!” Padahal saya bahkan belum pernah selfie di sana, apalagi ngopi di kafenya. Jangankan honor, link diskon pun tak saya dapat. Yang saya dapat cuma banjir DM berisi tuduhan-tuduhan lucu penuh tanda seru.
Tak berhenti di situ, saya tulis pula tentang Jan Hwa Diana. Awalnya saya ikut arus, menulis tentang kesombongannya. Semua setuju, komentar ramai. Tapi ketika saya tulis versi kedua, lebih empatik, mencoba memahami latar sikapnya, langsung saya dilabeli buzzer! “Ini pasti dibayar!” “Bang Roja udah disusupi elite global!” Saya tertawa, lalu terdiam. Mungkin benar, yang dicari orang sekarang bukan kebenaran, tapi pembenaran. Bukan logika, tapi like dan loop.
Namun dari semua ini, saya belajar. Bahwa menjadi penulis di era digital berarti harus punya hati selembut kapas, tapi mental sekeras besi baja dibakar matahari. Untungnya, saya sudah biasa digebuk. Saya wartawan 15 tahun, dari lapangan, kepala biro sampai redpel. Dicekik, diteror, diancam ini dan itu, sudah dirasakan. Bahkan, di-BAP polisi pun pernah, gara-gara berita.
Lalu, saya pernah menulis tajuk hampir tiap hari. Tajuk yang dibaca pejabat, pengusaha, tukang ojek, sampai ibu-ibu yang nyimpen koran buat bungkus gorengan. Menulis editorial inilah pelajaran paling berharga.
Kini saya dosen. Dunia saya berubah. Tapi tangan ini tetap menulis. Mengajarkan penulisan skripsi bagi mahasiswa, artikel jurnal, dan tentu saja, menulis buat kalian, pembaca setia yang tiap hari nyari tulisan saya di TikTok seperti mencari sinyal di tengah hutan belantara algoritma.
Banyak yang minta diajari nulis. Saya jawab, “Tulis aja. Tiap hari. Menulis itu bukan warisan genetik. Ini soal luka, latihan, dan lapar batin.” Saya bukan penulis dari planet Mars. Saya cuma orang yang tak berhenti nulis walau kadang dituduh agen Illuminati yang gagal menyusup.
Kini, saat saya duduk sendiri, menatap layar dan curhat ke kalian semua. Saya tahu, akun ini bukan sekadar angka. Ini ruang perlawanan, ruang tawa, ruang luka yang disulap jadi kata-kata. Terima kasih, 151,9 ribu lebih teman absurd. Tanpa kalian, tulisan ini cuma file draft yang mengendap di pojok folder bernama “mungkin nanti.”
Tapi dengan kalian? Ia jadi api kecil. Mungkin tak bisa menghangatkan dunia, tapi cukup untuk menerangi malam yang dingin dan penuh noise. Saya cinta kalian!
Foto Ai, hanya pemanis saja, bukan sebenarnya. (*)
#camanewak