Catatan Satire; Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung
HATIPENA.COM – Dalam dunia diplomasi, terkadang yang dikirim bukan sekadar pejabat aktif, tapi tokoh dengan jejak sejarah, keharuman reputasi, dan kekuatan aura tak kasat mata. Maka ketika Presiden Prabowo menunjuk mantan presiden Joko Widodo untuk memimpin delegasi ke Vatikan menghadiri pemakaman Paus Fransiskus, itu bukan keputusan biasa. Itu langkah politik yang penuh kehalusan batin dan kecanggihan strategi lintas diplomasi.
Sebab siapa lagi yang pantas? Jokowi, sang mantan presiden yang lebih sering tampil di majalah internasional daripada di berita gosip lokal, adalah simbol dari wajah Indonesia yang ramah, hangat, dan punya jam terbang tinggi dalam urusan pergaulan elite dunia. Dia bukan sekadar mantan presiden, dia ikon global dengan energi spiritual level Paus minus jubah putih.
Dulu waktu Paus Fransiskus datang ke Indonesia, siapa yang menyambut? Jokowi. Siapa yang ngajak keliling GBK naik motor listrik? Jokowi. Siapa yang ngajak makan siang sambil pamer batik? Masih Jokowi.
Bayangkan kedekatan mereka. Bahkan Paus sempat menyebut Jokowi sebagai “saudara dari timur dengan hati lembut.” Ini tentu bukan basa-basi, tapi pengakuan dunia.
Majalah TIME menggambarkan Jokowi sebagai pemimpin yang membawa semangat baru dalam demokrasi Indonesia, terutama karena ia adalah presiden pertama yang tidak berasal dari elit politik atau militer. Ia dianggap sebagai simbol harapan bagi reformasi demokrasi dan pemerintahan yang bebas dari struktur kekuasaan yang sudah mengakar.
Dengan pengakuan internasional seperti ini, tidak mengherankan jika Presiden Prabowo menunjuk Jokowi untuk memimpin delegasi Indonesia ke Vatikan. Pengalaman dan reputasinya di kancah internasional menjadikannya pilihan yang tepat untuk mewakili Indonesia dalam momen penting tersebut.
Maka wajar, sungguh wajar, bila Prabowo dengan kepekaan batin seorang negarawan, menunjuknya sebagai wakil negara untuk hadir di Vatikan. Karena ini bukan sekadar urusan politik, ini urusan rasa. Ini bukan sekadar pemakaman, ini perpisahan antar dua pemimpin yang pernah saling menaruh hormat di lorong-lorong sejarah.
Dan tentang bahasa? Jokowi tak perlu pandai berbicara Latin atau Italia. Sebab bahasa duka adalah universal. Satu pelukan hangat, satu anggukan tenang, dan satu senyum lirih dari Jokowi, sudah cukup untuk menyampaikan belasungkawa seluruh bangsa.
Tentu kita tak bisa menutup mata dari sosok lain yang juga bersinar di panggung republik, yaitu wakil presiden kita, Gibran Rakabuming Raka. Anak muda harapan bangsa, lincah di media sosial, dan punya IQ yang tinggi, seperti harga cabe di musim hujan.
Gibran adalah simbol generasi baru. Ia datang dengan gaya kekinian, berpikir cepat, bicara padat, dan kadang terlalu padat. Tapi itulah pesonanya. Di balik komentar “fufufafa” yang sempat mengguncang timeline, tersembunyi otak cemerlang yang mungkin sedang bermain teka-teki tingkat tinggi dengan rakyatnya.
Banyak yang bertanya, “Kenapa bukan Gibran yang ke Vatikan?” Jawabannya sederhana, “Karena dia terlalu muda untuk duka yang setua Vatikan.”
Di saat Jokowi melangkah penuh kedalaman, Gibran sedang mempersiapkan hal-hal besar lainnya, seperti hilirisasi digital, membangun koneksi diplomatik lewat instagram Story, mewacanakan green politics lewat desain tumbler pribadi, dan tentu saja, menjaga keseimbangan politik dalam negeri agar tetap gen-z friendly.
Kini generasi gen-z mulai terkesima, karena tiap langkahnya seperti drama Korea, kadang bikin bingung, kadang bikin baper, tapi tetap ditonton banyak orang. Dan siapa tahu, dari Solo ke istana, lalu ke panggung dunia, Gibran akan melangkah lebih jauh… asal jangan ke luar orbit.
Tapi ya namanya juga politik. Semua yang naik, bisa turun. Yang melesat, bisa nyangkut di kabel listrik. Yang disanjung, bisa jatuh, asal tetap pakai helm dan sabuk pengaman.
Karena kami percaya, Gibran bukan cuma anak Jokowi. Dia adalah anak zaman, yang kadang absurd, kadang fufufafa. Dan di era digital ini, dia seperti meme politik yang hidup, tak bisa di-pause, tak bisa di-skip, dan kadang muncul di timeline saat kita lagi puasa medsos. Dia mungkin belum fasih berdiplomasi di forum dunia, tapi siapa tahu, suatu hari dia pidato di PBB pakai analogi martabak Markobar dan semua delegasi tertawa lalu tanda tangan MoU.(*)