Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Sastra Pesantren dan Lembar-Lembar yang Luruh di Tanah Lampung

April 26, 2025 09:58
IMG-20250426-WA0057

Oleh: Wahyu Iryana

HATIPENA.COM – Di tengah derasnya gelombang modernisasi, sastra pesantren di Lampung seolah menjadi lembar-lembar tua yang mulai luruh dari ingatan kolektif. Padahal, sejak awal abad ke-20, para kiai di tanah ini telah menggubah syair, nadzhoman, dan manaqib dalam bahasa Arab, Melayu, dan Lampung, sebagai bagian dari metode dakwah dan transmisi ilmu-ilmu keislaman. Kitab-kitab klasik karya ulama lokal seperti KH. Ahmad Hanafiah dari Sukadana atau KH. Muhamad Nur, Raden KH. Muhammad Thaib yang dahulu dikaji rutin di surau dan langgar, kini lebih sering tersimpan di lemari kaca, berdebu dan tak tersentuh. Bila sastra adalah jantung kebudayaan, maka pesantren-pesantren kita telah lama mengalami aritmia yang sunyi.

Kondisi Kekinian: Di Antara Gawai dan Goresan Pena yang Terlupakan

Hari ini, santri lebih akrab dengan layar gawai daripada lembaran syair yang dahulu dibaca selepas Subuh. Budaya lisan yang menjadi tulang punggung sastra pesantren tergantikan oleh video pendek dan meme dakwah. Di sebagian pesantren, tradisi nadzhoman hanya tersisa saat Maulid Nabi atau Haflah Akhirussanah, itupun dengan teks-teks lama yang dibaca tanpa pemahaman mendalam. Para pengasuh pondok menghadapi dilema antara mempertahankan tradisi atau mengejar ketertinggalan digital. Akibatnya, sastra pesantren kehilangan ruang dan waktu ia menjadi warisan yang tak diwariskan.

Strategi Revitalisasi: Merajut Kembali Akar dengan Ranting Zaman

Revitalisasi sastra pesantren di Lampung menuntut pendekatan yang kontekstual, kolaboratif, dan berkelanjutan. Pertama, perlu dilakukan inventarisasi dan digitalisasi naskah-naskah sastra pesantren yang masih ada di pondok-pondok tua. Universitas dan pesantren dapat menjalin kerja sama melalui program penelitian dan pengabdian masyarakat. Digitalisasi bukan sekadar menyelamatkan naskah, tapi juga menjadikannya mudah diakses oleh generasi digital.

Kedua, sastra pesantren harus diintegrasikan dalam kurikulum lokal pesantren sebagai bentuk literasi religius dan kultural. Mengajarkan santri untuk menggubah syair Islami dengan bahasa mereka sendiri, mendorong lahirnya sastra pesantren kontemporer. Lomba-lomba karya tulis berbasis kitab klasik, pentas nadzhoman antarpondok, hingga pelatihan penulisan kreatif bersama sastrawan Muslim, bisa menjadi langkah konkret membangkitkan semangat literasi santri.

Ketiga, pemanfaatan platform digital seperti YouTube, TikTok, atau podcast untuk menyebarluaskan karya-karya sastra pesantren akan mempertemukan warisan lama dengan publik baru. Ketika santri membaca bait-bait Burdah diiringi gambus dan diunggah ke kanal dakwah, maka syair itu hidup kembali dalam bentuk baru.

Keempat, perlu kebijakan afirmatif dari pemerintah daerah dan Kementerian Agama dalam bentuk pendanaan, pelatihan, dan ruang tampil bagi karya-karya pesantren. Festival Sastra Pesantren Tingkat Provinsi bisa menjadi wadah ekspresi dan apresiasi. Bahkan, bukan tidak mungkin sastra pesantren menjadi produk unggulan ekonomi kreatif berbasis keislaman.

Menyulam Ulang Warisan yang Hampir Terkoyak

Menyelamatkan dan menghidupkan kembali sastra pesantren bukan sekadar proyek budaya, melainkan misi spiritual dan kebangsaan. Di balik setiap bait nadzhoman ada pesan tauhid dan akhlak. Di balik setiap syair, tersimpan semangat dakwah yang teduh dan humanis. Maka, mengangkat sastra pesantren adalah juga mengangkat harkat kemanusiaan yang berakar pada kearifan lokal dan ajaran Islam.

Lampung memiliki khazanah yang kaya. Dari Way Kambas hingga Gunung Pesagi, dari pesantren di Tulang Bawang Barat hingga lembaga taklim di pesisir Krui, terdapat potensi narasi dan estetik yang layak dikembangkan. Jangan sampai generasi mendatang hanya mengenal sastra pesantren dari catatan kaki buku sejarah atau dari skripsi yang tak pernah dibaca ulang.

Sastra pesantren di Lampung harus kembali menyala di kelas, di panggung, di layar gawai, dan terutama di hati santri. Karena pada akhirnya, yang akan abadi bukan gedung bertingkat atau akun media sosial viral, melainkan kata-kata yang hidup dan menghidupkan. Kata-kata yang ditulis dengan tinta cinta dan dibaca dengan cahaya iman.

Sebagaimana kata Imam Syafi’i, “Ilmu itu seperti hewan buruan, dan tulisan adalah tali pengikatnya.” Kini, sastra pesantren adalah buruan yang nyaris lepas. Sudah saatnya kita ikat kembali, kuat dan kokoh, sebelum ia benar-benar menghilang dari peradaban.

Penulis mencoba membuat Syair tentang Serambi Pesantren

Di serambi pesantren angin bersyahadat,
kitab-kitab tua berdzikir diam.
Kiai mengajar tanpa suara,
santri menulis dengan hati yang dalam.

Langit menggantungkan cahaya sabar,
matahari menetes dari ujung sajadah.
Pesantren tak hanya tembok dan pagar,
tapi semesta ilmu yang tak pernah lelah.

Bait-bait hikmah tumbuh dari tidur,
bersemi di dada, bukan sekadar huruf.
Sastra hidup dari dzikir yang jujur,
menyala di malam, mendidik di luruh.

Wahai zaman, jangan padamkan suara ini,
sastra pesantren adalah pelita abadi.

Penulis merupakan sejarawan sekaligus penyair UIN Raden Intan Lampung, Pegiat Sastra Pesantren