Oleh ReO Fiksiwan
“Dengan kebohongan, seorang manusia… menghancurkan martabatnya sebagai seorang manusia.“ — Immanuel Kant (1804-1824), The Metaphysics of Morals (1797).
HATIPENA.COM – Dua kasus yang berujung pada pandangan dan sikap moral — LM dan RK (https://www.viva. co.id/amp/showbiz/gosip/1817710-lisa-mariana-patok-harga-rp150-juta-sekali-podcast-netizen-lisa-blackpink-kali-lu) dan ijazah palsu (https:// rmol.id/hukum/ read/2025/04/26/ 664353/sangat-aneh-roy-suryo-dkk-dipolisikan-gegara-tuding-ijazah-jokowi-palsu) — merupakan fenomena pelik bagi moral hazzard publik.
Terlepas dari ujung kasus ini, relasi sains dan moral sedang diuji oleh evolusi, terutama, sains biologi menyangkut DNA “bayi haram“ dan keaslian dokumen cetak ijazah.
Untuk itu, perspektif sains moral bisa diacu pada buku Sam Harris (58), The Moral Landscape: How Science Can Determine Human Values (2010).
Menurut salah satu resensi (https:// creativeandcritical.net/reviews/books/the-moral-landscape-by-sam-harris) diungkapkan:
Argumen untuk landasan moral naturalistik yang melarutkan perbedaan antara fakta dan nilai, dan dengan demikian membuat kebenaran moral objektif dapat ditemukan — setidaknya pada prinsipnya jika tidak dalam praktik — harus melalui riset ilmiah.
Dalam hal teori moral, dan mengabaikan isu-isu metafisika tertentu, serta pengalihan buku dari teori moral, The Moral Landscape, merupakan retorika bagus yang mengemukakan argumennya dengan baik.
Dan sekali lagi, selain dari beberapa metafisikanya, banyak klaimnya tidak dapat dibantah ditilik dari kasus di atas.
Namun, miskin dan kering dari beberapa klaimnya dapat dibantah — meski dibarengi keberatan-keberatan atas bukti-bukti yang telah diajukan — umumnya tidak diantisipasi atau ditangani dengan baik secara proporsional dan profesional.
Dalam istilah praktis, ulasan lanjut buku ini kurang memadai membahas atau menjawab empat pertanyaan serius di bawah ini:
Pertama, seberapa banyak sains benar-benar dapat menentukan nilai versus filsafat?
Kedua, seberapa dapat diperoleh objektivitas moral benar-benar dalam praktik mengingat nilai-nilai manusia subjektif (filosofis) yang berbeda?
Ketiga, seberapa merugikankah gagasan umum tentang sains yang secara objektif menentukan nilai-nilai bagi otonomi manusia dengan segala selubung misterinya, seperti pasien “kesehatan mental” yang menolak voluntir, terutama dalam situasi yang sudah tidak aman? Juga, layaknya , LM, RK, JW. MS maupun AB.
Keempat, dapatkah konklusi ilmu moral hipotetis diterima secara umum. Atau, setidaknya ditafsirkan dan ditindaklanjuti dengan tepat oleh orang yang tepat?
Pada hakim khususnya, terutama pada pertanyaan-pertanyaan kunci tertentu, sehingga memiliki nilai sosial umum? (lihat: https://news.detik.com/ berita/d-7867887/jejak-pengacara-marcella-santoso-dan-ariyanto-bakri-tersangka-suap-hakim-tipikor/amp).
Menilik tiga kasus viral — bayi haram RK, ijazah palsu JW dan penyuap hakim, MS dan AB — tersangkut pasal moral timbang delik hukum yang menjeratnya, beberapa perspektif yang bisa dipetik dari buku ini mencakup:
/1/ Premis Utama
Meski pengaku New Atheist, Harris berpandangan bahwa moralitas dapat ditentukan oleh sains karena ada fakta objektif tentang apa yang meningkatkan kesejahteraan manusia.
Ia percaya bahwa pertanyaan moral memiliki jawaban yang benar dan salah berdasarkan fakta empiris tentang apa yang menyebabkan manusia berkembang.
/2/ Definisi Moralitas
Demikian pula, Harris mendefinisikan moralitas sebagai peningkatan kesejahteraan makhluk hidup.
Argumennya, bahwa nilai-nilai moral dapat dipelajari melalui metode ilmiah, sama seperti ilmu pengetahuan lainnya.
/3/ Kritik Relativisme Moral
Dengan menolak relativisme moral, Harris menyatakan bahwa moralitas subjektif dan relatif terhadap individu atau budaya.
Pandangannya, ada jawaban objektif untuk pertanyaan moral dan bahwa sains dapat membantu menentukan jawaban tersebut.
/4/ Peran Sains dalam Moralitas
Harris mengidentifikasi tiga proyek sains terkait moralitas:
- Sains dapat menjelaskan mengapa manusia berperilaku tertentu atas nama moralitas.
- Sains pola pikir dan perilaku yang baik yang dapat membantu menentukan apa yang benar dan salah berdasarkan fakta tentang kesejahteraan manusia.
- Terakhir, sains pun dapat membantu mengubah perilaku manusia menuju yang lebih baik.
Meski demikian, pandangan Harris menuai kritik dari beberapa filsuf dan ilmuwan bahwa ia terlalu menyederhanakan masalah kompleks dan tidak mempertimbangkan argumen filosofis yang sudah ada.
Beberapa kritik lain pun mempertanyakan kemampuan sains untuk menentukan nilai-nilai moral.
Apalagi, kasus-kasus hukum yang diam-diam, hulunya menagih tanggungjawab moral (lihat: https://youtu.be/GjwA_HhBu6U?si=1C1Yges7YzIOAkv_).
Meskipun mendapat kritik, buku Harris sebagai rujukan mutakhir di tengah merebaknya kasus-kasus hukum dan moral, juga mendapat pujian dari beberapa ilmuwan dan penulis terkenal, seperti Richard Dawkins (84), biolog-evolusioner, dan Steven Pinker (70), neuro-linguis.
Pujian mereka, Harris telah memicu perdebatan penting tentang hubungan antara sains dan moralitas. (*)