Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Di sebuah rumah tak berkoordinat di sudut Jakarta yang hanya bisa ditemukan dengan GPS versi Illuminati, Roja Belit mengumpulkan inner circle-nya. Rumah ini dijaga lebih ketat dari nuklir Iran; sinyal HP mental, CCTV berlapis-lapis, dan bahkan ada satpam yang katanya bisa mendeteksi kebohongan lewat kedipan mata.
Malam itu, Roja duduk di singgasananya, sebuah sofa buluk yang katanya bekas Presiden negara tetangga. Si Jangkung berdiri tegap, seolah-olah kalau ia salah laporan, mayatnya langsung jadi makanan buaya elit. Di ruangan itu hadir semua orang penting yang bisa dibeli, ketua influencer nasional yang jempolnya diasuransikan, ketua partai politik yang hobinya koleksi kasus KPK, jaksa, polisi, anggota DPR yang skor absensinya lebih parah dari murid bolos, pengacara kondang yang lebih sering tampil di infotainment dari di pengadilan, beberapa jenderal aktif yang berseragam seolah mau perang dunia ketiga, sampai ketua ormas yang setiap lima menit ganti nama.
Roja Belit tersenyum lebar, giginya berkilat kayak baru poles di tukang gigi jalanan. “Bagaimana perkembangan, anakku, Berry Belit?” tanyanya, suara setipis bisikan makhluk gaib.
Si Jangkung maju. “Pak, semua sudah aman. Berita korupsi quadriliun Pertamina sudah kita kubur lebih dalam dari makam dinosaurus. Media mainstream kita sudah setting, hari ini headline Lisa Mariana ngotot test DNA, besok 103 jenderal desak Gibran diganti pakai voting SMS, lusa ijazah palsu Jokowi muncul lagi kayak serial sinetron.”
Semua manggut-manggut seperti boneka dashboard. Roja Belit mencolek ketua influencer. “Kamu, pastikan topik korupsi receh viral. Kasus walid-nak-dewi-boleh itu trending, paham?”
Sang ketua influencer, mengenakan hoodie bertuliskan “Objektif Tapi Dibayar”, menjawab sambil menahan napas bau durian, “Tenang, Pak. Kita lagi siapin hashtag #KorupsiCintaku, biar netizen fokus marahin koruptor kelas teri.”
Roja mengangguk puas. Ia memandang ke pengacara kondang yang seolah siap ikut Puteri Indonesia dengan senyum selebar rel kereta api. “Sidang anak saya nanti…?”
Sang pengacara tertawa kecil seperti meremehkan hukum alam. “Sudah kita setting, Pak. Hakimnya temannya teman kita. Jaksa penuntutnya juga baru saja dapat promosi hotel berbintang. Kita pakai Pasal Ringan, KUHP bab Recehan, maksimal hukuman lima tahun. Bisa disulap jadi dua tahun pakai alasan Berry butuh healing inner child.”
Satu jenderal bersuara, mencoba menunjukkan relevansi. “Kalau ada demo, serahkan ke kita, Pak. Kita buat demo tandingan, rakyat cinta Berry Belit. Gratis kaos, nasi bungkus, dan honor Rp 50 ribu, dijamin rame.”
Roja Belit hampir meneteskan air mata terharu. Ia belum pernah merasa sehebat ini sejak sukses menghapus laporan 12 kasus pidana masa lalunya dengan satu tanda tangan. Sebelum rapat bubar, Roja berpesan, “Ingat, kunci kemenangan kita, distraksi maksimal, fakta minimal, drama nasional. Negara ini negara yang pinter bikin sinetron, bukan negara pinter cari kebenaran.”
Semua tertawa setuju. Tawa yang menggema, sarkastik, menyayat logika, dan entah bagaimana, terdengar sangat patriotik.
Sementara itu di luar, rakyat kecil masih sibuk bertengkar di kolom komentar, memperdebatkan siapa lebih jahat, maling sandal atau maling anggaran. Seperti biasa, cerita besar yang sesungguhnya, korupsi quadriliun yang bisa membangun seribu kota baru, lenyap seperti kentut di keramaian.
Roja Belit menyalakan cerutu, menatap langit-langit dengan puas. “Negara ini? Sudah kayak pasar malam. Yang penting rame. Yang penting jualan. Yang penting untung. Yang penting saya tetap Belit, dan tetap selamat.”
Malam itu, di rumah tanpa alamat, mereka semua sepakat, konspirasi adalah seni tertinggi dalam politik. Mereka, jelas, seniman-senimannya.
Disclaimer: Ini hanya fiksi, tidak ada di dunia nyata. (*)
#camanewak