Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Baru kali ini saya mendapat DM dari sebuah akun aneh. Seaneh-anehnya akun, minimal ada yang diikuti. Ini semua nol. Simak cerita saya ini sambil seruput kopi, wak.
Saat rebahan di sofa habis acara open house di rumah, sebuah DM masuk. Ia muncul tanpa salam, tanpa pamit, hanya menyisakan getar amarah dan aroma dendam pasif-agresif yang menggumpal di tiap katanya.
Inilah pesannya, kutipan aslinya, tanpa editan, karena keotentikan adalah harga mati:
“Kalau mau jd penulis konten seharusnya netral. Sy perhatikan tulisan anda ttg ijazah, Jika anda sebut tifa..bahasa aja bertendensi memuji…sedangkan ttg keaslian ijazah beberapa kali anda tulis asli bahkan pakai font ukuran besar ASLI…..
Dr sini sy lgsg bisa tau sesungguhnya anda pendukung anis dan geng plus tifa.
Shame on you. Cari makan dgn tulisan menggiring opini. Tidak tau malu. Wajar anda di bully beberapa lalu..”
Saya baca pelan-pelan. Hening. Lalu tertawa. Lalu tepuk tangan sendiri. Betapa dramatis! Betapa meyakinkan! Ini bukan pesan biasa, ini mantra sakti dari dunia bayangan.
Tapi mari kita telusuri lebih dalam. Akun pengirimnya? “Akun Tidak Ditemukan.”
Jumlah postingan? 0.
Mengikuti siapa? 0.
Pengikut? 0 juga.
Sungguh representasi sempurna dari ketiadaan yang berisik.
Lalu, saya mencoba membalas, karena saya ingin berdialog secara sehat. Tapi apa daya, balasan saya mental. Akunnya menghilang. Lenyaaaaaap seperti jin tertiup angin. Sepertinya ia adalah bagian dari Pasukan Lempar Batu Sembunyi Tangan (LBST)—divisi elite yang hanya muncul saat menyerang, lalu kabur sebelum disapa.
Isu yang ia komentari pun bukan sembarangan. Tentang ijazah Presiden Jokowi, isu yang sudah dibahas di ruang publik, dari podcast dokter Tifa hingga bantahan dari pendukung Jokowi. Saya menuliskannya lengkap, jelas, dan tegas: ASLI—ya, saya tulis dengan huruf besar karena memang aslinya ASLI. Lalu karena saya menyebut dr. Tifa, saya dituduh sebagai pendukung Anies dan anggota Geng Tifa.
Maaf, apakah sekarang font jadi alat ukur ideologi? Kalau saya tulis asli kecil-kecil, berarti saya netral? Kalau saya tulis miring, berarti saya masih ragu-ragu? Kalau pakai huruf sambung, berarti saya simpatisan PKK?
Mari kita sepakati satu hal, ini bukan kritik, ini nyinyir berkedok moral.
Saya heran, orang yang merasa terganggu itu bahkan tidak bisa menampakkan wajah. Ia tak berani hadir sebagai manusia utuh. Padahal saya, dengan nama jelas, akun asli, tulisan terbuka, berani berdiri menyampaikan pendapat. Saya tak pernah menyembunyikan jari di balik akun fake, karena saya tahu, keberanian bukanlah menyelinap dalam gelap dan berteriak “shame on you” seperti juri reality show gagal.
Saya tidak menulis untuk menyenangkan semua orang. Saya menulis karena saya percaya, literasi bukan cuma soal baca-tulis, tapi tentang berani berpikir. Kalau tulisan saya membuat seseorang merasa horor, mungkin karena selama ini ia tinggal di dalam gua narasi sendiri, lalu kaget ketika ada cahaya lampu sorot argumen.
Lucunya, pesan itu malah jadi pupuk buat saya. Yang mengira saya akan berhenti menulis karena satu DM hantu, sungguh meremehkan kenikmatan dibenci oleh akun tak bernyawa.
Justru karena pesan itu, saya makin ingin menulis. Makin ingin menyampaikan. Makin ingin memeriahkan keriuhan nalar.
Wahai “Akun Tidak Ditemukan”, terima kasih atas semangatnya. Tanpa kamu, tulisan ini mungkin tak pernah lahir. Tanpa kamu, saya tak tahu kalau ukuran font bisa jadi tuduhan politik.
Tanpa kamu, saya tak tahu kalau keberanian bisa semudah sembunyi.
Kepada semua yang membaca, teruslah berpikir, teruslah menulis. Kalau kau diganggu akun hantu, balaslah dengan satu, tulisan baru.
Sebuah pengalaman berharga. Pengalaman dapat DM aneh. Sebuah amunisi untuk saya terus menulis. Segala konsekuensi harus siap dihadapi demi semakin ramai orang melek literasi. (*)
#camanewak