Oleh: Ririe Aiko
HATIPENA.COM – Tanggal 2 Mei, yang setiap tahun diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional, semestinya menjadi momen reflektif bagi bangsa Indonesia. Namun, di tengah gegap gempita upacara dan spanduk bertema pendidikan, kita dihadapkan pada ironi yang nyata: anak-anak sekolah dasar kini lebih fasih melakukan goyang Velocity—sebuah tren TikTok viral—daripada memahami isi buku pelajaran atau menguasai kemampuan dasar literasi.
Fenomena ini bukan sekadar isu sepele atau sekadar “anak-anak sedang bermain.” Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tahun 2023 menunjukkan bahwa rata-rata anak usia 7–12 tahun mengakses media sosial lebih dari 3 jam per hari, sementara rata-rata waktu membaca mereka hanya 15–20 menit. Di sisi lain, berdasarkan laporan UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia berada pada peringkat 62 dari 70 negara—sebuah sinyal bahaya yang tak bisa terus diabaikan.
Goyang Velocity, dengan segala kecepatan dan daya tarik visualnya, adalah representasi dari budaya digital instan yang kini menggerus semangat belajar anak-anak. Mereka dengan mudah meniru gerakan yang viral, menghafalnya dalam hitungan menit, lalu merekam ulang dalam format video yang dibagikan ulang ribuan kali. Namun ketika diminta membaca dan memahami isi bacaan, mereka tampak kesulitan bahkan untuk merangkai satu paragraf utuh dengan pemahaman yang benar.
Fenomena ini bukan semata kesalahan anak-anak. Ia adalah cerminan dari bagaimana sistem pendidikan dan pola asuh di Indonesia belum mampu beradaptasi secara kritis terhadap arus zaman. Sekolah masih terlalu terpaku pada model ceramah satu arah. Buku pelajaran terlalu kaku dan tidak komunikatif. Sementara itu, orang tua pun sering kali menyerahkan pendidikan moral dan kognitif anak-anaknya pada layar gawai tanpa kontrol dan pendampingan.
Lantas, apakah ini berarti kita harus melawan tren digital? Tentu tidak. Justru sebaliknya: kita perlu merebut kembali ruang digital sebagai ladang baru literasi. Pemerintah dan pendidik harus mulai memproduksi konten edukatif yang menarik, memanfaatkan platform digital untuk menyajikan pembelajaran yang kontekstual, ringan, namun bermakna. Literasi tidak harus melulu berbentuk buku tebal dan kamus kata sulit. Ia bisa menjelma sebagai cerita interaktif, video pendek bermuatan nilai, atau bahkan tantangan digital yang mengasah nalar.
Hari Pendidikan Nasional tahun ini seharusnya menjadi alarm kolektif bahwa bangsa ini sedang menghadapi disrupsi budaya belajar. Ketika anak-anak lebih menghafal koreografi TikTok daripada teks Pancasila atau makna kata “empati”, itu artinya kita sedang membiarkan arah pendidikan dikendalikan oleh algoritma, bukan oleh nilai dan visi kebangsaan.
Maka, yang dibutuhkan bukan hanya slogan “Merdeka Belajar”, tapi juga strategi merdeka dari ketergantungan digital tanpa arah. Literasi harus dikemas semenarik Velocity—atau bahkan lebih. Hanya dengan cara itu, pendidikan kita bisa relevan di zaman ini, dan anak-anak kita bisa tumbuh bukan hanya sebagai peniru tren, tetapi sebagai pencipta masa depan. (*)