Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Di tengah gemuruh Piala Sudirman 2025, saat jutaan harapan rakyat Indonesia menggantung di atas net bulu tangkis, muncullah sosok wanita tangguh nan elegan bernama Siti Fadia Silva Ramadhanti. Wanita kelahiran Bogor ini tidak datang untuk sekadar tampil. Ia datang untuk berjuang, berkeringat, dan jika perlu runtuh demi Merah Putih.
Hari itu, Indonesia melawan Korea Selatan. Sebuah laga yang berat, penuh tekanan, dan dijalani dengan taktik mirip teater tragedi Yunani, intens, dramatis, dan penuh air mata yang tertahan. Tapi dari semua pemain yang turun, satu nama mencuat bukan karena menang, tapi karena mau capek dua kali. Ya, Fadia main dua kali. Sekali di nomor ganda campuran, lalu sekali lagi di ganda putri. Seolah-olah satu pertandingan internasional itu kurang berat, ia langsung ambil dua. Mungkin bagi Fadia, satu laga tak cukup untuk memuaskan hasrat nasionalismenya yang level dewa.
Bayangkan, wak! Orang biasa baru jalan ke dapur dua kali saja sudah ngos-ngosan. Sementara Fadia, dengan jantung penuh semangat Garuda, naik ke lapangan dua kali melawan pemain-pemain Korea yang teknik dan kecepatannya selevel anime. Di ganda campuran, ia berpasangan dengan Dejan Ferdinansyah. Hasilnya? Kalah. Tapi bukan kalah biasa. Ini kalah terhormat, kalah strategis, kalah yang penuh hikmah seperti kisah Nabi Yunus di perut ikan. Lalu, seolah belum cukup dihajar, dia masuk lagi ke lapangan di partai penentu, kali ini bersama Amallia Cahaya Pratiwi. Bertarung sampai rubber game, mengguncang lawan, menggugah bangsa, dan akhirnya… kalah juga. Tapi sekali lagi, ini bukan kalah karena lemah. Ini kalah karena beban negara memang tidak bisa ditanggung oleh pundak manusia biasa.
Fadia bukan manusia biasa. Dia adalah simbiosis antara otot, tekad, dan stamina level legenda. Sejak kecil, dia sudah ditempa di PB Djarum, bukan sekadar untuk jadi atlet, tapi jadi ikon ketangguhan yang bahkan Indomie pun tidak bisa saingi dalam hal konsistensi. Dulu ia pemain tunggal, lalu pindah ke ganda. Karena sepertinya dia sadar, beban hidup lebih ringan kalau dibagi dua. Tapi jangan salah, walau dibagi dua, perjuangannya tetap seperti ditarik lima.
Dalam hidup yang penuh scrolling TikTok dan drama Korea, Fadia hadir sebagai reminder hidup yang tidak selalu bisa di-skip. Perjuangannya di lapangan adalah drama sejati, tanpa script, tanpa back sound mellow, tapi dengan keringat dan napas yang terengah-engah seperti lirik lagu dangdut koplo. Dalam tubuh kecilnya tertanam mental baja, yang kalau ditaruh di microwave, bisa melelehkan logam lain saking panasnya semangat.
Ia adalah inspirasi bagi semua orang yang pernah merasa lelah dan hampir menyerah. Bahwa terkadang, kita harus maju dua kali meski tahu kalah dua kali. Bahwa terkadang, kemenangan bukan ditentukan oleh skor, tapi oleh berapa kali kamu rela jatuh dan tetap bilang “saya siap lagi.” Fadia tidak menang di lapangan, tapi dia menang di hati. Dalam dunia yang penuh headline clickbait dan netizen nyinyir, itu kemenangan yang tak ternilai.
Siti Fadia Silva Ramadhanti adalah bukti hidup bahwa kehebatan tidak selalu datang dalam bentuk medali emas, tapi bisa juga dalam bentuk napas ngos-ngosan dua kali dalam satu sore, demi bangsa, demi rakyat, dan demi shuttlecock yang pantang menyerah. Fadia bukan hanya pemain, dia adalah legenda yang diciptakan oleh keringat dan keinginan untuk terus maju, meski dunia berkata cukup.
Untuk kita semua, yang kadang merasa hidup terlalu berat padahal cuma disuruh ngumpulin tugas, Fadia adalah pengingat bahwa perjuangan itu bukan soal hasil akhir, tapi soal keberanian untuk terus mencoba, dua kali, tiga kali, bahkan jika perlu, sampai bulu tangkisnya pensiun lebih dulu dari semangatmu. (*)
#camanewak