Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Pemakzulan Wapres dan Penduduk Miskin, Kemana Energi Bangsa akan Digunakan?

May 5, 2025 08:46
IMG-20250505-WA0001

Dr. Wendy Melfa, SH.,MH
Dosen UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem)


HATIPENA.COM – Sejumlah purnawirawan TNI, yang ketika berdinas aktif mereka menduduki sejumlah jabatan dan berpangkat Jenderal berbintang empat hingga Kolonel, berkumpul dalam sebuah forum TNI dengan komposisi 103 Jenderal, 73 Laksamana, 65 Marsekal, dan 91 Kolonel.

Mereka mendeklarasikan delapan point pernyataan sikap terhadap kehidupan bernegara. Salah satu yang kemudian menjadi isu kontroversial adalah point ke delapan, yaitu berupa usulan pergantian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui MPR.

Wacana atau Gerakan Politik

Berdasarkan dugaan, bahwa Putusan MK terkait Pasal 169 huruf Q UU Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan UU Kekuasaan Kehakiman, usulan mana disampaikan kepada Presiden RI Prabowo Subianto.

Sontak saja isu point ke delapan yang “dilempar” secara terbuka kepada publik, menjadi buah bibir dan pembahasan.

Sejumlah pemerhati dan pengamat, media, dikonfirmasikan kepada pemerintah dan sejumlah elit politik, juga mewarnai sejumlah pemberitaan media cetak, elektronik, situs dan laman-laman media sosial, yang dalam waktu singkat menyedot perhatian publik.

Materi isu berkaitan dengan posisi politik dan jabatan seorang wakil presiden yang sedang menjabat, yang juga merupakan anak Presiden Ketujuh RI Joko Widodo, yang baru beberapa bulan berakhir dari jabatan Presiden RI, namun keberadaannya masih sangat diperhitungkan dalam kancah politik nasional.

Isu politik itu dikemas dan dilempar ke publik oleh sejumlah nama-nama (pernah) beken di lingkungan TNI maupun pemerintahan. Dan isu itu pun kemudian menjadi isu politik nasional.

Dalam perspektif negara demokrasi, tentu setiap orang boleh berkumpul, punya pikiran dan pendapat, menyampaikannya kepada publik yang dijamin oleh Konstitusi UUD 1945.

Memakzulkan jabatan Wapres pun dimungkinkan serta diatur dalam konstitusi, baik kriteria maupun mekanismenya. Apalagi perjalanan politik bangsa kita pernah dua kali memakzulkan presiden yang sedang berkuasa, yaitu terhadap Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

MPR juga pernah menolak pertanggungjawaban Presiden Habibie. Artinya, secara politik dan ketatanegaraan Indonesia pernah mengalami proses politik pemakzulan presiden.

Gibran Rakabuming Raka (GRR), terpilih dan dilantik sebagai Wakil Presiden RI setelah dalam Pilpres 2024 yang lalu menang 58,6 persen suara bersama pasangannya Prabowo Subianto sebagai presiden.

Keduanya mempunyai legitimasi secara hukum dan politik yang kuat sebagai pemenang Pilpres untuk menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Ini terlepas ada proses-proses politik dan hukum yang masih menjadi perdebatan sebagian kalangan.

Isu Politik di Tengah Badai Ekonomi

Pikiran, pendapat, dan kemasan tentang pemakzulan posisi GRR sebagai Wapres RI ini, dilempar ke publik pada saat bangsa Indonesia menghadapi dampak dari relasi global atas perseteruan perang tarif perdagangan internasional yang melibatkan USA dan Tiongkok.

Sebagai negara penting di dalamnya, dampak global dari peperangan antara Rusia dan Ukraina, krisis ekonomi dan politik di Turki, gejolak harga minyak dunia, gejolak nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dollar AS, dan isu global lainnya.

Begitu juga kondisi di dalam negeri Indonesia, kebijakan efisiensi yang diambil pemerintah sebagai antisipasi kondisi keuangan dan neraca perdagangan yang sedang tidak baik-baik saja.

Ditambah lagi penilaian Bank Dunia secara resmi merilis pendapatnya dengan menggunakan dua acuan internasional untuk mengukur tingkat kemiskinan, pada tahun 2024 sekitar 60,3 persen atau sekitar 171,91 juta jiwa dari total 285,1 juta penduduk Indonesia tergolong miskin (IDN financials, 2/5/25).

Meskipun ada penurunan dibanding data 2003 yang mencapai 61,8 persen, dan juga mendapat tanggapan serius dari Kepala Badan Pusat Statistik (BPS); Global proverty line yang ditetapkan Bank Dunia tidak bisa serta merta langsung harus diterapkan oleh masing-masing negara.

Selain itu, BPS juga berpendapat bahwa garis kemiskinan Indonesia juga tidak sama untuk setiap provinsi sehingga penghitungan angka kemiskinan basisnya bukan national proverty line, melainkan angka kemiskinan di masing-masing provinsi (KumparanBISNIS, 30/4/25).

Bantahan Kepala BPS tersebut sesungguhnya belum ‘mengoreksi’ substansi akan kenyataan dari angka kemiskinan penduduk Indonesia versi bank dunia tersebut.

Pernyataan Bank Dunia tersebut serasa ‘petir disiang bolong’ dan ‘jauh panggang dari api’ bila disandarkan pada tujuan bernegara sebagaimana Pembukaan UUD 1945, untuk “memajukan kesejahteraan umum”, inilah tugas pemerintah sebagaimana ditegaskan dalam konstitusi kita.

Kondisi global dan dalam negeri senyatanya memosisikan bangsa kita pada situasi yang dapat dikategorikan sebagai badai ekonomi, yang manakala pemerintah, pelaku usaha, masyarakat secara keseluruhan tidak bıjak dan akurat menghadapinya, maka dapat berdampak lebih luas terhadap kondisi ekonomi kita. Dan bisa saja akan mengarah pada krisis kepercayaan dari pelaku usaha maupun masyarakat pada umumnya kepada pemerintah dalam mengatasi persoalan tersebut.

Energi dan Solusi

Bangsa yang besar ini tengah menghadapi problem yang tidak sederhana, dua isu nasional di antaranya berkait pemakzulan Wapres dan pernyataan Bank Dunia bahwa 60,3 persen penduduk Indonesia tergolong miskin.

Keduanya akan menyita “energi” bangsa, dan untuk saat ini bangsa kita akan pada posisi low battery untuk terus “menyala” bila energi yang terbatas dimiliki saat ini digunakan, jangankan untuk menyelesaikan dan keluar dari masalahnya. Bahkan, mungkin akan kekurangan energi hanya untuk mengurai masalahnya, kalo tidak mau kita katakan bahwa energi kita tidak akan cukup untuk itu.

Isu pemakzulan, meski diatur dan tertuang dalam konstitusi, bangsa ini pernah punya pengalaman memakzulkan presidennya saat berkuasa. Namun kita harus lebih cermat menggunakan energi untuk mengatasi isu ini. Selain UUD 1945 memberikan kriteria yang ketat, mekanisme pemakzulan juga membutuhkan “nafas” panjang serta melibatkan forum DPR, legal opinion dari MK, kembali ke DPR dan seterusnya.

Pertanyaannya, apakah dengan memakzulkan GRR sebagai Wapres, akan mengeluarkan bangsa ini dari persoalan atau sebuah langkah solusi substansinya?

Bukankah masih ada presiden yang otoritas menjalankan kekuasaan pemerintahan lebih mumpuni dibandingkan posisi kekuasaan Wapres baik secara konstitusi maupun secara sosiologis dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan saat ini. Generasi gen-z bilang, “gak ngaruh.”

Mengatasi isu penduduk miskin Indonesia yang mencapai 60,3 persen (World Bank), selain menjadi problem sosial karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, dan persoalan kesejahteraan penduduk Indonesia ini merupakan tujuan daripada berdirinya Negara Indonesia. Terlebih ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945.

Untuk mengatasi kemiskinan atau dengan kata lain bagaimana memajukan kesejahteraan penduduk Indonesia, menjadi tugas dan tanggung jawab kita semua dengan pemerintah sebagai lokomotifnya.

Pemerintah mengambil peran dan tugas besar membuat kebijakan, mengeksekusi, dan bertanggung jawab baik secara konstitusi maupun sosiologis dengan didukung oleh semua elemen bangsa.

Bukankah bangsa kita saat ini sedang mempersiapkan Indonesia Emas 2045, 100 tahun kemerdekaan Indonesia, masa gemilang yang akan menghantarkan Indonesia menjadi salah satu negara besar dunia, memanfaatkan bonus demokrafi yang tidak bisa diraih oleh semua negara lain pada waktu yang sama.

Bangsa kita mesti fokus menuju titik tersebut meskipun kondisi ekonomi global dan dalam negeri sedang tidak baik-baik saja. Kesemuanya ini membutuhkan perhatian, daya dukung, dan energi dari semua komponen bangsa.

Apabila kita bisa mengatasinya, maka problem kemiskinan akan kita atasi bersama, Indonesia keluar dari negara berpenduduk miskin saat akan memasuki “Indonesia Emas, naah kalo ini jelas ngaruh pake bangeed.”

Pilihannya ada pada kita, kehabisan energi untuk sesuatu yang belum tentu mencapai solusi, atau kita yang menentukan, keterbatasan energi kita ini akan kita gunakan untuk apa, tentu pilihannya pada hal yang lebih bermanfaat untuk bangsa, dan kita semua kita tahu mana yang lebih bermanfaat.

Dalam persepktif lain, isu pemakzulan bisa juga dipahami sebagai bagian dari “political game” dari para pemain dan elite politik yang digunakan sebagai ‘sandera’ menyusul adanya putusan MK yang menghilangkan Presidential Threshold, dan menyatakan semua Parpol peserta Pemilu dapat mengajukan calon Presiden/ Wakil Presiden pada Pemilu 2029 yang akan datang. Apakah dugaan ini mendekati kebenaran, hanya waktu yang bisa secara absolut menjelaskan ketika saatnya tiba. (*)