Oleh Mila Muzakkar
HATIPENA.COM – Suatu malam, lamunanku melayang ke masa kelas lima SD, di kampungku dulu. Pagi itu, dengan wajah kaget, tetanggaku menghampiri memberitahu bahwa ada darah di rok putih yang aku pakai. Seketika aku kaget dan takut. Aku baru saja kelas lima, tapi sudah mengalami menstruasi.
Di kampungku, menstruasi masih dianggap tabu, yang mengalaminya dianggap sudah mulai “besar” atau remaja. Jika yang mengalaminya adalah anak kecil, apalagi masih SD, itu di luar kewajaran, katanya. Mereka akan dianggap “centil, kegatelan, dan aneh”. Itulah yang aku alami, juga dialami banyak perempuan di berbagai belahan dunia.
Masih di masa SD di kampungku, tiga orang adik kelasku, tak lagi muncul ke sekolah karena dipaksa menikah oleh orangtuanya. Beberapa tahun kemudian, kudengar kabar duka, anak-anak yang dinikahkan itu mengalami KDRT, ada yang bercerai, ada pula yang meninggal saat melahirkan. Ternyata, bukan hanya teman-temanku yang mengalami, tapi juga anak anak lain, di berbagai belahan dunia.
Tahun 2017-2019, hampir tiga kali seminggu, aku mendampingi perempuan deportan yang diduga terafiliasi dengan jaringan teroris Islamic State of Iraq & Suriah (ISIS). Pada mereka, aku mendengar banyak cerita menyayat hati. Misalnya, beberapa di antara mereka tak tahu bahwa suaminya adalah teroris, atau sebagian mengaku terpaksa ikut dalam jaringan teroris sebagai bentuk kepatuhannya pada suami. Ada juga yang merasa tertipu karena dinikahkan oleh jaringan teroris secara online dengan laki-laki, yang ternyata telah memiliki beberapa istri.
Di Tiktok, seorang driver ojek online (ojol) perempuan curhat, sejak menjadi single parent dan menjadi driver ojol, hidupnya semakin sulit karena sering ditolak (dicancel), hanya karena ia perempuan. Sementara mereka adalah pencari nafkah utama yang harus membiayai anak, bahkan keluarga besarnya. Bukan lima orang, tapi puluhan perempuan mengaku mengalami hal yang sama.
Empat fakta di atas hanya secuil dari tumpukan penderitaan yang dialami perempuan di berbagai dunia, dari pelosok desa hingga di keramaian kota besar.
Kumpulan Puisi Esai dalam buku ini mengangkat enam belas kisah dramatis dan tragis yang dialami perempuan, yang masih jarang atau masih tabu dibicarakan di ruang publik. Sebagian aku tulis dalam bentuk Puisi Esai umum, sebagian lainnya ditulis menggunakan bantuan Artificial Intelegence (AI). Ilustrasi dalam buku ini juga aku buat menggunakan AI.
Secara berkala, hampir tiap hari, keenam belas Puisi Esai itu telah aku sebarluaskan di berbagai grup Whatsapp dan sudah dimuat di berbagai flatform media online.
Beberapa puisi aku tuliskan di rumah sakit, ketika sedang mendampingi suami terbaring sakit. Meski tak mudah, namun semua terbayar kepuasan dan kebahagiaan, karena ternyata Puisi Esai yang kusebarkan ini menuai banyak respons positif.
Beberapa mengaku terharu sampai menangis membaca Puisi Esai yang aku bagikan. sebagian menjapri mengucapkan terima kasih karena aku telah menuliskan kisah-kisah perempuan dalam alunan satra yang indah. Bahkan, ada yang mengirim pesan pribadi meminta nomor telepon dari salah satu tokoh yang kuceritakan dalam Puisi Esai itu. “Mbak, boleh minta nomor Bu Sutinah, perempuan driver ojol seperti dalam tulisan Mbak Mila? Ada teman yang mau berbagi sedikit rejeki ke Bu Sutinah,” katanya.
Dari situ, aku meyakini dan bersaksi, kisah-kisah nyata perempuan yang ditulis dalam balutan fakta dan imajinasi puitis, yang bernama Puisi Esai, menjadi penting dan darurat dilakukan. Perpaduan fakta dan balutan fiksi dalam Puisi Esai nyatanya lebih menyentuh hati dan empati, bahkan menggerakkan pembaca mengambil aksi nyata untuk membantu sesama perempuan korban budaya patriaki.
Puisi Esai menjadi cara baru yang lebih asyik dalam menyuarakan kisah-kisah kemanusiaan, seperti isu perempuan, dalam sajian yang lebih indah, mudah dipahami, menyentuh hati, dan mengandung call to action bagi pembaca.
Semoga Buku Puisi Esai ini menjadi saksi abadi bahwa dunia akan lebih indah jika semua manusia hidup kolaboratif dan harmonis. (*)
Salam