Oleh: Ririe Aiko
HATIPENA.COM – Maraknya tontonan anomali dengan karakter animasi absurd yang diproduksi menggunakan kecerdasan buatan (AI) kini menjadi ancaman tersembunyi di balik layar gawai anak-anak. Di balik warna-warni yang ceria dan tokoh-tokoh populer seperti Elsa, Peppa Pig, atau Spiderman, tersembunyi konten yang menyimpang, membingungkan, bahkan berbahaya. Konten semacam ini sering kali tampil di platform yang dikenal ramah anak seperti YouTube Kids, padahal banyak dari video tersebut mengandung elemen disturbing dan pesan yang tidak logis.
Dengan teknologi AI, para kreator konten kini mampu memproduksi ratusan video dalam waktu singkat. Suara karakter bisa dipalsukan, animasi bisa digerakkan otomatis, bahkan wajah tokoh kartun bisa dimanipulasi tanpa keterlibatan animator profesional. Sayangnya, teknologi ini kerap digunakan tanpa etika. Judul video dibuat seolah aman, namun isi di dalamnya memuat adegan kekerasan, konflik absurd, suara robotik yang mengganggu, hingga simbol-simbol yang tidak layak untuk dikonsumsi anak-anak.
Penelitian dari American Academy of Pediatrics (2022) menyebutkan bahwa anak-anak yang menonton konten digital tidak sesuai usia selama lebih dari dua jam per hari mengalami penurunan fungsi eksekutif otak. Ini termasuk kemampuan berkonsentrasi, berpikir logis, serta mengendalikan emosi. Efek ini diperparah pada anak usia di bawah tujuh tahun, ketika otak masih dalam tahap pembentukan dan sangat mudah terpengaruh oleh rangsangan visual dan audio.
Sementara itu, laporan dari Tech Transparency Project (2023) menemukan bahwa lebih dari 60% video bermasalah yang beredar menggunakan teknologi AI untuk memproduksi kontennya. Video-video tersebut bukan hanya lolos dari pengawasan moderasi digital, tapi juga dengan mudah masuk ke algoritma rekomendasi dan muncul di layar anak-anak secara terus-menerus. Ini menunjukkan bahwa tantangan terbesar bukan hanya pada jumlah konten, tapi juga pada kecepatan penyebarannya yang melampaui kemampuan deteksi manusia.
Anak-anak yang sering menonton tontonan anomali buatan AI mulai menunjukkan gejala seperti sulit fokus, gelisah, bahkan meniru adegan tak pantas yang mereka lihat. Psikolog anak dr. Diah Anggraini menyatakan bahwa stimulasi visual yang berlebihan dan tidak masuk akal dapat merusak persepsi anak terhadap kenyataan. Ketika karakter kartun yang mereka kenal berubah menjadi tokoh yang kasar, menakutkan, atau bersikap tidak pantas, anak mulai mengalami kebingungan antara dunia fiksi dan dunia nyata.
Tantangan ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada teknologi atau sistem moderasi platform digital. Orang tua perlu kembali menjadi penjaga utama layar yang dilihat anak. Waspadai video yang tampak lucu namun janggal, perhatikan perubahan perilaku anak setelah menonton, dan yang terpenting, hadir secara emosional dalam keseharian mereka. Tontonan bukan sekadar hiburan. Ia adalah pintu masuk informasi yang membentuk cara berpikir, merasakan, dan berperilaku. Di tengah gelombang konten AI yang tak terbendung, kewaspadaan adalah tameng terakhir yang kita punya. Jangan biarkan generasi masa depan tumbuh dalam kebingungan yang diciptakan mesin.(*)