Oleh ReO Fiksiwan
“Wir haben ihn getötet”
(Kita telah membunuh Tuhan)
“Gott ist wiederlegt, der Teufel nicht”
(Tuhan disangkal, Iblis tidak)
HATIPENA.COM – Dua kutipan ini telah dieja untuk mendaulat, sejatinya Friedrich Nietzsche lah kampiun filsuf “pembunuh Tuhan.”
Ia salah satu deklarator paling kejam atas kematian Tuhan sejak “Also Sprach Zarathustra” (1883) menyusul “Ecce Homo” (1888) dan “Antichrist.” (1895).
Tentu, memaknai Nietzsche sebagai jagal Tuhan, ateisme, sebatas menafsir ayat-ayat adiluhung yang bertebaran di ketiga bukunya sebagai „esai puitik“ dengan bahasa Jerman yang sangat memukau.
Jikapun dicari sedikit padanannya, bahasa teks Nietzsche punya similiritas dengan stilistika Chairil Anwar:
pilih kuda paling liar
pacu laju
tinggalkan kalau merayu.
atau:
Aku ini binatang jalang
dari kumpulannya terbuang
Aku ingin hidup seribu tahun lagi.
Tiap filsuf penyair, dengan stilistika — leitmotive dan fungsi emotif — dapat mengaktifkan bahasa asosiasi, imajinasi dan alusi-alusi yang menghentak dan menggerakkan.
Sekalipun, kadang hal itu ratapan perih di kedalaman jiwa — “aku dengar jerit hewan yang terluka“ (Rendra) — untuk menemukan, antara diksi Nietzsche: keabadian (Ewigkeit), kesendirian (Eisamkeit) dan kerinduan (Sehnsucht).
Diksi-diksi ini bertaburan hampir di tiap teks kalimat Nietzsche. Diksi yang menandai kritiknya pada moral budak (Herrenmoral).
Juga, serangan pada kejatuhan manusia (Untergang), sebelum mencapai adimanusia (Übermensch). Insan kamil, menurut Muhammad Iqbal.
Demikian hal, bagaimana mengatasi — melalui fasilitas akal puitis — kemerosotan (Übergang) yang menghimpit peradaban umat manusia:
“Das hinkt, das trägt des Teufels Huf”
(Si pincang yang mengepit kuku iblis)
“Gott liebt uns, weil er uns erschuft.
Der Mensch schuf Gott, sagt drauf ihr Feinen.” (Tuhan sayang, karenanya kita dicipta. Kita cipta Tuhan, katanya sebaik-baik saja).
Ringkasnya, kematian Tuhan Nietzsche, jika bertolak dari sejarah teks, bisa diasalkan pada teosofi puitik, metonomia, sebagai strategi literer.
Setidaknya, penyangkalan Tuhan „tekstual“ atau ateisme literer sangat terkait dengan transfigurasi obyek bahasa esoteris dan oksimoron.
Jonathan Culler (80), Structuralist Poetics (1975), dapat dipakai untuk penguasaan makna teks-teks Nietzsche (Jerman) yang lebih memadai:
“Gott ist tot; an seinem Mitleiden mit den Menschen ist Gott gestorben.”
(Tuhan mati karna belas kasihanNya pada manusia). (*)