Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Lama tak bahas korupsi. Saya kan pakarnya, sombong amat! Ups..Sambil menikmati gudeg di Jalan Wahidin, saya nak cerita kisah terbaru soal korupsi di negeri ini. Simak ya wak sambil seruput kopi.
Di negeri ini, korupsi bukan lagi sekadar tindakan tercela. Ia telah menjelma menjadi filsafat kehidupan. Sebuah jalan ninja. Gaya hidup. Misi suci yang diwariskan turun-temurun seperti resep opor ayam dari nenek. Dalam kitab suci pembangunan negeri, tertulis dengan tinta tak kasatmata, “Sesungguhnya, siapa yang menguasai anggaran, maka dialah penguasa dunia.”
Betapa tidak? Di lembaga pendidikan (tidak semua), tempat anak-anak bangsa belajar menulis cita-cita di atas kertas folio bergaris, korupsi diam-diam ikut mengajar. Ia hadir lewat pena tanda tangan fiktif, absensi palsu, dan pengadaan printer seharga satu sepeda motor. Anak-anak tak sadar mereka sedang hidup di dalam lab eksperimen etika, karena setiap kegiatan sekolah, ada biaya tak tercantum yang harus disetujui oleh “yang tahu aturan main”.
Di kantor-kantor, korupsi berdansa di antara lembar-lembar proposal. Ia tidak jahat. Ia hanya ingin ikut merasakan anggaran. Seperti kata pepatah kontemporer, “Kalau tidak bisa mengambil proyek, ya ambillah fee-nya.” Proyek-proyek itu pun bagai drama epik, pengadaan bibit mangga yang tidak pernah berbuah, pengaspalan jalan yang hilang tertelan hujan, dan pelatihan daring dengan peserta fiktif yang tetap dapat sertifikat. Inilah realisme magis versi APBN.
Lalu kita membuka mata dan melihat ke panggung dunia. Menurut survei U.S. News tahun 2025, Rusia kembali meraih gelar negara paling korup sejagat untuk ketiga kalinya. Selamat, Rusia! Sebuah pencapaian yang layak dirayakan dengan vodka dan nota palsu. Disusul Iran di peringkat kedua, Kolombia ketiga, lalu Meksiko, Zimbabwe, Myanmar, El Salvador, Ghana, Kamboja, dan Bangladesh. Mereka adalah para maestro, para seniman gelap yang membingkai kehancuran dengan rapih. Negeri saya, negeri ente, dan negeri kita Indonesia? Tenang, kita tidak terlalu buruk. Kita hanya di peringkat 37. Sebuah posisi yang cukup aman untuk tetap mencuri tanpa dicurigai, namun cukup rendah untuk tetap bisa menunjuk negara lain sambil berkata, “Lihat tuh, mereka lebih parah.”
Survei US News ini bukan sembarang survei warung kopi. Ia melibatkan hampir 17.000 orang dewasa dari 36 negara yang diminta memilih negara mana yang paling mereka asosiasikan dengan kata “korup.” Tentu ini bukan survei soal kebenaran, tapi persepsi. Seperti yang kita tahu, persepsi adalah kenyataan yang lebih nyaman. Apalagi kalau kenyataannya harus masuk KPK.
Sementara itu, Transparency International, organisasi pengamat korupsi kelas dunia, merilis CPI (Corruption Perceptions Index) tahun 2024. Sudan Selatan memimpin dari dasar dengan skor menyedihkan, 8. Diikuti Somalia (9), Venezuela (10), dan Suriah (12). Di antara reruntuhan moral itu, Indonesia berdiri tegak di urutan ke-68 dari 180 negara dengan skor CPI 37. Sungguh angka yang cukup untuk lolos remedial, namun tidak cukup untuk dapat beasiswa integritas.
Kita bisa saja bilang, “Yah, minimal kita bukan Sudan Selatan.” Tapi bukankah itu seperti membanggakan diri karena tak separah maling kambing padahal baru saja nyolong sapi?
Indonesia, negeri kita tercinta. Di sinilah korupsi bukanlah musuh, melainkan mitra strategis dalam pembangunan. Ia tidak membunuh. Ia hanya memeluk terlalu erat. Dalam dekapan itulah kita hidup, tersenyum, dan berharap suatu hari nanti… bisa naik ke peringkat 20 besar. Karena seperti pepatah baru, makin tinggi peringkat korupsi, makin besar peluang masuk berita.
Apa kabar Liga Korupsi Indonesia? Kasus Pertamina, diam toh. Kantor Kejaksaan dijaga tentara. KPK asyik memburu curut saja, sang big bos aman sentosa. Semua aman dalam balutan korupsi. Ente bila terancam KPK atau Jaksa, segera masuk partai, dijamin ngeper tu APH. Sekali lagi inilah negeri saya, negeri ente, negeri kita, di mana korupsi sudah menjadi budaya, local wisdom. (*)
#camanewak