Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Terpojok, Roy Suryo dan dr Tifa Lapor KomnasHAM

May 24, 2025 12:48
IMG-20250524-WA0033

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA – Untuk ukhti atau bunda, kita tinggalkan debat soal hijab ya. Sekarang kembali ke laptop, ijazah Jokowi. Roy Suryo dan dr Tifa merasa dikriminalisasi lalu lapor ke KomnasHAM. Sinetron makin seru, siapkan kopinya lagi, wak!

Roy Suryo dan dr. Tifa bisa dikatakan aktor utama di balik hebohnya ijazah ayah Gibran. Ya, dua tokoh ini seperti tokoh antagonis dalam sinetron politik panjang, yang tak kunjung tamat meski rating sudah turun. Setelah wara-wiri menyuarakan bahwa ijazah Joko Widodo palsu, dengan semangat investigasi yang lebih membara dari National Geographic, mereka kini merasa diperlakukan tidak adil. Lalu ke mana mereka berlari? Ke Komnas HAM, tentu saja. Tempat suci terakhir bagi mereka yang merasa dizalimi, dikhianati, atau minimal sedang trending.

Roy Suryo, mantan menteri, pakar telematika, dan pahlawan digital zaman Friendster, bersama dr. Tifa, pejuang nalar yang kerap berdiri di simpang antara ilmu pengetahuan dan mistisisme politik, kini menuding negara telah mengabaikan hak asasi mereka. Mereka mengaku dikriminalisasi. Diproses terlalu cepat. Ditangani seperti paket kilat. Sementara laporan mereka sendiri masih antre entah di loket mana. Maka, panggung pun berpindah dari balai pers ke ruang Komnas HAM, dengan narasi yang lebih filosofis, ini bukan lagi soal dokumen, ini soal hakikat kebenaran dalam republik demokrasi.

Bayangkan, dalam semesta yang katanya konstitusional, mempertanyakan keaslian ijazah seseorang bisa menyeretmu ke jalur hukum. Tapi jika ijazah itu milik Jokowi, maka yang menyeretmu bukan cuma hukum, tapi juga opini publik, buzzer, bahkan algoritma Tiktok. Roy dan Tifa menantang semua itu. Bukan dengan senjata, tapi dengan laporan PDF, analisis aksara, dan keberanian yang, menurut sebagian orang, terlalu percaya diri.

Yang lebih epik, mereka tak main-main. Jika keadilan tak ditemukan di Jakarta, mereka bersumpah akan membawanya ke dunia internasional.

Mahkamah Internasional, Komisi HAM PBB, atau mungkin ke planet lain yang belum mengenal UU ITE. Ini bukan lelucon, kata mereka, ini jihad epistemologis. Sebab bagi mereka, negara ini bukan hanya kehilangan keberanian bertanya, tapi juga kehilangan logika menjawab.

Sementara itu, Bareskrim dengan gagah berani memproklamirkan bahwa ijazah Jokowi asli, telah melewati uji forensik, seperti benda pusaka yang telah dibersihkan dari segala prasangka. Istana menegaskan, tuduhan ini bukan cuma ngawur, tapi kelewat batas. Roy dan Tifa, tentu saja, tidak mundur. Karena dalam dongeng seperti ini, tokoh utama tak boleh menyerah sebelum episode terakhir.

Ini bukan sekadar drama hukum. Ini saga eksistensial tentang dua warga negara yang merasa bahwa narasi mereka dikubur hidup-hidup oleh negara yang terlalu sibuk membenahi citra. Ini tentang absurditas peradaban yang menjadikan ijazah sebagai senjata pemusnah massal, bukan alat ukur intelektual.

Ketika kebenaran sudah tak lagi cukup seksi untuk diberitakan, Roy dan Tifa tahu satu hal, hanya dengan membuatnya epik, dunia akan mendengar. Maka mereka naik ke panggung global, bukan sebagai pencari sensasi, tapi sebagai karakter utama dalam tragedi postmodern berjudul Negara yang Marah Karena Ditanya.

Sementara itu, rakyat menonton, kopi liberika di tangan, bertanya-tanya, siapa yang benar, siapa yang lebay, dan siapa yang hanya menunggu kontrak podcast berikutnya. (*)

#camanewak