Oleh Denny JA
HATIPENA.COM – Pada 11 April 2017, Novel Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), diserang dengan air keras. Dua pria tak dikenal menyiramkan cairan itu saat ia berjalan pulang dari masjid di Jakarta Utara.
Serangan itu terjadi ketika ia tengah menyelidiki kasus besar: proyek e-KTP yang menyeret sejumlah pejabat tinggi negara.
Akibatnya, Novel mengalami luka parah di mata kirinya dan harus menjalani perawatan intensif di Singapura. Matanya tak lagi utuh, tapi semangatnya menyala—untuk sebuah negeri yang belum sembuh dari penyakit lamanya: korupsi.
Kisah Novel bukan satu-satunya. Ia hanyalah satu dari banyak penegak hukum yang berdiri sendiri, menantang badai karena keberaniannya menentang gurita kekuasaan gelap.
Ia adalah simbol luka. Luka bangsa yang terus menganga akibat praktik suap, jual beli kewenangan, dan persekongkolan elite.
Dan kini, tahun 2025, satu langkah mencengangkan diambil: Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa.
Tak hanya Polri—bahkan TNI secara resmi dilibatkan untuk mengawal para jaksa menjalankan tugasnya.
Ini bukan sekadar kebijakan administratif. Ini adalah deklarasi perang. Perang terhadap korupsi yang selama ini seperti hantu: tak terlihat, tapi terasa di mana-mana.
Sebab jika korupsi telah berubah menjadi ekosistem, dengan jaringan mafia yang bersenjata dan berlapis perlindungan, maka negara tak bisa lagi hanya mengandalkan prosedur sipil. Ia harus menurunkan seluruh ototnya—dari sipil hingga militer.
Dalam sejarah republik, belum pernah TNI diberdayakan secara resmi untuk menjaga proses hukum sipil.
Tapi Prabowo tahu: ini bukan masa biasa. Ini adalah medan perang moral. Dan dalam perang semacam ini, dibutuhkan kekuatan yang tidak konvensional.
-000-
Meski demikian, sejarah memberi peringatan. Pelibatan militer dalam ranah sipil adalah pedang bermata dua. Jika tak diawasi secara ketat dan transparan, kekuatan itu bisa melenceng menjadi intimidasi.
Karena itu, strategi ini harus dijaga tetap dalam pagar demokrasi dan hukum. Bukan untuk menakut-nakuti rakyat, melainkan melindungi mereka yang berani berkata: cukup sudah.
Di sisi lain, suara-suara kritis dari masyarakat sipil patut didengar. Sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengingatkan bahwa pelibatan militer dalam penegakan hukum sipil berisiko menciptakan ketergantungan baru.
Secara jangka panjang bisa mengikis independensi kejaksaan itu sendiri.
Sejarah menunjukkan bahwa lembaga-lembaga sipil yang terlalu terlindungi justru kehilangan kredibilitas di mata publik.
Karena itu, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan Perpres ini harus menjadi fondasi utama. Perlindungan tak boleh berubah menjadi pengawasan yang membatasi kebebasan penegak hukum.
Prabowo layak diberi fair chance atas terobosannya: menjadikan militer sebagai sekutu dalam memerangi korupsi yang telah menjelma menjadi monster berlapis tameng kekuasaan.
Akan terbukti kemudian, apakah langkah ini mampu mengguncang benteng mafia mega korupsi yang selama ini tak tersentuh.
-000-
Isi Perpres 66/2025
Perpres ini menjamin enam bentuk perlindungan terhadap jaksa dan keluarganya:
• Keamanan pribadi dan rumah tinggal
• Fasilitas rumah aman atau relokasi
• Perlindungan harta benda
• Kerahasiaan identitas
• Pendampingan dari Polri dan TNI
• Perlindungan tambahan sesuai kebutuhan spesifik
Negara kini tak lagi berdiri netral. Ia berpihak—kepada keberanian, kepada integritas, kepada para penjaga nyala hukum yang kerap bertugas dalam gelap.
-000-
Seberapa Parah Korupsi di Indonesia?
Laporan Transparency International tahun 2025 menunjukkan skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya 37 dari 100. Kita merosot ke peringkat 99 dari 180 negara.
Yang lebih menyakitkan: Timor Leste kini melampaui Indonesia dalam hal integritas pemerintahan.
Korupsi tak lagi sekadar perbuatan individual. Ia telah mengakar dalam sistem birokrasi. Ia menyusup ke proyek jalan tol, dana bansos, bahkan ke ruang kelas sekolah dasar—tempat yang mestinya sakral dari tipu muslihat uang.
Seorang ibu di pelosok Sulawesi terpaksa membawa anaknya berobat ke dukun karena puskesmas terdekat tak memiliki obat dasar. Di Jawa Tengah, siswa belajar di kelas tanpa atap karena dana renovasi tak pernah sampai.
Korupsi tak sekadar merusak dokumen. Ia menghancurkan hidup.
-000-
Mengapa Pemberantasan Korupsi Jadi Prioritas Prabowo?
Jika Prabowo sungguh ingin membawa Indonesia menjadi negara maju, ia tak punya pilihan selain menumpas korupsi hingga ke akar-akarnya.
Korupsi menghancurkan iklim investasi. Tak ada investor yang mau menanamkan modal jika hukum bisa dibeli.
Korupsi juga merusak layanan publik—jalan berlubang, puskesmas kosong, sekolah terbengkalai—bukan karena dana tak ada, tapi karena dana itu menguap sebelum tiba.
Dan yang paling fatal: korupsi menghancurkan kepercayaan. Tanpa kepercayaan publik, APBN hanya akan menjadi angka dingin di atas kertas. Tanpa ruh. Tanpa daya hidup.
Berapa besar nilainya?
Kita bisa melihat skandal tata kelola minyak dan produk kilang PT Pertamina. Kejaksaan Agung mencatat, hanya dalam satu tahun—2023—kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun. Jika dihitung sejak 2018 hingga 2023, nilainya diperkirakan mencapai Rp968,5 triliun. (1)
Jika memakai estimasi konservatif—seperti yang digunakan UNODC dan World Economic Forum—negara berkembang bisa kehilangan hingga 5% dari PDB karena korupsi. Maka, dengan PDB Indonesia tahun 2024 sebesar Rp22.000 triliun, potensi kebocoran bisa mencapai Rp1.100 triliun per tahun. (2)
Dana sebesar itu bisa menjadi napas panjang bagi pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial.
-000-
Empat Strategi Tambahan untuk Menancapkan Perang
Langkah awal telah diambil: perlindungan jaksa. Namun benteng luar tak akan cukup tanpa sistem dalam yang kokoh.
Pertama, digitalisasi total proses anggaran dan pengadaan. Dari e-budgeting hingga e-audit, semua jalur uang publik harus bisa dilacak. Kecerdasan buatan (AI) tak hanya digunakan untuk efisiensi, tetapi juga sebagai pengawas yang tak bisa disuap.
Kedua, rotasi pejabat di titik-titik rawan korupsi. Jangan beri waktu bagi siapa pun untuk membangun dinasti kekuasaan di ruang kecil.
Ketiga, audit sosial dan keterlibatan warga. Masyarakat adalah mata dan telinga terbaik. Berikan mereka saluran: aplikasi pengaduan proyek bermasalah, sistem transparansi pelaporan, dan insentif bagi pelapor berani.
Keempat, di era teknologi tinggi, blockchain bisa digunakan untuk mencegah korupsi. Blockchain mencegah korupsi dengan mencatat transaksi secara permanen, transparan, dan terenkripsi.
Data tidak bisa diubah sepihak, memungkinkan audit otomatis dan pelacakan dana secara real-time.
Pemerintah Negara Bagian Andhra Pradesh telah mengimplementasikan sistem berbasis blockchain untuk pengelolaan data pertanahan melalui proyek Bhudhaar.
Sistem ini memberikan nomor identifikasi unik untuk setiap bidang tanah. Ia membantu dalam mengurangi sengketa lahan dan meningkatkan transparansi dalam transaksi properti.
Dengan catatan yang tidak dapat diubah dan transparan, risiko pemalsuan dokumen dan korupsi dalam proses pendaftaran tanah berkurang secara signifikan.
Dengan empat peluru ini, pendampingan TNI dan Polri tak lagi dianggap simbol represi, tapi penjaga kepercayaan rakyat.
-000-
Pelajaran dari Georgia: Bangkit dari Lumpur
Awal 2000-an, Georgia tenggelam dalam lumpur korupsi. Namun di bawah Mikhail Saakashvili, lahir revolusi birokrasi.
Semua polisi lalu lintas dipecat. Layanan publik dirapikan. Pejabat, bahkan kerabat presiden, diproses hukum tanpa ampun.
Hasilnya: Georgia kini duduk di peringkat 49 dalam indeks korupsi global. Jauh melampaui Indonesia.
Pelajaran dari sana jelas: perubahan besar tak butuh puluhan tahun. Hanya satu hal yang dibutuhkan—pemimpin yang siap kehilangan popularitas demi masa depan yang bersih.
-000-
Filosofi Perang yang Harus Dimenangkan
Korupsi adalah kanker bangsa. Ia tak membunuh seketika, tapi menggerogoti fondasi negara sedikit demi sedikit.
Prabowo telah menyalakan obor perang. Pelibatan TNI adalah simbol bahwa integritas sama pentingnya dengan menjaga perbatasan.
“Namun, sejarah juga mengingatkan: pelibatan militer dalam penegakan hukum sipil bukan tanpa preseden kelam.
Di Filipina era Duterte, operasi anti-narkoba yang melibatkan tentara justru memicu pelanggaran HAM masif. Itu tanpa mengurangi akar korupsi sistemik pula.
Di Indonesia sendiri, trauma Orde Baru tentang militer sebagai ‘alat kekuasaan’ mash membekas. Karena itu, Perpres 66/2025 harus disertai dengan mekanisme checks and balances yang rigid.
Misalnya pengadilan khusus untuk mengawal tindakan TNI, audit independen oleh lembaga sipil, dan transparansi real-time laporan operasi.
Perlindungan jaksa tak boleh berubah menjadi imunitas aparat.
Di samping itu, agar obor ini tak padam, ia butuh bahan bakar lain. Yakni sistem digital yang tak bisa disuap, rotasi yang mencegah feudalisme baru, dan rakyat yang siap menjaga garis depan dengan keberanian moral.
Cicero pernah berkata, “Salus populi suprema lex esto”—keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Tapi dalam perang ini, keselamatan integritas publik adalah fondasi utama.
Kita sedang menunggu. Tapi bukan menunggu dalam diam.
Setiap warga jujur adalah bagian dari pasukan. Setiap laporan masyarakat adalah senjata.
Akankah perang korupsi ala Prabowo menjadi babak baru sejarah Indonesia? Ataukah hanya menjadi headline yang lenyap dalam hiruk-pikuk politik?
Kini saatnya bangsa ini tidak sekadar berharap. Tapi ikut menjaga api.
Sebab pada akhirnya, perang melawan korupsi bukan hanya tentang hukum. Tapi tentang harapan. Tentang siapa kita, dan negeri seperti apa yang ingin kita tinggalkan.***
Jakarta, 25 Mei 2025
CATATAN
(1) Total kerugian korupsi Pertamina:
https://www.kompas.com/jawa-barat/read/2025/02/27/111100288/
(2) Estimasi 5% korupsi terhadap PDB digunakan oleh berbagai lembaga: lihat UNODC, World Economic Forum
-000-
Ratusan esai Denny JA soal filsafat hidup, political economy, sastra, agama dan spiritualitas, politik demokrasi, sejarah, positive psychology, catatan perjalanan, review buku, film dan lagu, bisa dilihat di FaceBook Denny JA’s World