Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Mengenal Habib Bugak Asyi, Setiap Jamaah Haji Asal Aceh Dapat Uang dari Wakafnya

May 26, 2025 18:49
IMG-20250526-WA0067

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Mungkin ini yang dinamakan the miracle of wakaf. Diwakafkan abad 19 lalu, keuntungannya selalu dibagikan ke setiap jamaah asal Aceh di abad 21 ini. Setiap tahun lagi. Itulah wakaf dari Habib Bugak Asyi yang sangat luar biasa. Mari kita ungkap, wak dan tentu sambil seruput kopi gayo.

Pada suatu masa, ketika dunia belum mengenal TikTok, ketika influencer belum jadi profesi, dan ketika orang dermawan belum harus bikin konten “ngasih duit ke pengemis” untuk views, hiduplah seorang lelaki yang diam-diam meletakkan bom waktu keabadian, Habib Bugak Asyi.

Tahun 1760, ia datang ke Aceh. Seorang ulama. Seorang saudagar. Seorang lelaki yang, kalau hidup di masa kini, mungkin sudah jadi tokoh Marvel bernama The Wakafman. Tapi ia tidak tertarik jadi viral. Ia tidak tertarik tampil di televisi. Ia cuma tertarik satu hal, bagaimana hartanya bisa tetap bekerja, bahkan saat tubuhnya sudah jadi tanah, bahkan saat generasi demi generasi manusia silih berganti, bahkan saat dunia berubah dari unta ke jet pribadi.

Lalu pada 1809, ia melakukan sebuah manuver yang membuat para ahli properti dan makelar tanah modern bisa tersungkur menangis. Habib ini membeli sebidang tanah di dekat Masjidil Haram, lalu mewakafkannya untuk jemaah haji asal Aceh.

Coba bayangkan… sebuah tanah di titik spiritual paling mahal di muka bumi, dan dia kasih. Kasih!
Bukan disewakan. Bukan dipinjamkan. Tapi di-wakaf-kan. Gratis. Demi Allah. Demi Aceh.

Zaman berlalu. Masjidil Haram diperluas. Tanah wakaf terkena proyek. Tapi di sinilah keajaiban kapitalisme surgawi bekerja. Pemerintah Arab Saudi tidak hanya mengganti tanah tersebut, tapi juga menggelontorkan kompensasi. Dari situlah berdiri hotel-hotel megah. Hotel itu adalah Hotel Elaf Masyair, bintang lima, 650 kamar, hanya 250 meter dari Masjidil Haram. Hotel Ramada, bintang lima juga, 1.800 kamar, hanya 300 meter dari Masjidil Haram. Hotel Wakaf Habib Bugak Asyi di Aziziah, khusus untuk jemaah Aceh, 750 kapasitas.

Lalu ada gedung dan kantor wakaf di Aziziah, tempat administrasi kebajikan. Gedung di kawasan Syaikiyah, tempat tinggal gratis bagi warga Aceh yang mukim di Saudi.

Properti-properti ini bukan cuma bangunan. Ini adalah manifestasi konkret dari doa-doa yang tidak berhenti bekerja, karena setiap tahun, hasil dari semua hotel itu dibagi-bagikan kepada jemaah haji asal Aceh.

Tahun 2024, setiap jemaah menerima 2.000 Riyal Saudi (sekitar Rp 8,6 juta). Sebelumnya, hanya 1.500 Riyal. Tapi karena hotel makin ramai, keuntungan makin besar, maka rezeki pun makin deras. Kalau dihitung, ada ribuan jemaah yang menerima manfaat ini setiap tahun. Bahkan tenaga musiman, petugas haji, mukimin Aceh pun ikut kebagian. Semua dapat, semua senyum, semua terharu, walaupun sebagian mungkin tetap pura-pura tegar demi menjaga wibawa.

Semua ini dikelola oleh satu nama, Syekh Abdul Latif Baltou, sang naazhir yang sudah memegang amanah ini lebih dari 15 tahun, ditunjuk langsung oleh Kerajaan Arab Saudi. Beliau bukan sekadar pengelola. Beliau adalah penjaga pusaka spiritual. Orang yang memastikan bahwa niat mulia dari seorang hamba Allah 200 tahun lalu terus berputar seperti baling-baling kebaikan, menyapu generasi demi generasi.

Kita pun bertanya, bagaimana mungkin sebuah keputusan di awal abad ke-19 bisa tetap memberi makan orang di abad ke-21?
Bagaimana mungkin sebuah sedekah bisa berlipat ribuan kali dan tidak pernah berhenti?

Jawabannya cuma satu, niat yang lurus, wakaf yang produktif, dan Allah yang Maha Menggandakan.

Habib Bugak tidak perlu menulis caption. Tidak perlu konten. Tidak perlu pamer. Tapi hari ini, namanya diingat. Namanya diucap. Namanya hidup lebih lama dari banyak hal lain yang kita anggap “kekal”. Ia membuktikan bahwa manusia bisa mati, tapi cinta pada umat tak pernah usang.

Kalau ente masih mikir dua kali buat traktir temen ngopi, ingatlah, Habib Bugak ngasih tanah di depan Ka’bah. Bukan buat dipuji. Tapi buat dibagi.

Itulah puncak dermawan. Itulah wakaf yang bukan cuma amal, tapi peradaban.

Jika kelak anak cucu Aceh berjalan di lorong hotel mewah itu sambil membawa uang saku 2.000 Riyal, semoga mereka tahu, ada satu lelaki, yang pernah memilih untuk jadi abadi. Dengan caranya sendiri. Dengan wakafnya. Dengan Acehnya.

Namanya, Habib Bugak Asyi. Legenda yang tidak bikin drama. Tapi membangun sejarah.

Sumber foto: klikbmi.com

#camanewak