Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Suwung vs Punggul

May 27, 2025 13:33
IMG-20250527-WA0041

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Gunung tak tercipta dari sampah. Tapi di Bali, sebuah gunung diam-diam tumbuh tanpa kehormatan: TPA Suwung.

Ia tinggi, menjadi gunung, tetapi tak pernah dimuliakan.

Ia luas, berkisar 34 hektare, tapi karena luasnya pula banyak yang menutup hidung. Baunya menyebar kemana-mana.

Tak pernah ada yang memberkahi, semua mencibir Suwung padahal semua warga di Sarbagita ikut mensuplai, ikut berkontribusi. Tiap hari sampah di rumahnya diangkut dibawa ke Suwung.

Dunia paradoks pun menyeringai: pulau surga menyimpan neraka di jantungnya sendiri. Di tengah lalu lalang orang berdasi. Terlihat oleh turis yang hendak buang duit.

Apa yang sebaiknya dilakukan pada TPA Suwung, jawabannya sederhana. Datanglah ke Desa Punggul, Abiansemal, Badung.

Bayangkanlah: jika Bali dikecilkan menjadi Desa Punggul, maka Bali akan bersih sebagaimana Punggul menjaga tubuhnya sendiri.

Di sana, TPS 3R bukan tempat pembuangan, tapi ruang transformasi. Bukan untuk membuang, melainkan untuk mengolah.

Organik dicacah jadi kompos. Plastik tak dibenci, tapi dikembalikan jadi karya.

Tak ada yang dibuang sia-sia; semuanya dimuliakan kembali.

Setiap rumah di desa Punggul bukan hanya punya dapur, tapi juga memiliki tong edan. Tempat gila itu bukan tempat kehilangan akal, melainkan tempat waras yang menyelesaikan urusan dapur.

Limbah dapur diserahkan pada mikroba yang ada pada tong edan, diubah jadi cairan dan padatan—kompos yang memberi hidup baru pada tanah.

Daun dan ranting pun tak dilempar ke jalan, tetapi masuk ke tanah lewat biopori—pori-pori kehidupan yang ada di sudut-sudut pekarangan warga.

Tiap halaman warga bersih. Sampah bukan musuh di Punggul. Ia adalah bahan baku. Warga adalah pengrajin peradaban.

Dan TPS 3R bukan panggung derita seperti Suwung. Ia adalah laboratorium kecil dari masa depan: hanya menerima dari pasar dan jalan.

Sekolah-sekolah bahkan menyelesaikan sampahnya sendiri pada tempat yang ada di sekolah masing-masing.

Maka, logika pun menjadi terang: jika setiap rumah di Bali memiliki tong edan, jika setiap pekarangan diberi biopori atau tebe modern, jika tiap desa punya TPS 3R—untuk apa lagi TPA Suwung?

Tempat pembuangan itu hanya dibutuhkan oleh orang yang belum selesai di rumahnya sendiri. Kita tak perlu lagi tempat pembuangan jika kita selesai mengelola. Maka, tak perlu TPA Suwung. Tutup saja.

Namun sebelum ditutup, pastikan tiap rumah memiliki tong edan—sebagaimana setiap rumah kini punya WC. WC menyelamatkan kita dari bau tinja, tong edan akan menyelamatkan kita dari busuknya peradaban yang tak tahu mengelola sisa hidupnya sendiri.

Sisa sampah pekarangan? Bangunlah teba modern. Lalu plastik dan limbah berbahaya? Bawa ke TPS 3R.

Selesai itu barang. Semua ada tempatnya. Semua ada takarannya. Dan dunia pun kembali waras.

Dari mana uangnya? Dari gotong royong. Dari para turis yang datang karena Bali bersih—biarlah mereka menyumbang untuk membeli tong edan.

CSR dari perusahaan yang selama ini untung di Bali—salurkanlah untuk teba modern.

Bahkan, perusahaan plastik yang mengotori dunia punya utang besar; CSR mereka seharusnya adalah bentuk pertobatan.

Dan inilah ide paling revolusioner: jual saja TPA Suwung. Gunung sampah itu bisa terjual, dan hasil penjualannya dibagi untuk membeli mesin pengolah sampah yang disebarkan ke seluruh desa di Bali.

Maka selesai sudah masalah sampah di Pulau Dewata. Tak ada lagi gunung sampah. Tak ada lagi dunia paradoks. Hanya tinggal satu dunia: dunia yang tahu menyelesaikan dirinya sendiri. (*)

Denpasar, 27 Mei 2025