Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Sastrawan dan Kehidupan yang Jauh dari Kata Sejahtera

May 27, 2025 20:21
IMG-20250527-WA0076

Oleh: Ririe Aiko

HATIPENA.COM – Artikel Kompas bertajuk “Sastrawan Tak Bisa Menggantungkan Hidup pada Sastra” (25 Mei 2025) menyuguhkan potret yang memilukan dari kehidupan para penulis sastra di Indonesia. Salah satu kisah yang menggugah hati adalah tentang Martin Aleida, sastrawan senior yang telah menghasilkan banyak karya bermakna dalam khazanah sastra Indonesia. Di usia senjanya, Martin mengalami keterbatasan fisik dan hanya bisa duduk di kursi roda setelah kaki kanannya diamputasi. Namun, semangat berkaryanya tak pernah padam. Ia tetap menulis dengan bantuan laptop, meski tinggal di rumah yang kurang terurus dan mengandalkan tabungan untuk bertahan hidup.

Sastra sejatinya bukan sekadar rangkaian kata-kata indah. Ia adalah hasil perenungan mendalam, kritik sosial, dan refleksi terhadap kompleksitas kehidupan manusia. Di dalamnya terdapat nilai-nilai yang membentuk cara pandang, mengasah empati, dan menumbuhkan kesadaran kebangsaan. Maka, ketika sastrawan hidup dalam kesusahan, sesungguhnya yang sedang kita abaikan bukan hanya mereka secara pribadi, tetapi juga nilai-nilai luhur yang mereka perjuangkan melalui karya.

Di banyak negara maju, posisi sastrawan jauh lebih dihargai. Di Prancis, pemerintah menyediakan subsidi dan program residensi bagi para penulis. Di Jerman, banyak sastrawan mendapat dukungan dari yayasan kebudayaan yang didanai negara. Di Jepang, sastrawan dianggap penjaga nilai-nilai tradisi dan kebudayaan, sehingga mereka diberikan ruang tampil, baik di media arus utama maupun dalam bentuk apresiasi publik lainnya. Dengan sistem yang tertata dan budaya literasi yang kuat, profesi sastrawan di sana dapat dijalani dengan kehormatan dan kepastian hidup.

Berbeda halnya dengan di Indonesia. Rendahnya tingkat literasi menyebabkan pasar buku sastra amat terbatas. Buku-buku sastra jarang dilirik penerbit besar, royalti nyaris tak cukup untuk hidup layak, dan apresiasi masyarakat terhadap karya sastra sangat terbatas. Tak heran jika banyak penulis sastra di negeri ini harus bekerja ganda—menjadi guru, pedagang, pegawai, atau buruh lepas—demi memenuhi kebutuhan ekonomi. Sastra menjadi semacam “profesi panggilan jiwa”, yang dijalani bukan untuk mencari nafkah, tetapi untuk memuaskan hasrat berkarya dan menyuarakan nurani.

Fenomena ini tentu memprihatinkan. Negara seharusnya hadir lebih aktif dalam menjamin kesejahteraan para pekerja kreatif, termasuk sastrawan. Apresiasi terhadap karya sastra tidak cukup hanya dalam bentuk penghargaan simbolik atau seremoni tahunan. Yang dibutuhkan adalah sistem yang memberikan perlindungan sosial, ruang produksi, dan distribusi karya yang adil. Negara dan masyarakat harus menyadari bahwa tanpa ekosistem yang sehat, sastra akan semakin termarginalkan dan kehilangan generasi penerus.

Namun, meski dihadapkan pada berbagai keterbatasan dan jalan yang suram, banyak dari kita tetap mencintai dunia sastra. Karya sastra akan terus hidup karena ia mewakili suara yang tak selalu terdengar dalam riuh kehidupan. Dan bagi kami, para penulis, meski harus membagi waktu dengan pekerjaan utama, menulis tetap menjadi tempat pulang.

Meskipun kenyataan hidup yang dihadapi jauh dari sejahtera, semua itu tak pernah mampu memadamkan cinta terhadap sastra. Penulis tetap menulis, meski dengan isi dompet yang makin tipis.(*)