Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pertemuan di Negeri Kanguru

January 1, 2025 18:09
IMG-20250101-WA0138

Joni Apris

#Episode 1

SORE HARI di Melbourne, udara dingin terasa menusuk meskipun sudah memasuki awal musim semi. Lorong-lorong kecil di distrik seni dipenuhi seniman jalanan, turis, dan lampu-lampu kafe yang temaram, menghadirkan pemandangan kota yang ramai namun tetap penuh kehangatan.

Dalry, seorang wanita paruh baya yang dulunya terkenal sebagai penari opera, menyusuri jalanan dengan langkah yang penuh energi, senyum mengembang di wajahnya saat menyapa para seniman muda yang mengenalnya.

Dalry telah lama meninggalkan panggung, tetapi semangat seni itu masih tampak dari caranya berbicara dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya.

Dengan rambut keperakan yang dibiarkan terurai dan selendang kain berwarna merah cerah melilit leher, ia adalah sosok yang mencolok di kerumunan.

Suatu malam, seperti biasa, ia mampir ke sebuah minimarket milik orang Padang di sudut jalan, tempat ia sering membeli secangkir kopi instan untuk menghangatkan tubuh. Di belakang meja kasir berdiri seorang pria muda dengan wajah teduh dan senyuman ramah.

Dia adalah Sutan, seorang penjaga toko berusia tiga puluhan yang baru beberapa bulan bekerja di minimarket itu. Sebagai perantau asal Sumatera Barat, Sutan adalah sosok yang tenang dan pendiam, pekerja keras yang jarang terlihat meliburkan diri.

“Hi, Sutan! Apa kabar hari ini?”

Dalry menyapa sambil tersenyum.
Sutan terkejut, biasanya pelanggan datang, membeli, lalu pergi begitu saja. Ia tidak menyangka wanita Australia ini menyebut namanya. Namun, ia membalas dengan senyuman, meski sedikit canggung.

*Baik, Bu Dalry. Terima kasih. Apa ada yang bisa saya bantu?”

Dalry tertawa kecil,
“Ah, Sutan, sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya ‘Bu’. Cukup Dalry saja,” jawabnya sambil mengambil secangkir kopi instan dari rak.

Sutan tersenyum malu. “Iya, maaf… Dalry.” Rasanya agak aneh baginya untuk memanggil pelanggan tanpa sapaan formal, tetapi dia mengikuti keinginan Dalry.

Pembicaraan sederhana itu, tentang kopi, harga bahan makanan, dan seberapa sulitnya hidup di negeri orang, secara perlahan mulai menjadi rutinitas. Dalry sering mampir ke toko, dan mereka pun menjadi lebih akrab.

Setiap pertemuan, Dalry akan bertanya lebih banyak tentang kampung halaman Sutan di Sumatera Barat. Ia mendengar tentang hamparan sawah, gunung, dan adat istiadat Minang yang sangat berbeda dari kehidupan modern di Australia.

Suatu sore, Dalry bertanya lebih dalam, “Kamu tidak rindu kampung halaman, Sutan? Kenapa kamu memilih tinggal di sini?”

Sutan menghela napas panjang, menundukkan kepala sejenak.
“Kadang saya rindu, Dalry. Tapi saya ke sini untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Di kampung saya, pekerjaan sulit didapat. Lagi pula, orangtua saya berharap saya bisa membantu keluarga dengan uang yang saya kirim dari sini.”

Dalry mengangguk sambil menatap Sutan dengan penuh simpati. Ia bisa merasakan betapa kuatnya ikatan Sutan dengan keluarga dan tanah kelahirannya.

“Kamu anak yang baik, Sutan,” katanya dengan lembut. “Keluargamu pasti sangat bangga.”

Hubungan mereka pun semakin erat, bukan hanya sebagai pelanggan dan kasir, tetapi sebagai teman yang saling berbagi cerita dan kesepian hidup di negara yang serba asing bagi Sutan.

Dalry kagum pada ketulusan dan dedikasi pemuda ini. Dalam pertemuan-pertemuan berikutnya, ia mulai merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan biasa.

Meskipun mereka berasal dari dunia yang sangat berbeda—Dalry yang glamor dengan latar belakang seninya, dan Sutan yang sederhana dengan kehidupan kampungnya yang jauh dari ingar-bingar—mereka merasa nyaman bersama. Dalry menemukan ketulusan dan kehangatan yang jarang ia temui di orang-orang sekitarnya, sementara Sutan merasa dihargai dan dilihat sebagai pribadi yang berharga.

Suatu malam, setelah minum kopi bersama di bangku depan toko, Sutan berkata dengan lirih, “Dalry, saya ingin berterima kasih karena sudah menjadi teman saya di sini. Saya pikir, tidak mudah menemukan seseorang yang bisa membuat saya merasa tidak sendirian di negeri orang ini.”

Dalry terdiam sejenak, merasakan ketulusan Sutan yang menyentuh hatinya. Ia pun menyentuh tangan “Sutan dengan lembut. “
Kamu tidak sendiri, Sutan. Aku selalu ada di sini.”

Begitulah awal kisah mereka, di negeri yang jauh dari akar Sutan dan panggung yang telah lama ditinggalkan Dalry. Di antara kopi-kopi instan dan percakapan-percakapan hangat, sebuah benih cinta mulai tumbuh, cinta yang akan membawa Dalry pada perjalanan panjang dan penuh pengorbanan.

Akankah Dalry benar-benar mengikuti kata hatinya dan meninggalkan Melbourne untuk cinta yang mungkin tidak pasti? Bagaimana kisah mereka akan berlanjut ketika cinta harus menyeberangi batas negara dan budaya? Jangan lewatkan kelanjutan kisah ini di Terjebak Cinta di Ranah Minang (Bersambung).