Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Saya ucapkan dulu “innalilahi wainna ilahi rojiun.” Ustaz Yahya Waloni, nama yang tidak asing lagi. Ia keras, tanpa kompromi. Banyak yang membencinya, namun tak sedikit mencintainya. Semua itu telah berakhir. Ia telah tiada meninggalkan kita selamanya. Kisah wafatnya ustaz ini banyak disambut dengan ucapan, “Subhanallah!” Mari kita simak perjalanan hidup beliau sambil memanjatkan doa untuknya.
Langit Makassar siang itu tidak hanya mendung. Ia seperti berselimut kabut duka yang enggan bergerak. Awan menggantung malas, seolah menunggu satu jiwa mulia ditarik dari bumi ke pelukan langit. Di Masjid Darul Falah, Minasa Upa, khutbah Jumat dimulai seperti biasa. Tapi tidak ada yang tahu bahwa khutbah itu akan menjadi khutbah terakhir dari seorang pria yang hidupnya adalah perpaduan dari pertobatan, perjuangan, kontroversi, dan keberanian langka. Ustaz Yahya Waloni berdiri di atas mimbar, pada pukul 12.30 WITA, menyampaikan pesan tentang tauhid dengan suara lantang seperti biasanya. Tidak ada tanda bahwa detak jantungnya sedang berpacu menuju ajal. Tidak ada tanda bahwa tubuh yang tampak tegar itu akan rebah di atas tempat suci, menjadi tubuh tak bernyawa dalam hitungan menit.
Ia tiba pagi hari, setelah sebelumnya mengisi khutbah Iduladha di pusat Kota Makassar. Energinya tampak biasa saja, wajahnya tenang, bahkan sempat bersenda gurau dengan beberapa pengurus masjid. Tapi malaikat maut sudah menulis jadwalnya hari itu. Ketika khutbah masuk ke bagian kedua, suaranya mulai mengecil. Bukan seperti orang lelah, tapi seperti seseorang yang mulai ditarik dari dunia secara perlahan. Lalu sebelum doa penutup terucap, tubuh itu jatuh. Tiba-tiba. Membentur mimbar dengan bunyi samar yang membuat jamaah tercekat. Tidak ada yang tertawa. Tidak ada yang panik berlebihan. Yang ada hanya kesunyian yang menjerit, lalu tangisan yang pecah.
Pukul 13.00 WITA, ia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Tapi semua usaha menjadi sia-sia. Jantung itu telah berhenti. Suara itu telah diam. Ia wafat dalam keadaan suci, dalam posisi mulia, saat menunaikan ibadah yang terhormat. Jenazahnya lalu dibaringkan di samping mimbar. Beberapa jamaah mendekat, ada yang mencium keningnya, ada yang hanya duduk terpaku. Wajahnya teduh. Tidak menakutkan. Seolah tidur, tapi bukan tidur biasa, melainkan perpisahan yang menggetarkan.
Yahya Yopie Waloni lahir pada 30 November 1970 di Manado, Sulawesi Utara, dari keluarga Kristen Minahasa. Ia mengabdi dalam dunia Kristen selama puluhan tahun. Ia adalah rektor di Sekolah Tinggi Theologia Eben-Haezer, bergelar doktor dari Institut Theologia Oikumene Imanuel Manado. Ia pernah menjadi pengkhotbah yang dihormati, lalu, dengan keberanian yang sangat langka, memutuskan masuk Islam bersama istrinya Lusiana (yang kemudian menjadi Mutmainnah) pada 11 Oktober 2006 di Tolitoli, Sulawesi Tengah. Keputusan yang memutus sejarah keluarganya. Keputusan yang tidak kembali.
Setelah syahadat itu, hidupnya berubah. Ia menjadi dai yang tidak biasa. Ia tidak punya latar belakang pondok, tapi ceramahnya tentang tauhid dan perbandingan agama mengguncang banyak majelis. Ia tidak lembut, tapi jujur. Ia tidak manis, tapi penuh keyakinan. Ia pernah dipenjara, pada 26 Agustus 2021. Lima bulan ia jalani di balik jeruji, hingga bebas pada 31 Januari 2022. Ia tidak kapok. Ia tidak menyesal. Ia terus berdakwah, seakan waktu tak penting lagi baginya.
Kini, ia wafat di tempat yang paling dicintainya, mimbar. Di waktu paling sakral, Jumat. Dalam ibadah paling mulia, khutbah. Ini bukan kebetulan. Ini bukan kecelakaan. Ini karunia. Jenazahnya akan diterbangkan ke Jakarta, tapi sejatinya jiwanya sudah lebih dulu diterbangkan ke tempat yang tak terjangkau kamera, rating, atau like. Surga mungkin sudah lama menunggunya.
Kita yang tinggal, hanya bisa menangis. Bukan hanya karena ia tiada, tapi karena kita tahu, sedikit sekali manusia yang hidup dan wafat seperti itu. (*)
#camanewak