Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Ole Romeny, idola baru Indonesia. Berkat gol semata wayangnya saat melawan China, Timnas Indonesia dipastikan lolos ke putaran 4 Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia. Menang lawan naga merah, membuat posisi Indonesia melesat, dari rangking 123 sekarang menjadi 116 FIFA. Kali ini saya mau mengenalkan si bujang bule ini sambil seruput kopi liberika, wak.
Siapa sangka, seorang anak muda kelahiran Nijmegen, Belanda, bernama lengkap Ole Lennard ter Haar Romenij, justru jadi juru selamat Tanah Air di babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia. Bukan karena keberuntungan. Bukan karena wasit kasihan. Tapi karena kehebatan nyata dari kaki kanan berkah seorang penyerang yang ditakdirkan untuk hal besar. Lahir pada 20 Juni 2000, tinggi 1,85 meter, dan kini mengenakan nomor punggung 10 untuk Timnas, Ole datang bukan sekadar untuk bermain bola, tapi untuk memperbaiki sejarah yang selama ini retak di tiap turnamen.
Ia bukan pemain karbitan. Dari akademi DVOL Lent sejak usia lima tahun, lalu NEC Nijmegen selama tujuh tahun, ia membangun karier seperti membangun candi, batu demi batu. NEC mempercayainya untuk tampil 77 kali di tim senior, menyumbang 12 gol dan 8 assist. Kemudian, Willem II meminjamnya untuk menyerap atmosfer Eredivisie. Tapi sinarnya benar-benar menyala ketika bergabung dengan FC Emmen, mencetak 14 gol dalam 51 pertandingan, dan membawa klub itu juara Eerste Divisie 2022. Kariernya terus menanjak ke FC Utrecht, lalu Oxford United di Championship Inggris, yang rela membayar 2 juta euro, menjadikannya pemain termahal sepanjang sejarah klub.
Tapi nilai sejatinya tak terletak pada transfer. Nilainya terletak pada keputusan besar, menanggalkan seragam Belanda, yang telah ia kenakan di level U-15, U-18, U-19, dan U-20, demi membela Indonesia. Sebuah panggilan darah dari Meulaboh, Aceh dan Medan, Sumatera Utara, yang menggelegar dalam jiwanya. Ole memilih pulang, bukan ke rumah tempat ia dibesarkan, tapi ke rumah asal-usulnya, tempat sejarah menanti untuk ditulis ulang.
Dalam debutnya bersama Timnas Indonesia di tahun 2025, dia langsung menggebrak. Sebanyak 3 gol dalam 3 pertandingan. Tidak main-main. Dia bukan hanya cepat beradaptasi. Dia seolah sudah menyatu dengan warna merah-putih sejak dalam kandungan. Puncaknya adalah saat melawan China, ketika dunia menyaksikan betapa satu tendangan bisa mengangkat harga diri bangsa. Saat itu, Indonesia tidak hanya menang atas tim kuat Asia. Kita menang atas keraguan. Kita menang atas narasi lama bahwa kita selalu jadi penggembira.
Ole Romeny adalah simbol bahwa kejayaan bisa datang dari manapun, bahkan dari seorang Belanda yang tidak bisa makan jengkol. Tapi dengan darah Garuda yang mengalir deras, dia kini menjadi figur yang tak hanya patut dikenang, tapi patut diteladani. Karena yang membuat Ole istimewa bukan hanya statistiknya, tapi keputusannya, untuk menjadi bagian dari kita, berjuang bersama kita, dan mencetak sejarah yang membuat seluruh negeri kembali percaya, bahwa Timnas bukan lagi lelucon, tapi ancaman nyata.
Hari itu, Ole tak hanya mencetak gol. Ia membangkitkan bangsa. Untuk itu, ia tak lagi milik Nijmegen. Ia adalah milik kita semua. Selain itu, Ole Romeny adalah anomali. Di saat mayoritas pemain masih butuh waktu adaptasi dengan iklim tropis dan gaya hidup nasi uduk, dia langsung klik, langsung cetak gol. Dialah bukti bahwa kadang, solusi dari seluruh kekacauan dunia sepak bola Indonesia bukan seminar, bukan retret spiritual, tapi seorang pria Belanda berdarah Aceh yang menendang bola dengan ketepatan surgawi.
Hari ini, kita tak sekadar punya striker. Kita punya legenda dalam proses pencetakan. Jika dunia masih adil, maka di Piala Dunia nanti, akan ada satu nama yang membuat komentator internasional terbata-bata, “Goal, Indonesia… by Ole… Rrrr… Romeny… yes, that guy!” (*)
#camanewak