Menjaga Nafas Budaya di Tengah Arus Zaman
Oleh: L. K. Ara
HATIPENA.COM – Didong bukan sekadar seni pertunjukan bagi masyarakat Gayo, ia adalah denyut nadi yang mengalir dalam jiwa kolektif, mengikat sejarah, agama, pendidikan, dan kebijaksanaan hidup dalam balutan syair dan irama. Namun, seiring waktu dan derasnya arus modernisasi, organisasi yang menaungi seni Didong Gayo mulai kehilangan gaungnya. Untuk itu, menghidupkan kembali organisasi Didong Gayo bukan sekadar tugas budaya, tetapi juga tanggung jawab peradaban.
1. Menguatkan Fondasi Organisasi
Langkah awal adalah melakukan restrukturisasi organisasi. Struktur yang jelas dan fungsional harus dibentuk, mulai dari dewan penasihat (berisi tokoh adat, seniman sepuh seperti ceh-ceh ternama), pengurus inti, hingga divisi-divisi seperti dokumentasi, pendidikan, dan hubungan antar komunitas. Perlu ada pemimpin yang bukan hanya pandai mengatur, tetapi juga punya cinta dan pemahaman mendalam terhadap ruh Didong.
2. Menyusun Program Regenerasi Seniman Didong
Organisasi harus fokus menciptakan program pelatihan rutin di tingkat kampung dan sekolah, agar generasi muda akrab dengan syair, ritme, dan nilai-nilai yang terkandung dalam Didong. Kolaborasi dengan guru-guru seni, lembaga adat, dan pondok pesantren bisa menjadi pintu masuk agar Didong kembali merakyat.
3. Membuat Rumah Didong Gayo
Setiap budaya besar butuh rumah. Rumah Didong Gayo bisa menjadi pusat aktivitas: tempat latihan, panggung pertunjukan, dokumentasi sejarah ceh-ceh legendaris, hingga pusat kajian syair. Ini bukan hanya simbol, tetapi pusat penguatan identitas dan eksistensi.
4. Digitalisasi dan Promosi Global
Organisasi harus memanfaatkan media sosial, kanal YouTube, dan platform digital lain untuk menyebarkan pengetahuan dan pertunjukan Didong. Setiap pertandingan, latihan, atau dialog antar ceh bisa direkam dan disebarluaskan. Masyarakat global mulai haus akan seni yang otentik dan bernilai spiritual seperti Didong.
5. Mengadakan Festival Didong Tahunan
Organisasi perlu menginisiasi festival tahunan tingkat regional dan nasional yang melibatkan berbagai grup Didong seperti Kemara Bujang, Siner Pagi, dan Dewantara. Festival ini bukan hanya hiburan, tetapi ruang edukasi, kompetisi sehat, serta ajang pertemuan antargenerasi. Pemerintah daerah, kampus, dan komunitas budaya bisa digandeng sebagai mitra.
6. Kemitraan Strategis dengan Pemerintah dan LSM Budaya
Organisasi harus menjalin kemitraan dengan Dinas Kebudayaan, Balai Pelestarian Kebudayaan, serta lembaga lokal dan internasional. Proposal kegiatan, pelatihan, dan dokumentasi bisa diajukan secara profesional agar mendapatkan dukungan dana dan jaringan yang luas.
7. Pendekatan Spiritual dan Sosial
Didong Gayo bukan sekadar seni, tetapi media dakwah dan refleksi. Maka, organisasi juga harus membuka ruang bagi pertunjukan bertema keagamaan, sosial, pendidikan, bahkan lingkungan. Syair-syair Didong dapat menjadi suara nurani masyarakat yang haus nilai-nilai luhur.
Penutup
Menghidupkan organisasi Didong Gayo adalah tentang menjaga roh yang diwariskan leluhur. Ia tak bisa dijalankan dengan semangat musiman, melainkan harus ditopang kesungguhan, strategi jangka panjang, dan cinta mendalam. Ketika organisasi Didong hidup, bukan hanya seni yang bangkit, tetapi juga harkat budaya Gayo sebagai bagian dari peradaban Nusantara yang agung. Maka kita pun bisa berkata kepada generasi mendatang: “Syair dan ritme ini pernah menjaga hati kami dari kegelapan zaman.”