Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Umat Rukun Menuju Indonesia Emas

January 2, 2025 10:52
IMG-20250102-WA0023

Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)

GINI-GINI saya keluarga besar Kemenag juga. “Ssst…jangan kencang-kencang!” Cukup saya dan ente jak tahu, wak!

Sambil menikmati bubur ayam kampung di Sungai Jawi Pontianak, yok kita kupas tema HAB Kemenag yang dirayakan esok hari.

Bayangkan dunia tanpa kerukunan. Semua orang berdebat. Tukang becak dengan pelanggan, tetangga dengan tetangga, bahkan kambing dengan pohon pisang. Tanpa kerukunan, Indonesia hanyalah sebuah opera tanpa harmoni, sebuah kapal layar dengan awak yang sibuk saling membajak.

Lalu datanglah tema besar dari Kementerian Agama, “Umat Rukun Menuju Indonesia Emas.” Sebuah seruan suci, sesederhana dan segemilang mentari pagi. Namun, di balik kesederhanaannya, tema ini adalah manifesto ambisius yang pantas diukir di dinding candi untuk dikenang berabad-abad.

Kerukunan. Kata ini begitu ringan di lidah, tetapi berat di punggung. Kita sering mendengarnya di seminar, khutbah, atau acara RT, tetapi siapa yang benar-benar paham maknanya?

Kerukunan bukan sekadar “diam saja saat sebelahmu memutar sinetron dengan volume level konser.” Bukan pula soal “memaafkan temanmu yang tak pernah bayar utang sejak zaman penjajahan.” Kerukunan adalah seni. Seni untuk tetap tersenyum meski hatimu ingin melemparkan panci.

Lalu, mari kita buka lembar sejarah. Tahun 1945, Indonesia baru saja merdeka. Tapi jangan bayangkan euforia meriah. Negeri ini seperti rumah baru yang penuh puing-puing.

Di tengah kekacauan itu, ada suara kecil, suara dari seorang tokoh bernama Muhammad Yamin, yang berkata, “Kita butuh kementerian agama.” Ide ini sederhana tapi revolusioner. Seperti mengusulkan keberadaan payung di tengah hujan batu. Tapi, sebagaimana semua ide besar, usulan ini dihantam kritik dari segala penjuru.

Namun, takdir selalu punya cara. Pada Januari 1946, Kementerian Agama akhirnya berdiri. Sebuah lembaga dengan mandat mahaberat, menyatukan hati 270 juta manusia yang bahkan sering ribut soal “nasi padang campur atau dipisah.” “Nasi bungkus karet satu atau dua.”

Kini, tujuh dekade lebih berlalu. Perjalanan Kemenag bak sebuah epos panjang, penuh kemenangan, kekalahan, dan tragedi yang terkadang begitu lucu hingga membuat kita menepuk dahi. Tapi, tahun 2025 membuka bab baru. Di bawah kepemimpinan Nasaruddin Umar, sebuah era pembaruan sedang dijahit dari benang-benang impian besar.

Bayangkan ini, wak! Seorang menteri Nasaruddin berdiri di podium. Matanya menyala. Suaranya tegas. Ia berkata, “Kita akan melawan korupsi dengan pendekatan agama.” Sebuah kalimat yang terdengar seperti dialog dari film aksi.

Namun, ini bukan adegan film. Ini kenyataan. Nasaruddin tak main-main. Ia ingin korupsi, penyakit yang telah lama berakar dalam birokrasi, ditebas dengan pedang nilai-nilai moral. Sebuah strategi yang ambisius, mungkin agak naif, tapi sangat diperlukan.

Lalu ada inisiatif-inisiatif brilian seperti moderasi beragama, transformasi digital, revitalisasi KUA, hingga Cyber Islamic University. Apa itu Cyber Islamic University? Sebuah universitas berbasis digital yang terdengar seperti gabungan antara futurisme dan novel fiksi ilmiah.

Apakah ini artinya kita akan punya dosen virtual yang mengajar lewat hologram? Entahlah, tapi idenya mencerminkan keberanian Kemenag untuk melangkah ke era baru, di mana agama tak lagi terkurung dalam ruang-ruang fisik.

Jangan lupakan proyek epik lainnya, penguatan kemandirian pesantren. Pesantren, yang selama ini menjadi benteng terakhir moral bangsa, kini diberi senjata ekonomi untuk berdiri lebih kokoh. Sebuah langkah yang tak hanya memberdayakan, tetapi juga memastikan bahwa nilai-nilai luhur terus mengalir di tengah derasnya arus kapitalisme.

Tapi tunggu. Di tengah semua ini, mari kita akui, Kemenag juga adalah manusia, eh, maksudnya, lembaga yang tak luput dari cela. Ada tawa getir saat kita mengingat kasus-kasus masa lalu. Ada momen di mana birokrasi terasa seperti labirin tanpa akhir. Tapi di sinilah letak keindahannya. Kemenag adalah kisah perjuangan. Kisah tentang bagaimana sebuah lembaga terus mencoba, meski sering kali terjatuh.

Tema “Umat Rukun Menuju Indonesia Emas” adalah perwujudan dari tekad itu. Sebuah doa yang diukir di atas batu karang. Sebuah harapan bahwa di tengah semua perbedaan, Indonesia bisa menjadi negeri yang bersatu, damai, dan makmur.

Nari kita renungkan sejenak. Kerukunan bukanlah tujuan akhir, melainkan perjalanan tanpa henti. Ia adalah seni mengalahkan ego, seni menciptakan simfoni di tengah suara bising. Kemenag, dengan segala kekurangannya, adalah penjaga seni itu.

Selamat Hari Amal Bhakti, Kementerian Agama. Teruslah menyalakan lilin kecil di tengah malam gelap. Karena meski lilin itu sering tertiup angin, ia selalu menyala lagi. Siapa tahu, lilin kecil itu suatu hari akan menerangi jalan menuju Indonesia Emas.

#camanewak