HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Manusia-tanah-budaya Kesatuan (yang) Utuh

June 22, 2025 08:30
IMG_20250622_081847

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Kemarin, 21 Juni 2025 saya hadir menyaksikan pawai Pesta Kesenian Bali (PKB) ke 47. Tua, muda, anak, terlibat dan ikut serta dalam pesta tahunan itu.

Saya jadi bertanya; adakah di dunia ini sebuah tempat di mana senimannya sebanyak penduduknya? Mungkin hanya satu: Bali.

Seni tampaknya bukan hanya dipelajari—ia diwariskan, dihirup sejak lahir, menjadi darah yang mengalir dalam tubuh setiap warganya.

Di Bali, hampir tak ada jarak antara manusia dan seni. Bila ada jarak, maka itu antara mereka yang baru datang dan mereka yang telah menyatu sejak lahir dengan tanah, udara, dan langit Bali.

Orang Bali menari bukan karena ingin menjadi penari. Mereka menari karena hidup menari bersama mereka.

Kalau pun tidak menari, mereka nembang, melagukan geguritan dengan irama jiwa yang tak bisa diajarkan di sekolah-sekolah formal.

Mereka melukis bukan untuk pameran, menggambar bukan untuk lomba, mereka berkarya karena seni adalah caranya berdoa, menyapa dunia, merawat semesta.

Di tiap banjar, gamelan bukan koleksi seni—ia bagian dari hidup. Gong, baleganjur, angklung, gender wayang—setiap alat punya tangan-tangan yang siap menabuhkannya.

Anak-anak lahir di tengah tabuh, tumbuh di tengah upacara, dan belajar bermain petuk, cengceng, ganse seperti belajar berjalan.

Dalam dunia yang mengejar pentas, Bali adalah panggung tanpa penonton.

Saat ada odalan, semua pentas. Saat ada upacara, semua tampil. Nyolahang canang sari bukan sekadar ritual, tapi seni penuh kelembutan tangan dan rasa.

Membuat janur dan katik sate bukan kerja kasar, tapi pertunjukan halus penuh rasa estetis. Bahkan suara angsudan katik bisa terdengar seperti komposisi musik yang teratur.

Seni dan kehidupan tak bisa dipisah. Ketika sawah menua, padi mulai menguning, orang Bali membuat orang-orangan. Tapi bukan sekadar orang-orangan, ia digerakkan angin, menari bersama padinya sendiri. Kadang diberi pindekan—alat sederhana yang bersuara, agar burung takut, tapi manusia tersenyum.

Lihat di Jatiluwih, sawah berundag-undag itu bukan hanya ladang padi, ia museum terbuka, teater alam, tempat wisatawan datang bukan hanya untuk foto, tapi untuk merasa. Merasa damai, tenteram, indah.

Minum tuak pun bisa jadi seni. Lahirlah genjek—seni spontanitas yang membuncah dari tawa, dari kebersamaan, dari rasa bahagia yang sulit dijelaskan kecuali dengan bernyanyi dan berpantun.

Di Bali, semua adalah seniman—bukan karena titel, tapi karena rasa.

Seni adalah rasa. Orang seni adalah orang yang peka. Kepekaan itu membentuk watak halus, lembut, dan beretika.

Inilah akar dari keramahtamahan Bali. Turis datang bukan hanya untuk pemandangan semata, tapi untuk bertemu manusia yang menyenangkan, yang sopan, yang menjadikan etika bagian dari keseharian. Karena seni menghaluskan, menyejukkan, dan menuntun pada kebajikan.

Namun dunia ini paradoks. Di tengah keindahan yang lembut, ada ancaman yang kasar. Di tengah rasa yang luhur, ada nafsu yang rendah.

Tanah Bali, tubuh para dewa, kini dijadikan komoditas, dijual jengkal demi jengkal kepada mereka yang datang bukan untuk menyatu, tapi menguasai.

Museum hidup ini bisa retak, bisa hilang, bila manusianya terpinggirkan, budayanya hanya jadi tontonan, dan tanahnya hanya jadi kapital.

Bali bukan hanya destinasi, ia adalah peradaban. Dan tak ada pilihan lain selain menjaga kesatuan: tanah Bali, manusia Bali, dan budaya Bali—mereka satu tubuh, satu jiwa.

Tri Hita Karana bukan sekadar ucapan, ia harus jadi tindakan. Jagalah segara dan gunung, jaga sawah dan hutan, jaga pura dan pelaba.

Harmoni itu bukan hadiah, ia hasil dari kesadaran yang dijaga setiap hari.

Bali tak butuh lebih banyak panggung. Bali hanya butuh lebih banyak penjaga jiwa. Sebab di pulau ini, seni bukan pertunjukan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. (*)

Denpasar, 22 Juni 2025