Kaba “Catuih Ambuih”
Bagindo Muhammad Ishak Fahmi
HATIPENA.COM – Sebuah ruang waktu terbuka di Laga-Laga, Taman Budaya Sumatera Barat, pada 21 Juni 2025. Di sana, tidak hanya patung-patung berdiri tegak sebagai saksi bisu peradaban artistik, tetapi juga dialog yang menghidupkan kembali ingatan kolektif tentang seorang pionir maestro patung abstrak di Indonesia yang telah menjadikan patung sebagai jalan menuju kebebasan ekspresi: Arby Samah.
Diskusi bertajuk “Abstraksi Tanpa Batas”, yang digelar sebagai bagian dari Pameran Patung Internasional 95 Tahun Arby Samah (19–23 Juni 2025), menjadi panggung pertemuan lintas negara dan lintas generasi. Hadir seniman dari Jepang, Nepal, Belgia, Malaysia, Filipina, pematung dari Yogyakarta, hingga para perupa Sumatera Barat.
Namun yang paling penting: diskusi ini bukan sekadar mengenang Arby sebagai seniman. Ia adalah upaya menjahit kembali simpul-simpul kebudayaan yang hari ini kian longgar—dan di sana nama Arby Samah bergema bukan hanya karena karyanya, tapi juga karena integritas hidupnya.
Dari Figuratif ke Abstrak
Dalam pemaparan pembuka, Drs. Muharyadi—kurator, pensiunan guru SMSR Padang, dan salah satu saksi hidup perkembangan seni rupa di Ranah Minang—mengulas bagaimana Arby Samah memulai langkah besarnya. Pada tahun 1957, ketika menempuh pendidikan di ASRI Yogyakarta, Arby dikenal sebagai pematung figuratif yang sangat mumpuni. Ia bisa mencipta bentuk tubuh manusia dengan ketepatan anatomi yang nyaris sempurna.
Namun di balik kepiawaiannya, tumbuh keresahan.
“Ia merasa patung figuratif membelenggu pikirannya. Arby mulai mencari bentuk lain—bentuk yang bukan sekadar meniru realitas, melainkan membebaskan jiwa,” ungkap Muharyadi.
Lahir dari pergulatan itu, Arby memilih jalan yang tak populer saat itu: abstraksi. Ia menolak menjadi cermin visual dari kenyataan, dan lebih memilih menjadi suara batin yang tak terdefinisikan. Dalam pandangannya, seni tak perlu menjawab. Ia hanya perlu hadir dan menghidupkan interpretasi.
“Ketika sepuluh orang melihat karyanya, akan ada sepuluh tafsir yang berbeda. Dan Arby menerima semuanya. Bagi dia, kebebasan berkarya adalah hak dasar seniman,” tambah Muharyadi.
Abstraksi bagi Arby bukan pelarian estetika, tapi bentuk kejujuran. Ia tidak takut dibilang tak lazim. Bahkan dalam pola mengajar di SMSR, ia dijuluki sebagai kepala sekolah yang “abstrak”—bukan karena tidak jelas, tetapi karena cara berpikirnya melampaui struktur formal. Ia lebih suka turun langsung ke lapangan, memahami persoalan siswa, dan menciptakan solusi di luar norma administratif.
Seniman yang Jadi Birokrat, Bukan Sebaliknya
Menyoroti sisi lain Arby, Prof. Indrayuda, Guru Besar Fakultas Bahasa dan Seni UNP Padang, menjelaskan kontribusinya sebagai birokrat kesenian. Usai bertugas di Direktorat Jenderal Kebudayaan di Jakarta, Arby pulang kampung dan menjabat Kepala Bidang Kesenian Sumatera Barat dari 1970 hingga 1990—sebuah masa panjang yang ia isi dengan kerja membangun jejaring dan membuka ruang untuk seniman lokal.
“Ia bukan birokrat yang mengekang, tetapi yang menyuburkan. Ia tahu betul bagaimana membuat sistem mendukung seni, bukan membunuhnya,” ujar Prof. Indrayuda.
Arby memainkan peran strategis ketika Pusat Kesenian Padang (PKP)—cikal bakal Taman Budaya Sumatera Barat—masih berada di bawah pengelolaan langsung Dirjen Kebudayaan. Ia menjalin kolaborasi dengan tokoh-tokoh kunci seperti almarhum Chairul Harun, Wisran Hadi, Bgd. Fahmi, Gusmiati Suid dan banyak seniman lainnya hingga lahir berbagai event seni dan budaya bertaraf regional yang menjadikan Sumatera Barat sebagai episentrum kesenian di Sumatra.
“Yang istimewa dari Arby, dia bukan hanya mencipta karya, tapi menciptakan ekosistem. Itu yang langka hari ini,” lanjutnya.
Empati dalam Kepemimpinan
Dalam sesi tanya jawab, diskusi berkembang ke arah yang lebih personal. Rahmat Wartira (Bang Adek) menyampaikan kesan mendalam tentang Arby.
“Dia bukan hanya seniman besar, tapi manusia paripurna. Ia penuh simpati dan empati. Di saat banyak seniman terjebak ego, Arby hadir dengan keterbukaan.”
Sementara itu, Suhendri dari Dinas Kebudayaan menuturkan bagaimana Arby selalu bersalaman dengan siapa pun yang ditemui. Tindakan sederhana itu menjadi simbol hubungan yang setara, hangat, dan tulus. Namun, ia juga mengkritisi kondisi hari ini yang penuh sekat. “Kini kita lebih sering berbicara dari sudut masing-masing. Tak ada titik temu.”
Seniman sekaligus guru SMK 4/SMSR , Zirwen, menyampaikan refleksi dari perspektif pendidikan. Ia menyebut Arby sebagai sosok pengajar yang tidak hanya berpikir dari balik meja. “Ia turun langsung, menyentuh realitas. Pendidikan seni yang sejati lahir dari keberanian memahami kenyataan, bukan sekadar meniru kurikulum,” katanya.
Museum dan Pemetaan Seniman
Gagasan konkret muncul dari Ali Umar, seniman patung asal Pariaman yang kini tinggal di Yogyakarta. Ia mengusulkan dibangunnya Museum Seni Rupa di Sumatera Barat sebagai proyek percontohan, sekaligus mendesak pentingnya pendataan seniman seni rupa asal daerah yang kini tersebar di seluruh Indonesia.
“Kita butuh museum bukan untuk mengenang masa lalu, tapi sebagai ruang belajar dan inspirasi masa depan. Juga sebagai tempat membangun memori kolektif,” ujarnya antusias.
Usulan ini disambut hangat. Diskusi menyepakati bahwa tanpa arsip, sejarah akan mudah dilupakan. Dan tanpa data, seni akan sulit diperjuangkan dalam kebijakan publik.
Kritik Terhadap Ketidakhadiran Pemerintah
Namun tidak semua berjalan ideal. Asnam Rasyid, seniman patung dan mantan Kepala Taman Budaya Sumatera Barat, menyayangkan ketidakhadiran Kepala Dinas Kebudayaan dalam diskusi yang begitu strategis.
“Jika pemerintah tak hadir dalam percakapan kesenian, bagaimana mungkin kita berharap akan ada keberpihakan?” katanya lugas.
Ia mendukung penuh gagasan pendataan seniman dan pendirian museum, namun menekankan bahwa semua itu tak mungkin berjalan jika pemegang kebijakan hanya menjadi penonton. “Kita butuh lebih dari seremoni. Kita butuh sistem yang mendukung seni hidup dan berkembang.”
Pendapat Ahli Sosiologi Kebudayaan
Dari sudut sosiologi kebudayaan, Prof. Dr. Sulistyo Basuki, pakar kebudayaan dari Universitas Indonesia, memberi pandangan bahwa Arby Samah adalah contoh langka dari seniman-sosiolog-alamiah—yakni mereka yang melihat seni sebagai ruang relasi sosial, bukan hanya ekspresi individu.
“Dalam seni Arby, kita melihat abstraksi sebagai ruang keterhubungan. Ia tidak membuat seni untuk dirinya sendiri, tapi untuk menciptakan jembatan: antara seniman dan negara, antara bentuk dan makna, antara manusia dan manusia,” ujar Sulistyo.
Ia menegaskan bahwa seni hanya bisa hidup jika berada dalam ekosistem sosial yang mendukung. Dan Arby telah membuktikan itu. “Warisannya bukan hanya patung, tapi jejaring sosial-kultural yang ia rajut sepanjang hidup.”
Diskusi “Abstraksi Tanpa Batas” bukan sekadar forum akademik. Ia adalah panggilan untuk membaca ulang warisan Arby Samah, bukan sebagai patung yang diam, tapi sebagai energi hidup yang terus berdetak di ruang-ruang kebudayaan kita hari ini.
Sumatera Barat, dan Indonesia secara luas, membutuhkan lebih banyak Arby-Arby baru—seniman yang tak hanya mencipta, tetapi merawat, menyambung, dan membangun. Karena seperti yang diyakini Arby Samah: seni adalah bentuk tertinggi dari kebebasan, tapi kebebasan itu tak akan bermakna tanpa empati. (*)
Padang, Juni 2025