Drs. H. Makmur, M.Ag
Kepala Kemenag Kota Bandarlampung
HATIPENA.COM – Pada suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab berjalan menuju rumah Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi Muhammad SAW. Langkah Umar, sebagaimana biasanya, tegas dan penuh tujuan.
Namun hari itu, ada maksud mulia yang dibawanya: ia ingin menyampaikan keinginan untuk memperluas Masjid Nabawi, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Rasulullah sebelum wafat. Dan rumah Abbas adalah bangunan yang paling dekat dengan masjid.
Setibanya di kediaman Abbas, Umar menyampaikan hajatnya dengan santun. Ia tidak datang membawa titah kekuasaan, melainkan ajakan musyawarah. “Wahai Abbas,” katanya, “aku memohon, sudikah engkau merelakan rumahmu demi cita-cita Rasulullah memperluas masjid beliau?”
Abbas mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu menjawab dengan suara tenang, “Maafkan aku, wahai Amirul Mukminin. Aku tidak bisa memberikannya.” Jawaban itu mengejutkan Umar. Ia tidak menyangka akan mendapat penolakan dari paman Nabi sendiri, orang yang selama ini dikenal dermawan dan dekat dengan perjuangan umat.
Tapi Umar mencoba kembali membujuk, “Abbas, ini demi kepentingan umat.” Abbas tetap diam dalam sikapnya. Ia tidak membentak, tidak mencerca. Ia hanya menjaga haknya.
Umar mulai berbicara dengan nada lebih tinggi. “Kalau begitu,” katanya, “demi maslahat umum, aku akan mengambilnya secara paksa.” Abbas tetap tidak bergeming. Ia tidak memusuhi Umar, tapi juga tidak ingin keadilan dikalahkan oleh kekuasaan. Maka ia pun mengusulkan, “Jika demikian, mari kita serahkan perkara ini kepada penengah yang adil.”
Usulan itu disambut Umar dengan bijak. Mereka sepakat menunjuk Hudzaifah bin al-Yaman sebagai penengah, seorang sahabat Nabi yang dikenal jujur, bersih, dan bijaksana, (Khudzaifah seorang pejabat, yaitu dewan penasehat kekhalifahan) .
Maka duduklah ketiganya dalam sebuah majelis kecil yang sederhana. Di sana, bukan hanya nasib sebuah rumah yang diputuskan, tapi juga pelajaran besar tentang hati, kuasa, dan keadilan.
Setelah mendengar duduk perkara dari kedua belah pihak, Hudzaifah terdiam sejenak. Ia tidak buru-buru memberi keputusan. Ia meminta izin untuk mengisahkan sebuah peristiwa lama yang sarat makna.
Suatu ketika, kata Hudzaifah, “Nabi Daud ‘alaihissalam berniat memperluas Baitul Maqdis. Namun lahan yang ingin digunakan ternyata milik seorang miskin. Nabi Daud bermaksud mengambilnya demi kepentingan ibadah. Tapi Allah menegur: ‘Sesungguhnya rumah-Ku adalah rumah yang suci dari segala bentuk kezaliman.’ Maka Nabi Daud pun mengurungkan niatnya dan mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya.”
Kisah itu menghentikan semua suara di ruangan. Abbas memandang Umar dan bertanya dengan lembut, “Wahai Umar, setelah mendengar kisah ini, apakah engkau masih akan mengambil rumahku?”
Umar menunduk. Tak ada lagi nada tinggi dalam suaranya. Dengan jujur dan rendah hati, ia menjawab, “Tidak. Aku tidak akan mengambilnya.”
Dan saat itulah, Abbas justru tersenyum. Dengan wajah tenang dan suara hangat, ia berkata, “Kalau begitu, aku ridha. Aku ikhlas menyerahkan rumahku untuk memperluas masjid Rasulullah.”
Umar pun berdiri dan memeluk Abbas dengan haru. Bukan karena ia berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, tetapi karena ia menyaksikan sesuatu yang lebih besar: kemenangan nurani atas ego, kemenangan kebenaran atas kekuasaan, dan kemenangan keikhlasan atas kepentingan pribadi.
Kisah ini menyentuh begitu dalam karena menyajikan tiga peran penting yang sering kita jumpai dalam hidup: sebagai pemimpin yang dihadapkan pada pilihan antara kuasa dan keadilan, sebagai individu yang berhak mempertahankan miliknya namun juga mampu melepaskannya demi kebaikan, dan sebagai penengah yang menjunjung tinggi kebenaran di atas kedekatan atau kepentingan.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun sering mengalami tarik-menarik antara suara ego dan suara nurani. Ego datang dengan pembenaran yang memikat: bahwa kita layak, bahwa kita benar, bahwa kita lebih tahu. Ia menguasai lidah kita saat debat, menuntun tangan kita saat menulis komentar, dan bahkan menyusup ke dalam niat-niat mulia kita. Ego ingin menang dan kadang, ingin menang sendiri.
Namun nurani hadir lebih pelan. Ia tidak membentak, tapi mengajak. Tidak memaksa, tapi menyentuh. Ia mengingatkan kita bahwa kebenaran tak selalu dimiliki oleh yang paling keras bersuara, dan kemenangan sejati bukanlah mengalahkan orang lain, tapi mengalahkan diri sendiri.
Banyak persoalan sebenarnya bisa selesai lebih cepat jika kita mampu menanggalkan sedikit saja dari ego kita. Sebaliknya, banyak konflik berkepanjangan justru karena kita lebih memilih membentengi harga diri daripada membuka ruang untuk mengerti. Kita mengatasnamakan maslahat, tapi sering lupa menimbang cara. Kita berteriak soal kebaikan, tapi tak sadar memaksakan kehendak.
Kisah Umar dan Abbas adalah gambaran tentang kematangan jiwa. Tentang bagaimana kekuasaan bisa tetap santun, hak bisa tetap tegas, dan keadilan bisa tetap hidup di tengah tarik ulur kepentingan. Semua itu terjadi bukan karena kekuatan satu pihak, tapi karena ketiganya memilih mendengar suara nurani.
Maka dalam kehidupan kita, baik sebagai pemimpin, orang tua, suami, istri, tetangga, atau teman, belajarlah mendengarkan suara hati. Beranilah menundukkan ego, meski sesekali harus tampak kalah. Karena di situlah letak kemenangan sejati.
Ketika nurani bisa meruntuhkan ego, bukan hanya masalah yang selesai, tapi kedamaian akan tumbuh. Dan dari kedamaian itulah, keberkahan akan hadir dalam hidup kita. (*)
Wallāhu a‘lam.
Bandarlampung, 11 Juli 2025