HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Ijazah Palsu: Jepang Versus Indonesia

July 13, 2025 06:47
IMG_20250713_064452

Catatan Satire: Rizal Pandiya
Sekretaris Satupena Lampung

HATIPENA.COM – Sebuah drama serius sedang berlangsung di Negeri Sakura. Bukan drama cinta-cintaan, bukan juga anime terbaru, tapi sebuah kisah tentang ijazah dan kredibilitas seorang pejabat publik.

Adalah Maki Takubo, Wali Kota Ito, Prefektur Shizuoka, Jepang, yang akhirnya mengumumkan mengundur diri, baru-baru ini. Gara-garanya? Ternyata ijazah sarjana hukum dari Universitas Toyo yang selama ini dia miliki, fiktif belaka. Bukan Toyo yang bohong, tapi Takubo yang lupa bahwa dirinya sudah di-DO bertahun-tahun lalu. Sejenis amnesia akademik yang baru kambuh saat sudah menjabat.

Takubo berdalih, ia baru tahu status drop out-nya akhir bulan kemarin. Sebelumnya ia merasa yakin bahwa ia telah lulus—mungkin karena terlalu banyak nonton Doraemon, dia berharap bisa kembali ke masa lalu untuk ikut ujian skripsi. Tapi sayang, kantong ajaib Doraemon menolak mahasiswa jadi-jadian. Mungkin kalau dia pinjam mesin waktunya Nobita lebih awal, kisah ini takkan sampai ke buletin kota.

Begitu Takubo blak-blakan mengakui bahwa dirinya sudah dikeluarkan dari kampus, kantor pemerintahan Kota Ito langsung berubah jadi call center nasional. Telepon berdering nyaris tanpa jeda, lebih sibuk dari dapur makan bergizi gratisnya presiden kita. Pegawai resepsionis sampai nyaris pensiun dini karena stres.

Ada sekitar 900 telepon dan 100 email masuk – bukan dari fans, tapi dari warga yang marah karena wali kotanya ternyata menggunakan ijazah abal-abal. Pegawai pemerintahan pun tak sempat ngopi, apalagi balas chat pesan di WhatsApp. Aktivitas harian lumpuh, gara-gara satu ijazah yang tak jelas asal-usulnya. Konon, mesin fotokopi di balai kota ikut mogok kerja karena trauma akademik.

Yang bikin tambah panas, bukan hanya rakyat murka, tapi juga pegawai dan serikat buruh di lingkungan balai kota. Di pagi sebelum Takubo menyatakan mundur, pimpinan serikat pekerja datang menyerahkan surat cinta berisi tuntutan, “Segera klarifikasi atau kami demo pakai megafon dan semangat keadilan!”

│ Tidak ada yang bilang, “Itu kan putusan MK, nggak bisa digugat lagi.”
│ Tidak ada yang bilang, “Ah…itu ijazah nggak penting, yang penting skill.”
│ Tidak ada yang menyarankan agar nyalon lima tahun lagi.
│ Karena di Jepang, kalau bohong soal ijazah, jawabannya bukan, “Sudahi polemik,”
│ tapi, “Silakan keluar!”

Sementara itu, di sebuah negeri yang kaya akan toleransi tingkat tinggi terhadap ketidakjelasan, ada kisah yang tak kalah seru – bahkan lebih seru dari drama Korea. Tokohnya? Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden termuda dan terbaik sepanjang masa,” kata Ade Armando, seorang buzzer yang kemudian jadi komisaris di PLN Nusantara Power.

Isu soal keaslian ijazahnya kembali naik daun, setelah sebelumnya tenggelam dalam lautan euforia elektoral, mabuk janji menciptakan 19 juta lapangan kerja, dan gimmick politik lainnya.

Sebenarnya, ini bukan isu baru, tapi sudah lama jadi topik diskusi, mulai dari warung kopi sampai warung nasi Kapau, terutama bagi aktivis dan netizen. Mereka menduga ijazah Mas Gibran adalah aspal – asli tapi palsu, atau palsu tapi asli, tergantung siapa yang bicara dan siapa yang dibela.

Tapi, baru-baru ini dokter Tifa – seleb-twit dengan radar keanehan tajam – kembali mengangkat isu ini di platform X. Ia bertanya, “Kalau memang Gibran lulusan Universitas Bradford Inggris, kenapa namanya tidak tercantum di Ikatan Alumni British (IABA)? Kalau memang kuliah di Singapore 2007–2010, apakah dia terdaftar di PPI Singapura?” Jangan-jangan dia mahasiswa siluman, atau anak magang.

Lalu soal ijazah SMA. Pertanyaannya mulai bikin kepala cenat-cenut dan jidat panas kayak habis makan mie instan tanpa kuah. Pernah dua tahun di SMA Santo Yosef tapi katanya nggak naik kelas. Di SMK Kristen Yosef, katanya daftar doang lalu menghilang seperti sinyal handphone di hutan Register 45 yang mistis itu.

Ngaku sekolah di Orchid Park Secondary School, padahal itu setara SMP. Di UTS Insearch Australia? Katanya itu kursus doang, bukan sekolah menengah. Lalu pertanyaannya, “Mas Gibran kuliah di MDIS Singapore pakai ijazah apa? Surat pengantar dari RT, atau sertifikat lomba menggambar tingkat kelurahan?”

Lalu ijazah Universitas Bradford yang tidak ada logo MDIS-nya juga bikin penasaran. Karena seharusnya, kalau kuliah lewat jalur afiliasi (seperti MDIS), ijazahnya ada logo dua institusi. Nah, Gibran punya ijazah Bradford yang bersih dari logo MDIS. Artinya apa? Ya bisa berarti apa saja. Bisa berarti dia kuliah langsung di Inggris. Tapi… bukankah dia katanya kuliah di Singapore selama 2007–2010? Ini bukan sekadar teka-teki silang, ini misteri dimensi waktu.

Ini juga bikin kita tercengang bukan cuma soal ijazah Gibran dari Universitas Bradford tanpa logo MDIS, tapi kemampuan metafisik yang tampaknya ia miliki. Sebab, kalau benar ijazah itu didapat langsung dari kampus induk di Inggris, maka artinya Gibran kuliah langsung di sana, bukan lewat jalur afiliasi MDIS di Singapura.

Padahal, dalam banyak kesempatan, disebutkan bahwa Gibran menempuh studi di Singapore selama 2007 hingga 2010. Nah lo… Jangan-jangan Gibran punya saudara kembar yang mirip identik! Atau kloningan yang dikirim dari masa depan buat nyiapin pencalonan 2029?

Apakah Gibran bisa membagi diri seperti kagebunshin no jutsu-nya Naruto? Satu tubuhnya duduk manis kuliah di Singapura, tubuh lainnya sedang nonton bola Liga Inggris sambil makan chicken katsu. Ibarat orang sedang makan nasi Padang, tapi foto makanan yang diunggah nasi warteg.

Atau jangan-jangan dia punya alat teleportasi dari masa depan yang membuatnya bisa pindah benua dalam sekejap – pagi kuliah di MDIS, sore nongkrong di kantin Universitas Bradford. Kalau ini benar, seharusnya dia bukan Wapres, tapi pilot jet super cepat yang melebihi kecepatan cahaya.

Tapi dari semua itu, yang paling rasional dalam semesta satire kita: ijazah itu tercetak berdasarkan khayalan bersama. Sejenis ijazah quantum, yang wujudnya bergantung pada siapa yang melihat. Kalau orang melihat dengan niat baik, maka ijazah itu asli. Kalau yang melihat punya niat mencurigai, maka otomatis berubah jadi dokumen misterius. Seperti horoskop akademik—bisa dipercaya, bisa juga lucu-lucuan.

Atau jangan-jangan, memang benar dia se-almamater dengan bapaknya, alumni legendaris dari Universitas Pojok Pramuka (UPP)—kampus transendental yang ijazahnya bisa muncul berkat jasa seseorang yang kelak jadi wakil menteri. Di UPP, syarat kelulusan cukup satu: percaya.

Begitulah yang terjadi. Di Jepang, satu kebohongan akademik cukup untuk menggoyang seluruh bangunan birokrasi. Kalau di sana bisa memaksa walikota mundur hanya karena ijazah tak jelas, di sini malah mengangkat pemimpin yang tak jelas. Dan uniknya, di sini undang-undang bukan untuk menegakkan etika, tapi bisa menyesuaikan seseorang untuk jadi calon pemimpin—asal punya relasi dan suara rakyat. (*)

Bandarlampung, 13 Juli 2025

#MakDacokPedom