Puisi Esai Oleh L. K. Ara
HATIPENA.COM – Di tengah gedung berpendingin dan arca bisu,
tiga lelaki berdiri seperti pohon tua
yang tak pernah tumbang meski ribuan musim berlalu—
akar mereka tertanam dalam tanah adat,
daun-daun mereka berguguran menjadi syair.
Mereka bukan sekadar tubuh yang dibalut pakaian adat,
mereka adalah kitab berjalan,
yang tiap kerutan wajahnya
menyimpan bait-bait hikmah
dari suara yang dulu turun di sela hujan kopi dan doa ibu.
Sulaman di baju mereka bukan hiasan,
melainkan peta bintang
yang menuntun anak cucu
agar tak sesat dalam kabut zaman.
Mereka datang dari pegunungan yang jauh
bagaikan duta dari negeri langit
yang membawa kabar, bukan hanya dari kampung,
tapi dari suara-suara leluhur
yang tak pernah diundang ke ruang rapat.
Wajah mereka menyala—
seperti pelita terakhir
yang bertahan di malam tanpa listrik budaya.
Suara mereka bukan sekadar nyanyian,
tapi aliran sungai tua
yang membawa batu-batu hikmah
melewati zaman yang gemar mencongkel akar.
Anak-anak kini lebih hafal jargon digital
daripada syair Didong yang pernah mengusir perang,
tapi di hadapan patung dan sejarah yang beku,
tiga penjaga ini bersuara:
“Kami belum padam.”
Mereka berdiri—
seperti tiga gunung yang saling menopang,
di bawah langit beton Jakarta,
mereka adalah napas alam
yang menyelinap ke dalam gedung
dan membisikkan:
“Tradisi bukan pakaian pentas,
tapi darah yang mengalir ke generasi berikutnya.”
Epilog:
Mereka pulang,
tapi jejak kaki mereka tertinggal
di lantai museum dan hati para penonton.
Esok, bila angin bertiup ke arah Gayo,
dengarlah—akan ada tiga suara
yang tak berhenti memanggil
anak zaman pulang ke akar mereka. (*)