Oleh Nia Samsihono
Ketua Satupena DKI Jakarta
HATIPENA.COM – Di tengah padang politik yang menggelegak, dua sosok raksasa kembali berhadap-hadapan: Gajah dan Banteng. Keduanya bukan sekadar simbol kekuatan, tapi representasi narasi besar yang mendominasi ruang publik—yang satu bicara atas nama stabilitas dan ingatan masa lalu, yang lain mengatasnamakan perubahan dan pembebasan. Kita, manusia, sekali lagi disuguhi pertarungan yang tampak dramatis, tapi secara filosofis justru menyisakan satu pertanyaan mendasar:
Gajah dan Banteng mulai saling menatap, bumi sudah bergetar. Manusia tetap berjalan seperti biasa. Ada yang memikul hasil panen, ada yang mengusung spanduk harapan, dan ada pula yang sekadar memeluk diam. Mereka sudah terlalu lama hidup di bawah bayang-bayang raksasa, hingga lupa caranya berdiri tanpa menggantungkan nasib pada langkah kaki para hewan agung.
Sebagian manusia memilih mendekat ke Gajah. Mereka bilang: “Ia lamban, tapi ia kuat. Ia bisa lindungi kita dari serangan liar. Ia mengingat siapa musuh dan siapa kawan.”
Mereka membuat pujian, syair-syair panjang tentang kebesaran telinga Gajah yang konon mendengar suara akar rumput.
Sementara yang lain berlari ke sisi Banteng. Mereka berseru: “Lihat tanduknya! Itu harapan. Ia berani, ia menerobos batas, ia punya darah yang masih menyala!” Mereka menanamkan bendera di padang ilalang, berharap sejarah bisa berubah dengan sekali seruduk. Namun yang terbanyak justru diam. Mereka lelah memilih.
Di hadapan dua raksasa, mereka seperti semut-semut yang hanya ingin selamat. Berbicara pelan di warung kopi, menyembunyikan opini dalam tawa dan keluhan ringan. Mereka melihat perkelahian itu seperti menonton pertunjukan lama yang terus diputar ulang—dengan aktor berbeda tapi naskah yang sama. Namun, ada juga yang cerdik. Para manusia yang menyamar sebagai penabuh genderang. Mereka tak berada di sisi Gajah atau Banteng, tapi di belakang layar. Mereka meniup bisikan ke telinga Gajah: “Lihat, Banteng itu akan menjatuhkanmu.” Lalu mereka beralih ke Banteng dan berkata: “Gajah tak lagi memikirkanmu. Saatnya kau rebut takhta itu.”
Mereka adalah pemintal kabut. Para tukang sabda yang lihai menyusun narasi, hingga rakyat saling mencurigai, pemuda saling melaporkan, dan anak-anak tak lagi tahu siapa yang pernah jadi pahlawan. Lalu, ketika tubuh Gajah dan Banteng jatuh, manusia baru sadar: Padang rumput telah rusak. Sungai mengering. Hutan terbakar dan para tikus menggali istana dari bawah tanah. Maka manusia pun kembali bertanya: “Apakah kita ini sekadar penonton, atau sebenarnya pemilik hutan yang telah lupa cara berdaulat?”
Dalam kerangka pemikiran Jürgen Habermas, tatanan masyarakat ideal adalah yang memberi ruang seluas-luasnya bagi komunikasi tanpa paksaan. Kebenaran tidak lahir dari siapa yang lebih kuat menghentak tanah, tapi dari siapa yang bersedia duduk dan saling mendengar dengan akal yang terbuka. Dalam konteks ini, pertarungan antara Gajah dan Banteng adalah kegagalan komunikasi. Ia adalah bentuk regresi ke zaman mitos, ketika kebenaran ditentukan oleh kekuasaan, bukan oleh diskusi.
Manusia—rakyat, warga, masyarakat sipil—seharusnya bukan figuran dalam fabel kekuasaan ini, tapi hari ini, justru kita makin terpinggirkan.
Wacana publik dikuasai oleh elite yang saling menyerang, saling membangun narasi absolut. Padahal, masyarakat tidak butuh absolutisme baru. Mereka membutuhkan ruang deliberasi: ruang ketika suara guru di pelosok, petani di lereng, ibu rumah tangga, mahasiswa kritis, dan pekerja harian sama-sama bisa menyampaikan pandangannya tanpa takut diseruduk atau diinjak. Apakah kita akan terus diam, menyaksikan raksasa-raksasa bertarung dan menganggap itu sebagai satu-satunya cara mengelola negeri?
Habermas mengingatkan kita akan satu hal penting: demokrasi sejati tidak dibangun dari pertarungan kekuatan, tapi dari rasionalitas komunikatif. Artinya, ketika Gajah dan Banteng saling bertarung tanpa memberi ruang bagi dialog sejati, yang runtuh bukan hanya hutan tempat kita hidup, tetapi juga kepercayaan kita pada nalar kolektif sebagai dasar hidup bersama.
Lalu di mana peran para penulis? Di tepi hutan yang mulai hangus oleh amarah, seorang penulis duduk bersila. Di tangannya tak ada senjata, hanya selembar kertas lusuh dan sebatang pena yang tintanya berasal dari air hujan yang pernah jatuh di musim kemarau. Ia menyaksikan dari jauh, dua raksasa—Gajah dan Banteng—yang saling menyeruduk, saling menjatuhkan, saling mengklaim bahwa merekalah takdir yang harus diikuti.
“Aku tidak akan memilih,” bisik penulis, bukan karena takut, tapi karena ia tahu, memilih dalam arena yang ditata rapi oleh kekuasaan hanya akan menjadikannya pion di papan yang sama.
Ia menunduk, mencatat. Di bawah rindang yang tak lagi teduh, ia mendengar suara-suara kecil: — Suara perempuan yang kehilangan air sumurnya. — Suara petani yang tak paham kenapa tanahnya berubah jadi jalan tol. — Suara anak-anak yang disuruh hormat pada bendera, tapi tak diajarkan kenapa warna merahnya semakin pudar.
Ia mendengar semua itu, lalu menulis. Dengan bahasa yang tidak membakar, tapi juga tidak meninabobokan. Ia menulis dengan luka, tapi juga dengan harapan. Ia tahu, tulisan tidak bisa menghentikan tanduk atau telapak kaki, tapi ia bisa menjadi benih di dalam kepala manusia.
Di tengah kebisingan sorak-sorai pendukung raksasa, suara penulis itu melayang rendah, menyentuh telinga mereka yang diam.
“Jika kita hanya berbisik di antara reruntuhan, maka reruntuhanlah yang akan menjadi bahasa kita selanjutnya,” tulisnya.
Maka datanglah anak muda—yang biasa diam di warung kopi—membaca sepotong kalimat, lalu bertanya: “Apakah suara saya penting?”
Datang pula perempuan tua, menggenggam kertas lusuh itu sambil berkata: “Aku kira hanya aku yang merasa ditinggalkan.”
Datang pula mereka yang biasa berpihak, kini mulai ragu: “Untuk siapa sebenarnya aku berteriak selama ini?”
Penulis itu tidak memberi jawaban. Ia hanya terus menulis. Ia bukan nabi. Bukan pembawa panji. Ia hanya manusia yang tak ingin manusia lain dilupakan. Ia menulis agar suara tak hanya milik mereka yang punya mikrofon. Ia menulis agar nalar tak dikalahkan oleh loyalitas buta. Ia menulis agar suatu hari, ketika padang sudah tenang, ketika Gajah dan Banteng lelah bertarung, manusialah yang bisa berdiri—bukan untuk menghakimi, tapi untuk membangun kembali dari puing dengan cerita yang lebih adil.
Sebelum malam menutup langit yang berdebu, penulis itu menorehkan satu kalimat terakhir di lembar kertasnya
”Jika kalian sibuk menjadi besar, izinkan aku mencatat yang kecil. Sebab dari yang kecil-lah kita tahu, apakah yang besar masih punya hati.”
Lalu ia tiupkan tulisannya ke angin. Bukan agar diterbangkan, tapi agar tidak pernah benar-benar hilang.
Lalu, ketika siapa yang lebih kuat itu akhirnya jatuh—siapa yang benar-benar menang?
Tak ada jawaban yang pasti. Yang tersisa hanya tanah yang retak, pepohonan yang tumbang, dan binatang-binatang kecil yang menyaksikan dari jauh—diam, gelisah, dan bertanya: “Siapa lagi yang akan bertarung setelah ini?” (*)
Jakarta, 20 Juli 2025
Bionarasi:
Nia Samsihono, nama pena dari Dad Murniah. Lahir di Pontianak 16 September 1959. Lulus SMA
I Purbalingga, Jawa Tengah. Kuliah di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah dan S-2 di Universitas Indonesia, Jakarta. Buku puisi tunggalnya, antara lain, Kemarau (2003), Perkawinan Cinta (2009), Gending (2010), Nyanyian Alam (2020), dan Kinanti (2021).
Antologi Puisi Perempuan Langit 2 (2016), Puisi Esai Perempuan Nusa (2019), Antologi Puisi Perempuan Bahari (2020), Antologi Perempuan dan Lautan (2021), Antologi Puisi Negeri Poci: Jauhari (2024).
Ia sebagai Ketua Pengurus Yayasan Cinta Sastra, aktif di Komunitas Perempuan Bahari. Ia juga ahli bahasa dalam berbagai kasus kebahasaan, sebagai penyuluh bahasa, konsultan bahasa, dan editor berbagai buku.