HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Gotong Royong dalam Bingkai Adat Lampung

July 24, 2025 07:57
IMG-20250724-WA0019

Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)


Tabik Pun!

HATIPENA.COM – Dalam setiap budaya tradisional di Nusantara, cerita rakyat bukan hanya sekadar hiburan atau pengisi waktu luang, melainkan juga medium untuk menanamkan nilai-nilai sosial, budaya, dan spiritual kepada generasi muda.

Di tanah Lampung, cerita rakyat mengandung makna mendalam yang berakar pada adat istiadat masyarakatnya. Cerita-cerita ini bukanlah fiksi biasa; ia adalah cermin dari cara hidup, cara berpikir, dan tata nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat adat.

Tulisan ini mengangkat sebuah cerita rakyat fiksi tradisional dari masyarakat Lampung yang bertajuk “Puti Gading dan Nuwo Balak: Kisah dari Bumi Sai Bumi Ruwa Jurai”.

Cerita ini akan diiringi dengan pembahasan filosofis dan analisis nilai-nilai sosial, budaya, serta spiritual yang terkandung dalam praktik-praktik adat seperti gotong royong, musyawarah, dan penghormatan terhadap leluhur.

Alkisah, di kaki Bukit Barisan bagian selatan Sumatera, hiduplah seorang gadis muda bernama Puti Gading. Ia adalah anak dari seorang penyimbang (tokoh adat) yang bijaksana bernama Raja Lumbung di sebuah pekon (desa adat) bernama Puncak Talang.

Puti Gading terkenal akan kebaikan hatinya dan kecintaannya pada budaya Lampung. Ia pandai menari, menyanyi lagu-lagu adat, dan sering membantu ibunya membuat tapis (kain tradisional Lampung).

Suatu hari, Raja Lumbung memutuskan akan membangun Nuwo Balak (rumah besar) untuk menyambut pesta adat besar tahunan yang disebut Begawi Adat. Ia ingin Nuwo Balak itu menjadi simbol persatuan marga dan tempat berkumpulnya seluruh keturunan Sai Batin dan Pepadun. Namun pembangunan rumah sebesar itu tidaklah mudah, apalagi di tengah musim kemarau panjang.

Melihat ayahnya mulai cemas, Puti Gading mengusulkan, “Ayah, mari kita gelar Himpun Adat, ajak seluruh penyimbang dari kampung sekitar. Kita ajukan niat membangun Nuwo Balak ini sebagai usaha bersama, bukan milik kita sendiri.”

Raja Lumbung setuju. Maka dikirimlah utusan ke kampung-kampung: ke Talang Betung, Sukadana, hingga ke Way Kanan. Dalam waktu tiga hari, penyimbang dari tujuh marga datang dengan pakaian adat lengkap, membawa sirih sekapur sebagai lambang penghormatan.

Dalam himpun adat tersebut, diputuskan bahwa pembangunan Nuwo Balak akan dilakukan secara gotong royong. Marga-marga akan mengirimkan tenaga, bahan bangunan dari hutan adat, serta peralatan.
Anak-anak muda akan memikul kayu, para ibu akan memasak makanan untuk para pekerja, dan para tetua akan membacakan doa dan mantera agar proses pembangunan dilindungi leluhur.

Tiga minggu kemudian, Nuwo Balak berdiri megah di tengah pekon. Di puncak acara Begawi Adat, Puti Gading menari Cangget Nyimbur dengan iringan gamolan dan nyanyian tua. Di tengah tarian itu, para penyimbang mengangkat Puti Gading menjadi penyimbang muda, yang termuda dalam sejarah kampung mereka.

Tapi lebih dari itu, Nuwo Balak menjadi lambang hidup dari nilai gotong royong yang telah lama mengakar di masyarakat Lampung. Sebuah rumah yang dibangun tidak dengan uang, tapi dengan kebersamaan, kasih sayang, dan spiritualitas yang luhur.

Cerita fiktif Puti Gading ini mencerminkan struktur sosial, nilai budaya, serta spiritualitas yang masih lestari dalam masyarakat Lampung. Dalam bagian ini, kita akan menganalisis lebih dalam beberapa aspek yang muncul dari cerita tersebut.

Himpun adat yang digelar oleh Raja Lumbung menunjukkan bahwa dalam masyarakat Lampung, keputusan penting selalu melibatkan musyawarah antar penyimbang. Ini mencerminkan sistem demokratis yang hidup dalam masyarakat adat Pepadun, meskipun dalam bentuknya yang khas.

Nilai yang ditanamkan di sini adalah penghargaan terhadap mufakat, pengakuan atas keberagaman marga, serta prinsip egalitarian dalam pengambilan keputusan. Dalam cerita, semua penyimbang dari berbagai kampung berkumpul tanpa merasa lebih tinggi satu sama lain, menandakan prinsip sosial gotong royong yang setara.

Pembangunan Nuwo Balak adalah simbol nyata dari sistem gotong royong. Rumah besar dalam adat Lampung tidak sekadar bangunan, tapi juga representasi dari keharmonisan sosial dan budaya.

Dalam pembangunan itu, semua lapisan masyarakat berkontribusi sesuai kemampuan masing-masing. Ini mencerminkan konsep kolektifisme yang sangat kuat dalam budaya Lampung.

Gotong royong di sini bukan hanya kerja fisik, tetapi juga melibatkan pemikiran, spiritualitas, dan estetika (seperti seni tari dan nyanyian adat). Hal ini memperlihatkan bahwa masyarakat Lampung melihat gotong royong sebagai suatu bentuk pengabdian total kepada komunitas.

Tokoh Puti Gading merupakan gambaran dari peran perempuan dalam pelestarian budaya. Dalam budaya Lampung, meskipun struktur adat cenderung patriarkal, perempuan memiliki posisi penting dalam penguatan nilai-nilai budaya dan sosial. Perempuan Lampung tidak hanya pasif, tetapi aktif dalam kegiatan adat seperti menenun tapis, menari dalam upacara adat, serta menjadi jembatan komunikasi antargenerasi.

Dalam cerita, Puti Gading tidak hanya terlibat, tetapi juga menjadi inisiator kegiatan kolektif. Ini mengajarkan nilai-nilai kepemimpinan perempuan yang inklusif dan humanistik.

Doa dan mantra yang dibacakan oleh para tetua saat pembangunan Nuwo Balak menunjukkan spiritualitas masyarakat Lampung yang masih sangat erat dengan alam dan leluhur. Hutan adat menjadi tempat sakral, bukan hanya sumber ekonomi. Kayu yang digunakan berasal dari hutan yang telah didoakan, menunjukkan kesadaran spiritual atas pentingnya menjaga keseimbangan alam.

Pembangunan rumah pun tidak semata urusan teknis, tetapi juga sakral. Rumah dianggap sebagai makhluk hidup yang akan dihuni oleh semangat baik dan menjadi penjaga nilai-nilai keluarga.

Tarian Cangget Nyimbur dan nyanyian gamolan yang dimainkan saat peresmian Nuwo Balak adalah bentuk seni yang memiliki makna simbolis. Setiap gerakan tari memiliki filosofi, seperti menyambut tamu, mempererat persaudaraan, dan mengusir roh jahat. Musik dan tari menjadi media untuk mengajarkan nilai-nilai secara turun-temurun dengan cara yang indah dan menyentuh.

Cerita rakyat ini, walaupun fiktif, mengandung banyak pelajaran yang relevan untuk konteks masa kini:
• Dalam dunia yang individualistik, gotong royong mengingatkan pentingnya kerja kolektif dalam menyelesaikan masalah bersama, seperti pandemi, bencana alam, atau konflik sosial.
• Dalam tata kelola desa modern, prinsip musyawarah dan partisipasi seperti dalam himpun adat dapat diadopsi untuk pengambilan keputusan pembangunan.
• Dalam pelestarian lingkungan, nilai spiritual terhadap alam dapat menginspirasi kebijakan berkelanjutan.
• Dalam penguatan peran perempuan, figur seperti Puti Gading memberikan teladan kepemimpinan yang berakar pada budaya.

Cerita fiksi tradisional tentang Puti Gading dan pembangunan Nuwo Balak bukan hanya dongeng pengantar tidur. Ia adalah medium kultural yang memuat banyak nilai-nilai sosial, budaya, dan spiritual masyarakat Lampung. Cerita ini menegaskan bahwa gotong royong bukanlah konsep abstrak, tetapi praktik hidup yang diwariskan, dirasakan, dan dijalani dalam komunitas adat.

Melalui cerita rakyat seperti ini, generasi muda Lampung dapat terus terhubung dengan akar budaya mereka, sekaligus menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai panduan dalam menjawab tantangan zaman. Di tengah arus modernisasi, kekayaan adat seperti ini menjadi kompas moral dan identitas kolektif yang tak ternilai. (*)

Daftar Pustaka

  1. Alwi, Hasan. (2008). Adat dan Budaya Lampung. Bandar Lampung: Pustaka Rakyat.
  2. Dewan Adat Lampung. (2010). Struktur dan Fungsi Adat dalam Masyarakat Lampung. Bandar Lampung: Balai Bahasa dan Budaya.
  3. Zuhdi, Muhammad. (2014). “Nilai-nilai Kearifan Lokal dalam Adat Lampung.” Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, Vol. 3, No. 2.
  4. Kartomi, Margaret. (1998). “The Roles of Music and Dance in Lampung Society.” Asian Music, Vol. 29, No. 2.
  5. Susanto, Ananda. (2017). Gotong Royong dan Modal Sosial dalam Masyarakat Adat. Jakarta: Gramedia.
  6. Pemerintah Provinsi Lampung. (2021). Profil Kebudayaan Daerah Lampung. Bandar Lampung: Dinas Kebudayaan Lampung.
  7. Fitriani, D. (2020). Cerita Rakyat Lampung dan Nilai Moral di Dalamnya. Lampung: Bintang Pustaka.