Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
TAK SENGAJA ketemu Bu Aida Mochtar di depan Toko Madrid, Pontianak, sore tadi. Sebuah toko bahan pakaian yang namanya mungkin terinspirasi dari ambisi Eropa.
Beliau tokoh perempuan ternama di Bumi Khatulistiwa. Bagi mereka yang paham lika-liku politik Kalbar dan tak asing dengan nama mantan Ketua KPU Kalbar ini. Saya mengenalnya, tapi ia tidak mengenal saya. Wajar, toh, beliau tokoh, saya cuma kawan dari bayang-bayang. Hanya pengurus divisi kecil di ICMI Kalbar. Sementara beliau sang sekretaris ICMI, orang nomor dua.
Obrolan kami bermula ringan. Ya, seperti kain katun murah di toko sebelah. Tapi perlahan, menjadi seberat kain sutra yang harganya bikin dompet berkeringat. Politik! Tema klasik yang selalu punya racun di balik manisnya.
“Saya baru berhenti jadi caleg kalau memang sudah tidak bisa lagi,” ujarnya dengan nada setegas palu sidang MK kemarin.
Bukan kalimat biasa. Itu janji. Sumpah serapah seorang pejuang. Perjuangan yang sudah ia lakoni selama tiga kali pemilu. Ya, tiga kali. Dan hasilnya? Ah, kita semua tahu jawabannya, belum terpilih. Tapi apakah ia berhenti? Tidak. Untuk Bu Aida, kegagalan adalah bahan bakar.
“Kalau ikut jadi caleg, ada dua kemungkinan: terpilih atau tidak. Kalau tidak ikut, pastilah tidak terpilih,” katanya dengan gaya seorang dosen filsafat yang baru saja menemukan teori eksistensialisme versi Kalbar.
Cukup? Belum. Ia melanjutkan, “Soal terpilih atau tidak, jangan dipikirkan. Terus saja maju. Banyak pelajaran hidup bisa didapat jadi caleg. Intinya, jangan takut berpolitik.”
Pelajaran hidup, katanya. Ah, siapa butuh seminar motivasi kalau ada Bu Aida? Tiga kali gagal, dan ia tetap berdiri. Bahkan dengan rencana ambisius, Pemilu 2029! Siapa yang bisa melawan optimisme seperti ini?
Saya berdiri terpaku, seperti manekin di Toko Madrid. Di hadapan saya bukan sekadar seorang perempuan. Ia adalah epik hidup yang berjalan, seorang pejuang yang membuat kata “menyerah” terdengar seperti mitos dari negeri dongeng.
Bu Aida, bukan sekadar caleg. Ibu adalah puisi perjuangan, tragedi yang indah, satire hidup yang menertawakan rasa takut dan malu. Dunia boleh mengguncang, tapi semangat tetap seperti kain kanvas yang siap diwarnai lagi dan lagi.
Toko Madrid boleh menjual bahan pakaian. Tapi, Bu Aida, menjual mimpi. Mimpi yang mungkin gagal lagi. Atau, terealisasi. Tapi siapa peduli? Karena dalam kegagalan itu, ada kemenangan yang hanya Bu Aida sendiri yang bisa merasakannya.
#camanewak