HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Belajar dari Wafatnya Seorang Raja

July 25, 2025 06:31
IMG_20250725_063010

Drs. H. Makmur, M. Ag
Kepala Kemenag Kota Bandarlampung


HATIPENA.COM – Zulkarnaen atau dikenal pula sebagai Dzul Qarnain, bukan sekadar raja dalam sejarah manusia. Ia adalah simbol kekuatan, kebijaksanaan, dan keadilan yang melampaui zamannya. Kekuasaannya membentang dari Timur hingga Barat, menaklukkan negeri-negeri dengan gemilang, namun bukan untuk menghancurkan, melainkan untuk membangun peradaban yang mulia.

Dalam Al-Qur’an Surah Al-Kahfi ayat 83 hingga 101, Allah SWT mengabadikan sosok agung ini. Zulkarnaen diberi kekuasaan besar oleh Allah, dan ia memanfaatkannya bukan untuk menindas, melainkan untuk melindungi. Ia bahkan membangun benteng raksasa guna menahan kehancuran yang dibawa oleh Ya’juj dan Ma’juj. Ia adalah pelindung umat, penjaga keadilan, sekaligus peletak fondasi peradaban.

Namun sehebat apa pun manusia, tetap ada batasnya. Dalam sebuah ekspedisi menuju wilayah Hindustan, Zulkarnaen dan pasukannya menyeberangi sebuah sungai besar. Di tengah perjalanan, seekor nyamuk menggigit tubuh sang raja. Hanya nyamuk, makhluk kecil, nyaris tak terlihat. Namun dari gigitan kecil itu, lahirlah penyakit besar: malaria.

Hari demi hari tubuh perkasa sang raja melemah. Para tabib terbaik dipanggil, ramuan terbaik diracik, tapi tak satu pun mampu menyembuhkannya. Raja agung yang dulu berdiri gagah di medan perang, kini terbaring lemah. Ia menyadari, ajal sedang mendekat, dan di momen itulah ia berwasiat:

“Jika aku wafat, masukkan jasadku ke dalam peti. Lubangilah sisi kiri dan kanannya agar kedua tanganku menjulur keluar. Letakkan peti itu di atas pedati, dan araklah perlahan menuju Mesopotamia. Biarkan seluruh rakyat menyaksikan bahwa raja seagung aku pun akhirnya pulang tanpa membawa apa-apa…”

Dan benar. Wasiat itu dilaksanakan persis seperti yang diminta. Peti jenazah sang raja diarak melewati jalan utama. Rakyat berduyun-duyun menyaksikan: tangan sang raja menjulur keluar, kosong. Tangan yang dulu menggenggam dunia, kini tak membawa apa-apa. Sebuah pesan sunyi, namun dalam: apa yang bisa dibanggakan oleh manusia, jika pada akhirnya semuanya akan ditinggalkan?

Kisah ini bukan sekadar catatan sejarah. Ia adalah cermin bagi siapa saja yang hari ini sibuk mengejar dunia dengan segala cara. Jabatan diburu tanpa etika, kebenaran dikorbankan demi pencitraan, dan kemanusiaan dikalahkan oleh ambisi. Fitnah menjadi senjata, kebohongan dijadikan strategi, dan kekuasaan dipoles menjadi kebenaran.

Padahal, sehebat apa pun manusia, ia tetap kecil di hadapan Allah. Dan ketika Allah hendak mengambil kembali apa yang dipinjamkan-Nya, tidak dibutuhkan badai, gempa, atau musuh besar. Cukup seekor nyamuk, dan runtuhlah seluruh keperkasaan.

Karena itu, kita diajarkan untuk senantiasa membaca: “La ḥaula wa la quwwata illa billah” (Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah).

Zikir ini bukan sekadar lafaz, tapi penegas bahwa semua kekuatan yang kita miliki hanyalah titipan. Jabatan, kekayaan, pengaruh, semuanya sementara. Yang sejati hanyalah amal.

Maka janganlah sombong. Jangan merasa lebih mulia hanya karena gelar, kekuasaan, atau harta. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat biji sawi.” (HR. Muslim No. 91)

Segalanya akan berakhir. Yang kuat akan lemah. Yang kaya akan miskin di liang kubur. Yang berkuasa akan lengser, dan yang populer pun akan dilupakan. Kita semua akan menuju liang sempit, hanya ditemani kain kafan dan amal perbuatan. Allah telah mengingatkan: “Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa.” (QS. Al-Lail: 11)

Sadarlah. Hidup ini bukan tempat tinggal, tapi tempat singgah. Perjuangan duniawi ada batasnya. Kita boleh menjadi kaya, berkuasa, atau terkenal. Tapi capailah semua itu dengan cara yang halal dan bersih. Gunakanlah untuk menebar manfaat, bukan menindas. Karena Allah tidak menilai seberapa tinggi kita naik, tapi seberapa jujur dan lurus kita melangkah.

Akhirnya, semua akan kita tinggalkan: rumah mewah, kendaraan mewah, saldo rekening, semua. Yang akan ikut hanyalah amal yang kita tanam. Maka pastikan, saat tangan kita kembali kepada-Nya, tangan itu telah banyak menebar kebaikan, bukan luka.

Sebab kita tak pernah tahu kapan ajal akan menjemput, tapi kita bisa memilih, dengan apa kita pulang. (*)

Wallahu ‘alam