Dr. Wendy Melfa
Akademisi UBL, Penggiat Ruang Demokrasi ( RuDem )
HATIPENA.COM – Pemberian pengampunan atau penghapusan hukuman (pidana) atau yang disebut Amesti kepada Terpidana Hasto Kristitanto (HK), yang divonis bersalah oleh Pengadilan Tipikor atas penyidikan dan penuntutan atas dakwaan korupsi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sedang menjadi trending topik di lini masa.
Pemberian Amnesti ini juga bertalian dengan pemberian pengampunan atau penghapusan proses hukum yang sedang berjalan kepada terdakwa Tom Lembong (TL), dan sejumlah terpidana dan terdakwa lainnya, oleh Presiden Prabowo, yang membuat suasana politik Tanah Air menjadi hangat.
Bukan Melawan, Tapi Kebijakan
Namun dua kebijakan yang dikeluarkan oleh Presiden ini, bisa memperkaya literasi konstitusi dan hukum ketatanegaraan kita akan penggunaan hak (prerogatif) oleh Presiden, yang diberikan oleh konstitusi, khususnya melalui Pasal 14 Ayat (1) Tentang Amnesti dan Pasal 14 Ayat (2) Tentang Abolisi UUD NRI 1945.
Penggunaan hak yang menjadi kewenangan Presiden tersebut agar tidak sewenang-wenang, maka konstitusi memberikan syarat bahwa penggunaannya harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung dan DPR dalam hal memberikan Amnesti, serta memperhatikan pertimbangan DPR dalam hal memberikan Abolisi.
Paradigma mekanisme pemberian pengampunan dan penghentian proses hukum tersebut, memvisualisasikan pelaksanaan pembagian dalam menjalankan kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana ajaran Montesquieu tentang Trias Politika.
Montesquieu membagi tiga kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan, yaitu Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif, dengan prinsip check and balance dengan penguatan sistem pemerintahan Presidensial.
Pelaksanaan pembagian kekuasaan tersebut bukan sama sekali sebagai pengejawantahan ‘mengintervensi’ atau ‘melawan’ kekuasaan satu terhadap kekuasaan lainnya dalam menjalankan kekuasaannya, tetapi lebih kepada penggunaannya sebagai “beleid” (kebijakan) Presiden dengan pertimbangan-pertimbangan (subjektif) tertentu, berkaitan situasi kenegaraan dan kemasyarakatan yang diatur dalam konstitusi.
Perang Vs Kompromi
Pada satu kesempatan, Presiden Prabowo Subianto (PS) dalam pidatonya menyatakan akan memerangi dan mengejar para koruptor sampai ‘ujung dunia’. Isi pidato tersebut sungguh menggugah sekaligus mengingat, bahwa bangsa ini hanya dapat survive dan bangkit manakala terbebas dari praktik-praktik ‘nakal’ para penyelenggara negara, akan uang dan kekayaan negara yang penggunaannya tidak disalahgunakan, dicatut, dan dikorupsi, melainkan sepenuhnya digunakan sebagai usaha menyejahterakan rakyatnya.
Namun pada pemberian Amnesti dan Abolisi oleh Presiden PS terhadap HK dan TL, sebagaimana keduanya divonis pidana, karena menurut pemeriksaan dan Putusan Pengadilan Tipikor, keduanya terbukti melakukan perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi.
Sebagaimana diatur dalam UU Tipikor, kebijakan Presiden PS ini seolah bertentangan atau berlawanan dengan akal sehat, kebijakan Presiden PS yang terlihat kompromi ini adalah kebijakan yang paradoks.
Narasi liar bermunculan dari mereka yang belum atau tidak bisa memahami akan kebijakan pemberian Amnesti dan Abolisi ‘diterhubungkan’ untuk memulihkan dampak perseteruan Pilpres 2024 yang lalu, hal mana pasangan Prabowo – Gibran RB menang kontestasi dari pasangan Ganjar Pranowo – Mahfud MD, dan pasangan Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar.
Kebijakan ini tanpa mempertimbangkan sejumlah terpidana atau terdakwa lainnya yang juga ’mendapatkan’ hak Amnesti atau Abolisi, terpidana HK yang memperoleh Amnesti representasi dari pasangan Ganjar – Mahfud, dan terdakwa TL memperoleh Abolisi representasi dari pasangan Anies – Muhaimin.
Ada juga yang mengaitkan posisi HK sebagai petinggi partai papan atas yang dapat saja pemberian Amnesti terhadapnya sebagai political transaction untuk sebuah kestabilan politik pemerintahan Prabowo – Gibran.
Ada banyak spekulasi politik yang memang biasanya ‘menguntit’ dari setiap langkah dan kebijakan, dan ini lumrah dari sebuah negara demokrasi yang besar seperti Indonesia.
Para ahli hukum berbeda pendapat bahwa pertimbangan pemberian itu diarahkan pada teknis hukum pidana dalam pemeriksaan dan penjatuhan vonis terhadap HK dan TL, misalnya, terkait unsur tidak terdapat mens rea (kesengajaan, niat, pikiran melakukan kejahatan) sehingga seorang tidak dapat dipidana, tidak selamanya demikian.
Dalam delik pidana materiil, bahwa kesalahan orang itu dilihat dari akibat perbuatannya, contoh akan hal ini adalah pengendara mobil atau motor yang menabrak seseorang di jalan raya menyebabkan kematian dapat dipidana, meskipun pengendara tersebut absolut tidak memiliki mens rea atas perbuatannya.
Juga berkaitan dengan tidak ada bukti secara hukum adanya aliran dana terhadap si pelaku, toh unsur pidana dalam delik tipikor melihat alternatif menguntungkan pihak lain dan lain sebagainya, yang apabila ditelisik secara teknis hukum pidana dapat menjadi sumir untuk dijadikan alasan pemberian Amnesti dan Abolisi terhadap keduanya.
Sebagaimana CNBC (31/7/25), Pemerintah melalui Menteri Hukum Supratman AA mengungkapkan “salah satu pertimbangan pemberian Amnesti dan Abolisi terhadap keduanya adalah, adanya keinginan adanya persatuan dan dalam rangka perayaan 17 Agustus”.
Nampak sekilas bahwa pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum, kurang lengkap mempersiapkan narasi secara gamblang pemberian hak Presiden PS terhadap HK dan TL, namun dalam konteks yang lebih luas dan bijak, kita dapat memahami bahwa Presiden perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk kuatnya pemerintahan dan kuatnya persatuan bangsa guna menghadapi situasi politik dan ekonomi global.
Selain itu tentu juga melihat kondisi ekonomi bangsa yang sedang berjuang keras menghadapi situasi, yang sedang tidak baik-baik saja, dengan tangan terbuka dan ajakan bekerja sama meskipun pernah berbeda kepentingan dalam suatu konstestasi.
Yang menang merangkul yang kalah, yang kuat membantu yang lemah dan memberi jalan bagi mereka yang sedang berusaha. Situasi kearifan dan kebijakan sosiologikal politik inilah yang rasanya lebih tepat untuk dijadikan dasar penggunaan hak (prerogatif) Presiden PS atas situasi bangsa yang sedang dihadapi.
Dalam masalah ini, konstitusi memberikan jalan keluar (exit) yang konstitusional sebagai jembatannya, mungkin bisa kita maklumi bersama, sepanjang yang dibantu tidak menjadikannya membusungkan dada. Semoga. (*)