Puisi Esai Denny JA
Rahman duduk di kursi tua
Dinaungi pohon yang menggenggam kenangannya
Tubuhnya layu
Seperti daun yang enggan jatuh.
Matanya menatap langit pudar
Kanvas kelabu yang kehilangan warna
Hari-harinya membeku
Sepi.
Dulu ia seniman
Menyimpan senja di bukit Bandung
Merangkai kata-kata
Selembut angin Tangkuban Perahu.
Namun sejarah menerjang seperti badai
Menyapu jejaknya dari tanah air
Menyeretnya ke negeri asing
Menghapus namanya dari catatan zaman.
Negara mengirimnya jauh
Belajar ke luar negeri
Tahun enam puluhan
Mengejar bintang revolusi.
Padahal yang ia dambakan hanya gerimis
Di atas genteng rumah di Bandung
Dan senja tenggelam di Dago.
Ia tak pernah ingin menjadi prajurit politik
Ia hanya pelukis
Yang berbicara dalam diam
Penyair yang merangkul dunia dengan lembut.
Tapi roda sejarah tak berhenti
Menggilas warnanya
Menenggelamkannya dalam pusaran ideologi yang tak pernah ia pahami.
Di Peking, kuasnya masih menari
Puisi mengalir lembut di dadanya
Setiap goresan adalah harapan
Namun dunia tak mendengar
Politik memutar takdir dengan kejam.
Saat Bung Karno jatuh
Rahman tersapu arus yang tak ia kenali
Hanyut bersama serpihan mimpi
Jejaknya menghilang di trotoar Braga
Sebelum ada yang bisa mengenangnya.
Kini, di ujung waktu
Rahman tahu
Ia memang bukan pion revolusi
Sejarah salah menempatkannya
Ia hanya seniman
Yang tersingkir dari kanvas hidupnya
Warnanya direnggut kekuasaan.
Di Moskow, di Belanda
Ia perahu tanpa dermaga
Terapung di pantai asing
Yang tak pernah memberi rumah.
Negeri itu memenang memberinya atap
Tapi itu atap yang dingin
Hanya teh pagi yang tak lagi hangat di Lembang
Kabut yang menyelimut
Tapi tanpa keakraban
Mereka memberinya tempat bersandar
Tapi hatinya masih tertinggal di gang sempit di Bandung
Di tawa pasar Alun-alun
Rindu yang tak terjawab.
Rahman ingin pulang
Bukan ke tanah yang melupakannya
Tapi ke dirinya sendiri
Pelukis yang bebas
Penyair yang menghidupi cinta.
Namun tubuhnya rapuh
Tangannya gemetar di setiap sapuan kuas
Suaranya lenyap di balik gemuruh sejarah
Yang tak pernah ia kendalikan.
Dulu, Rahman adalah seniman
Namun ideologi merampas jiwanya
Mencuri warnanya
Menjadikannya alat tanpa ruh.
Kini, di ambang waktu
Ia ingin kembali melukis matahari
Yang tenggelam di Tangkuban Perahu
Menulis tentang pasar Bandung yang penuh kehidupan
Bukan demi revolusi
Tapi demi cinta yang tak pernah padam
Demi kedamaian yang hilang.
Rahman tahu
Tak ada jalan pulang
Tanah airnya tak lagi mengenali wajahnya
Dan dunia yang pernah ia warnai
Telah berlalu tanpa menoleh.
Namun ia tak lagi mengejar bayangan
Yang ia dambakan hanya jejak yang tersisa
Bukan sebagai roda ideologi yang keras
Tapi sebagai insan yang menitipkan cinta.
Melalui puisi selembut angin
Melalui lukisan yang berbisik dalam diam
Ia ingin kuasnya dikenang
Bait puisinya mewarnai hidup
Meskipun waktu akan memudarkan segalanya.
Rahman sepenuhnya menyadari
Hidupnya akan pudar seperti warna di kanvas usang
Namun ia titipkan cahaya kecil
Dalam setiap garis lukisan
Dan bait puisi.
Ketika ia tak lagi ada
Kenangan atasnya tetap mengalir
Bukan sebagai suara lantang revolusi
Melainkan bisikan lembut
Seorang seniman yang menghidupi cinta.(*)