Buku Seri (9) – Asal Muasal Marga Way Lima Kabupaten Pesawaran
Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Dahulu kala, di lereng barat Gunung Pesagi yang senantiasa diselimuti kabut putih, hiduplah seorang perempuan tua bernama Nini Ginjih. Ia bukan sembarang perempuan. Orang-orang di sekitarnya menyebutnya “Penjaga Angin” karena setiap hembusan yang lewat di dusun Way Beliuk seolah membawa kabar dari hutan.
Ia tinggal di pondok beratap ijuk di tepi hutan larangan, tempat di mana tak seorang pun boleh menebang pohon atau memburu binatang sembarangan.
Nini Ginjih dikenal karena kemampuannya berbicara dengan mata air. Di suatu musim kemarau panjang, ketika sungai-sungai mengering dan ladang-ladang retak, ia pergi bertapa di Puncak Belunguh dan meminta restu kepada Batara Bukit.
Konon, air mata dari pertapaannya berubah menjadi tujuh sumber mata air yang hingga kini disebut “Way Tujuah Ginjih”.
Legenda ini hidup dan diwariskan turun-temurun oleh masyarakat Way Lima sebagai simbol hubungan sakral antara manusia dan alam. Hutan bukan hanya sumber kehidupan, tapi juga tempat bersemayamnya ruh nenek moyang. Air bukan hanya untuk diminum, melainkan bagian dari sumpah adat dan pengikat antara generasi.
Masyarakat adat Lampung, khususnya di wilayah Way Lima, memandang alam bukan semata ruang eksploitasi, melainkan entitas hidup yang harus dihormati. Dalam sistem nilai budaya mereka, hutan, sungai, gunung, dan ladang bukan sekadar unsur ekosistem, tetapi bagian dari struktur spiritual dan sosial. Oleh karena itu, dalam praktik adat mereka terselip nilai-nilai ekologis yang kuat, berbentuk pantangan, ritual, serta simbolisme adat yang menjunjung tinggi kelestarian lingkungan.
Di tengah krisis iklim dan kerusakan alam global, menggali kembali kearifan lokal semacam ini bukan hanya tindakan pelestarian budaya, tetapi juga kontribusi nyata dalam menyelamatkan bumi. Esai ini akan membahas bagaimana kearifan lingkungan dalam adat Way Lima termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari, simbol-simbol adat, serta relevansinya dengan isu ekologi saat ini.
Dalam bahasa Lampung, “Way” berarti air atau sungai. Banyak wilayah adat dinamai dari unsur air ini, misalnya Way Lima, Way Seputih, Way Kanan. Ini menunjukkan betapa pentingnya air sebagai pusat kehidupan dan identitas.
“Bukit” adalah tempat keramat. Dalam tradisi Way Lima, bukit seperti Belunguh atau Pesagi diyakini sebagai tempat bertapa para leluhur atau arwah penjaga kampung. Tak jarang ritual adat dilakukan di puncak bukit atau kaki gunung sebagai bentuk penghormatan.
“Tiyuh” merujuk pada dusun atau pemukiman yang secara filosofis terhubung dengan keseimbangan antara manusia dan alam. Tiyuh tidak boleh merusak alam di sekitarnya. Bila keseimbangan terganggu, maka datanglah musibah.
Adat Way Lima mengenal berbagai pantangan terhadap perusakan lingkungan, seperti:
• Larangan menebang pohon di hutan keramat (rimba larangan).
• Pantangan membakar ladang tanpa izin adat.
• Larangan mengotori sumber mata air dan sungai.
Pelanggaran terhadap pantangan ini bisa dikenai sanksi adat berupa denda, pengucilan sosial, hingga sumpah adat.
Bagi masyarakat Way Lima, air adalah simbol kesucian. Mata air tertentu dianggap keramat dan digunakan dalam upacara penyucian (tepung tawar), sumpah adat, dan ritual perkawinan.
Pohon-pohon besar seperti waru, beringin, atau kayu sembilang kerap dianggap tempat bersemayamnya makhluk halus penjaga kampung. Memotong pohon tersebut harus dilakukan dengan upacara khusus.
Sistem pengelolaan lingkungan berbasis adat hampir selalu melibatkan musyawarah dan gotong royong. Ketika membuka ladang baru (buka hutan), warga tidak melakukannya sendiri-sendiri. Mereka bermusyawarah di balai adat untuk menentukan batas, waktu, dan tata cara pembukaan yang tidak melanggar larangan adat.
Perempuan memegang peran penting sebagai penjaga sumber air, pengumpul hasil hutan non-kayu, dan pelaksana ritual penyucian. Dalam tradisi Way Lima, perempuan tua yang disebut “ibuk pengangon banyu” dipercaya mampu merasakan “suara” mata air dan memberi tahu bila alam sedang murka.
Masuknya industri, pertanian monokultur, dan perambahan hutan telah menggeser praktik-praktik adat yang dulu menjaga ekosistem secara alami. Generasi muda semakin jarang diajak ke hutan untuk mengenal tanaman obat, sumber air, atau situs keramat.
Beberapa komunitas adat mulai mendokumentasikan larangan-larangan adat menjadi peraturan desa atau Peraturan Adat Marga. Beberapa bahkan mengembangkan wisata edukasi berbasis hutan adat, di mana pengunjung diajak memahami filosofi lokal dalam menjaga alam.
Dalam tradisi Way Lima, merusak alam bukan hanya kesalahan ekologis, tetapi juga pelanggaran spiritual dan sosial. Hutan, air, dan tanah bukan sekadar sumber ekonomi, melainkan bagian dari tubuh adat itu sendiri. Pelestarian adat dan pelestarian lingkungan tidak bisa dipisahkan.
Kisah Nini Ginjih dan mata air keramatnya mungkin terdengar seperti dongeng. Namun, di baliknya tersembunyi filosofi mendalam: bahwa manusia hanyalah salah satu dari banyak makhluk yang harus hidup seimbang dalam lingkaran kehidupan.(*)