Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA. COM – Sampai saat ini kasus Arya Daru, diplomat muda itu masih gelap. Yang ada hanya spekulasi. Kasus serupa mirip dengan tewasnya gadis belia, Zara Qairina di Sabah Malaysia. Sama-sama belum terpecahkan. Mari simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula lagi, wak!
Kematian Zara Qairina Mahathir lagi ramai di negeri jiran. Usianya baru 13 tahun, Tingkatan Satu di sebuah sekolah agama berasrama di Papar, Sabah. Pada dinihari 16 Juli 2025, ia ditemukan terkulai di bawah bangunan asramanya. Nyawa tergantung di antara dunia dan akhirat. Dibawa ke Hospital Queen Elizabeth I, Zara bertahan hingga siang 17 Juli, lalu menyerah pada takdir yang kejam.
Tapi kematian itu bukan sekadar catatan medis. Ia adalah teka-teki berlapis, seperti novel detektif yang ditulis dengan tinta darah. Ada yang bilang dia jatuh. Ada yang bersumpah dia terdorong. Ada yang berbisik tentang penderaan, bullying, yang mungkin sudah lama menghantuinya. Lalu rumor mulai beredar, menempel di dinding media sosial, menuduh keluarga-keluarga berpengaruh. Seperti biasa, setiap tuduhan besar akan memanggil seribu bantahan resmi, istana menolak, menteri menyangkal, dan semua nama besar berkata, “Kami tak ada kaitan.”
Polis Diraja Malaysia (PDRM) tampil di layar televisi dengan wajah serius, mengatakan penyelidikan sedang berjalan “secara telus” transparan. Tapi transparannya seperti kaca patri di gereja tua, indah dilihat, tapi sulit sekali tembus pandang. Kementerian Pendidikan Malaysia (KPM) berjanji akan berlaku adil, memberikan dukungan psikososial, seolah trauma bisa disembuhkan dengan brosur motivasi.
Lalu keputusan yang membuat bulu kuduk meremang. Attorney General’s Chambers (AGC) memerintahkan pembongkaran kembali makam Zara untuk autopsi kedua. Alasan resmi, mencari kebenaran. Tapi di hati rakyat, itu terasa seperti membuka luka yang belum kering, mengaduk kesedihan keluarga yang sudah hampir tak sanggup berdiri. Perdana Menteri Anwar Ibrahim bersumpah, “Tiada siapa akan dilindungi, tidak kira siapa anak siapa pun.” Kata-kata itu bergema, namun sejarah negeri ini sudah terlalu sering membuktikan bahwa sumpah bisa menjadi sekadar dekorasi retorik.
Di lapangan, rakyat bergerak. Dari Tawau hingga Sandakan, dari Lahad Datu ke Semporna, lilin dinyalakan, wajah-wajah asing berkumpul dalam vigil diam. Aspirasi Wanita Sabah (AWS) berdiri di garis depan, menuntut investigasi telus dan reformasi perlindungan pelajar. Kota Kota Kinabalu jadi panggung doa yang basah oleh air mata. Di balik setiap cahaya lilin, ada pertanyaan yang tak pernah terjawab, siapa yang sebenarnya bertanggung jawab?
Bayangkan seandainya ini kasus yang ditangani Sherlock Holmes. Ia mungkin akan jongkok di tanah, mengamati retakan kecil di dinding asrama, menemukan sehelai kain sobek di paku, lalu berkata, “Watson, ini bukan sekadar kecelakaan. Ini orkestra yang dimainkan oleh tangan-tangan tersembunyi.” Tapi kita tak punya Holmes, yang kita punya adalah laporan pers yang diulang seperti doa tanpa iman.
Kini, berbulan setelah kematian Zara, kita hanya punya potongan-potongan puzzle, jam kejadian yang misterius, rumor keluarga berpengaruh, bantahan resmi, janji transparansi, dan autopsi kedua yang seperti menggali rahasia dari tanah yang berat. Keadilan bergerak seperti kura-kura yang berpuasa, lambat, lemah, dan mudah disalip oleh lupa.
Zara Qairina kini bukan lagi hanya seorang pelajar. Ia adalah simbol, simbol dari janji yang belum ditepati, dari keadilan yang mungkin tersesat di lorong birokrasi, dari kebenaran yang disembunyikan di bawah selimut rumor dan protokol resmi. Sementara itu, jika memang ada pelaku, mungkin ia sedang duduk di beranda rumahnya sore ini, menyeruput teh, menunggu berita bahwa kasus ini “selesai” tanpa nama siapa pun di halaman terakhirnya.
Kita, pembaca cerita ini, akan terus menunggu, dengan hati yang gelisah, dan mata yang tak pernah berhenti mencari titik terang di ujung lorong yang gelap. (*)
#camanewak