HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Bung Hatta: Teguran Sunyi untuk Negeri yang Lupa Diri

August 13, 2025 06:27
IMG-20250813-WA0007

Elza Peldi Taher

HATIPENA.COM – Tujuh puluh tahun lalu, seorang wakil presiden menolak hadiah mobil mewah Cadillac dari seorang pengusaha. “Saya tidak bisa menerimanya. Kalau saya butuh mobil, negara akan membelikan. Kalau negara tak mampu, biar saya berjalan kaki,” katanya. Itulah Bung Hatta, pemimpin yang memilih kesederhanaan ketika godaan kemewahan mengulurkan tangan.

Pada 12 Agustus 2025, Bung Hatta genap berusia 127 tahun seandainya masih hidup. Usianya memang tak lagi bisa dihitung dengan kalender, tetapi pikirannya, teladannya, dan etikanya masih terasa relevan, bahkan makin mendesak , di tengah Indonesia yang kini dilanda krisis integritas, kesenjangan ekonomi, dan kebisingan politik tanpa arah.

Integritas yang Tak Dinegosiasikan

Untuk negeri Indonesia, mencari pemimpin seperti Bung Hatta hanya seperti impian. Ia seorang pembaca buku yang rakus, seorang pejabat negara, tetapi tetap hidup sederhana. Kesederhanaannya bukan sekadar gaya hidup, tetapi buah dari prinsip: tidak korupsi, tidak memperkaya diri dari jabatan.

Di Indonesia kini, kesederhanaan seperti itu menjadi barang langka. Kekayaan sering dianggap sinonim dengan kekuasaan; jabatan nyaris selalu diasosiasikan dengan harta berlimpah. Bung Hatta membalik logika itu: punya jabatan, tapi tidak kaya; justru jabatan ia gunakan untuk menjaga martabat, bukan menggelembungkan rekening.

Bahkan ketika pensiun, ia harus meminjam uang untuk membeli mesin jahit demi menambah penghasilan. Kini, ketika kita melihat pejabat berfoto di depan supercar atau menggelar pesta mewah, pertanyaan sederhana Bung Hatta kembali mengetuk: “Untuk apa kekuasaan jika hanya untuk memuaskan diri?”

Kapal Buku Bung Hatta

Bung Hatta bukan hanya seorang politikus dan ekonom, ia seorang pencinta ilmu sejati. Putrinya, Gemala Hatta, bercerita bahwa ketika ayahnya kembali dari Belanda ke Indonesia, diperlukan beberapa kali perjalanan kapal hanya untuk mengangkut koleksi bukunya.

Buku-buku itu mencakup ekonomi, sejarah, filsafat, hukum, hingga sastra—menandakan luasnya cakrawala pikir Bung Hatta. Ia membaca bukan sekadar untuk menambah pengetahuan, tetapi untuk memperkuat fondasi berpikir dalam memimpin dan membela bangsanya.

Pernah ia berkata, “Saya rela dipenjara asalkan bersama buku, karena dengan buku saya bebas.” Kata-kata ini bukan metafora kosong, melainkan refleksi hidupnya yang dibentuk oleh bacaan. Di masa ketika sebagian pejabat sibuk mengoleksi mobil mewah atau jam tangan mahal, Bung Hatta mengoleksi sesuatu yang tak bisa dinilai dengan uang: ilmu pengetahuan.

Demokrasi yang Mendidik

Bagi Bung Hatta, demokrasi bukan sekadar pemilu lima tahunan, melainkan pendidikan politik rakyat. Ia percaya kebebasan harus disertai kesadaran, bukan hanya hak memilih.

Kini, Indonesia memang demokratis secara prosedural, tetapi minim oposisi yang berani dan minim pendidikan politik yang mencerdaskan. Yang berkembang justru politik transaksional dan perebutan kursi tanpa etika. Bung Hatta mengingatkan: “Kekuasaan tanpa moral adalah petaka bagi rakyat.”

Puncak integritasnya terjadi pada 1956, ketika ia mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Alasannya sederhana tetapi tajam: perbedaan prinsip dengan arah kebijakan negara yang tak lagi sejalan.

Hari ini, mengundurkan diri karena prinsip hampir seperti fosil politik: jarang ditemukan. Bung Hatta memilih meninggalkan jabatan daripada meninggalkan dirinya sendiri.

Teguran Sunyi

Bung Hatta seolah berdiri di tepi sejarah Indonesia hari ini, memandang dari jauh dengan senyum tipis dan tatapan prihatin. Bukan karena ia benci pada bangsanya, tetapi karena ia tahu bangsa ini bisa lebih baik jika mau kembali pada nilai-nilai yang ia perjuangkan: integritas, kesederhanaan, keadilan, dan gotong royong.

Mencari pemimpin seperti Bung Hatta kini bagaikan mencari semut hitam di malam yang kelam. Tapi bangsa ini tetap berharap, suatu saat akan lahir pemimpin seperti beliau. (*)

Cisarua, 13 Agustus 2025