Oleh ReO Fiksiwan
“Hanya serangkaian kejadian kecil yang tidak masuk akal yang terjadi selama miliaran tahun dapat menciptakan bukan hanya keteraturan, tetapi juga desain—bukan hanya desain, tetapi pikiran, mata, dan otak.” — Mario Beauregard dan Denyse O’Leary, The Spiritual Brain (2007)
HATIPENA.COM – Di tengah riuhnya dunia yang gemar berdebat dan memamerkan wacana, ada jiwa-jiwa yang memilih jalan sunyi: menyalakan lilin kecil di sudut-sudut gelap peradaban.
Faradilla Bachmid—atau Dhyla, sebagaimana ia akrab disapa—adalah salah satunya.
Hari ulang tahunnya, hari ini (15/8/25) bukan sekadar penanda usia, tetapi perayaan atas konsistensi, ketekunan, dan cinta yang tak pernah meminta panggung.
Alumni sarjana psikologi dari sebuah universitas di Yogyakarta, Dhyla tidak memilih jalur karier yang gemerlap.
Ia memilih mendekap akar, menjadi pengurus Yayasan PKM — semula didirikan Aba Bachmid, lulusan master teknik sipil — dan Kampung Literasi Merdeka Dendengan Dalam, tempat di mana buku bukan sekadar benda, tetapi jendela menuju kemerdekaan berpikir.
Di sana, ia tidak hanya mengajar anak-anak membaca, tetapi juga mengajarkan orang dewasa untuk kembali percaya pada makna.
Dalam perjalanan hidupnya, Dhyla bertemu dengan Syafril Parasana, lelaki tenang yang lebih suka merapikan rak buku daripada meramaikan forum.
Alumni sarjana ilmu komunikasi dari Universitas Terbuka, Syafril bekerja di biro iklan Tribun Manado—sebuah dunia yang penuh slogan, tetapi ia tetap menjaga ruang sunyi untuk literasi.
Sebelum menikah, selama hampir dua tahun, Syafril mengurusi ReO Bibliothek Kokima Hill, perpustakaan kecil yang sempat ditinggalkan oleh pemiliknya, ReO Fiksiwan.
Ia tidak mengeluh, tidak mengumumkan, hanya merawat buku-buku seperti merawat luka sejarah.
Pertemuan mereka bukan di seminar atau diskusi publik, melainkan di ruang kerja nyata: Yayasan Avicena, milik Dr. dr. Taufiq Pasiak, seorang neurolog dan motivator yang kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Kedokteran UVP Jakarta.
Di sana, mereka belajar bahwa otak bukan hanya organ berpikir, tetapi juga ruang spiritual.
Neurosains bukan hanya ilmu, tetapi jalan untuk memahami manusia secara utuh.
Sementara teman-teman mereka sibuk berdebat tentang demokrasi, kebijakan publik, dan teori-teori sosial yang tak pernah selesai, Dhyla dan Syafril memilih diam-diam menanam benih literasi.
Mereka tidak tampil di panggung, tetapi panggung itu akhirnya datang kepada mereka.
Pada tahun 2017, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara menobatkan Dhyla sebagai Ratu Literasi—gelar yang tidak ia kejar, tetapi datang karena konsistensinya.
Kini, di hari ulang tahunnya, kita tidak hanya merayakan seorang perempuan yang bertambah usia, tetapi seorang jiwa yang terus menyalakan cahaya.
Dhyla adalah pengingat bahwa perubahan tidak selalu datang dari suara keras, tetapi dari tangan-tangan yang sabar menata huruf, kata, dan makna.
Ia dan Syafril adalah pasangan yang membuktikan bahwa cinta bisa tumbuh di antara rak buku, dan bahwa literasi adalah bentuk tertinggi dari kasih sayang.
Selamat ulang tahun, Dhyla
Semoga cahaya yang kau nyalakan terus menyinari jalan banyak orang yang masih mencari arah.
Dalam dunia yang gemar bicara, kau memilih mendengar. Dalam zaman yang gemar tampil, kau memilih bekerja.
Dan dalam hidup yang gemar menuntut, kau memilih memberi. Itu, barangkali, adalah bentuk paling murni dari spiritualitas. (*)
#Latar lagu: Sang Guru, Panji Sakti.