Oleh: Nurul Jannah
Delapan Puluh Tahun Indonesia
HATIPENA.COM – Pagi ini, 17 Agustus 2025, di setiap sudut negeri, bendera merah putih akan berkibar gagah, diiringi sayup-sayup suara anak-anak negeri menyanyikan lagu:
“Tanah airku tidak kulupakan… Kan terkenang selama hidupku…”
Suara itu tentu akan terasa menusuk ke dasar jiwa. Menggetarkan hati, membawa kita mundur delapan puluh tahun silam: ke hari ketika bangsa ini berdiri tegak dengan darah, air mata, dan doa yang tak henti.
Suara dari Masa Silam
“Anak-anakku…” seakan terdengar suara Bung Karno menggema dari halaman sejarah,
“jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kemerdekaan ini bukan hadiah, tapi darah, air mata, dan pengorbanan.”
Lalu, seakan suara Bung Hatta menyusul dengan tenang namun penuh ketegasan:
“Bangsa ini besar bukan karena jumlah penduduknya, tapi karena cinta yang tulus dari setiap warganya.”
Di sela-sela gema itu, terdengar bisikan getir seorang pejuang tanpa nama yang jasadnya mungkin tertinggal di hutan pertempuran:
“Kami tidak menuntut balas jasa. Kami hanya ingin kalian menjaga apa yang telah kami pertahankan dengan nyawa.”
Suara-suara itu membentuk dialog batin, hadir di tengah kita, menagih janji yang pernah diucapkan: menjaga kemerdekaan, memelihara persatuan, menegakkan keadilan.
Apakah Kita Sudah Merdeka?
Delapan puluh tahun berlalu. Kita memang tidak lagi dijajah senjata dan meriam. Tetapi, pertanyaannya: apakah kita benar-benar sudah merdeka?
Dalam sebuah perbincangan imajiner antar anak bangsa, suara-suara itu kembali muncul penuh kejujuran.
Seorang pemuda berkata lirih:
“Aku bebas bersuara, tapi hatiku masih terpenjara oleh kebencian. Apakah itu merdeka?”
Seorang ibu di pasar menimpali dengan mata basah:
“Aku bisa berjualan setiap hari, tapi rezekiku sering terancam oleh pungutan liar. Apakah itu merdeka?”
Seorang guru di pelosok ikut menunduk:
“Aku mengajar dengan sepenuh hati, tapi masih ada muridku yang datang dengan perut lapar, lalu putus sekolah karena kemiskinan. Apakah mereka sudah merdeka?”
Hening sejenak. Lalu suara hati bangsa ini bersama-sama menjawab:
Merdeka sejati adalah ketika setiap anak bangsa terbebas dari rasa takut, dari kebodohan, dari kemiskinan, dari perpecahan, dan dari kebencian.
Renungan untuk Negeri
Di tengah renungan itu, kembali terdengar lagu yang sama mengalun, kini teerdengar seperti sebuah rintihan;
“Tanah airku tidak kulupakan… Kan terkenang selama hidupku…”
Betapa negeri ini telah memberi segalanya: gunung, laut, tanah subur, bahkan udara segar yang kita hirup setiap hari. Tetapi, sudahkah kita membalas cintanya?
Seorang bapak tua berdiri rapuh, suaranya parau namun terdengar tegas:
“Jangan bertanya apa yang diberikan negeri ini padamu, tapi tanyakan apa yang sudah engkau persembahkan untuk negeri ini.”
Seorang anak kecil menjawab polos:
“Aku ingin belajar rajin, supaya bisa membanggakan Indonesia.”
Seorang pemuda berbisik lantang:
“Aku ingin bekerja jujur, supaya negeri ini tidak roboh oleh korupsi.”
Seorang ibu bersuara lembut:
“Aku ingin mendidik anak-anakku dengan cinta, agar mereka tumbuh sebagai sosok yang mencintai bangsanya.”
Dialog sederhana itu terasa paling menggetarkan. Karena cinta tanah air memang tidak selalu hadir dalam hal-hal besar, melainkan dalam tindakan kecil yang tulus setiap hari.
Cinta yang Tak Pernah Padam
Hari ini, 80 tahun setelah Proklamasi, kita diajak merenung. Apakah kita telah cukup mencintai negeri ini sebagaimana para pahlawan mencintainya?
Merdeka bukan hanya sebuah kata yang diteriakkan di lapangan upacara. Merdeka adalah saat kita berani menundukkan ego, menolak korupsi, mengikis kebencian, dan mengisi negeri dengan karya serta kasih sayang.
Lagu kebangsaan pun sayup-sayup terdengar berkumandang. Dan kita pun berjanji dalam hati:
“Indonesia, cintaku padamu tak akan padam. Engkau adalah tanah airku, rumahku, ibuku. Engkau adalah nafas dan nadi hidupku. Dan di pangkuanmu pula aku akan kembali.”
Renungan Diri
Delapan puluh tahun lalu, bangsa ini berdiri dengan darah dan air mata. Kini, delapan puluh tahun kemudian, apakah kita masih setia pada janji kemerdekaan itu?
Bayangkan sejenak… bila para pahlawan menatap kita hari ini, apakah mereka akan tersenyum bangga, atau menundukkan wajah karena kecewa?
Bayangkan, bila Bung Karno hadir di tengah kita hari ini, apakah beliau akan berkata:
“Anak-anakku, terima kasih, kalian telah menjaga bangsa ini dengan cinta.”
Ataukah justru beliau berucap lirih:
“Mengapa kalian biarkan perpecahan tumbuh di bumi yang kami satukan dengan nyawa?”
Kita tidak perlu menunggu jawaban dari langit. Jawabannya ada di hati kita masing-masing.
Kemerdekaan sejati bukan hanya terbebas dari penjajah asing. Kemerdekaan sejati adalah ketika hati kita bersih dari kebencian, tangan kita bebas dari korupsi, dan jiwa kita merdeka dari ketidakpedulian.
Maka hari ini, 17 Agustus 2025, mari kita ikrarkan janji ulang pada Ibu Pertiwi.
Janji bahwa kita tidak akan membiarkan merah putih ini lusuh oleh perselisihan.
Janji bahwa kita tidak akan membiarkan negeri ini roboh oleh ketidakjujuran.
Janji bahwa kita akan mengisi kemerdekaan dengan cinta, kerja, dan doa.
Dan kelak, ketika kita berpulang, semoga tanah air menyambut kita dengan bisikan lembut:
“Terima kasih, anakku. Engkau telah mencintaiku sepenuh jiwa, meski tak sempurna. Namun cintamu membuatku tetap tegak di hadapan dunia.”
Indonesia tercinta,
Engkaulah rumahku.
Engkaulah ibuku.
Engkaulah nafasku.
Selama engkau ada, aku akan tetap berjanji untuk bisa Merdeka sepenuh jiwa.
Dirgahayu Indonesiaku….
Bogor, 17 Agustus 2025