Narudin Pituin
HATIPENA.COM – 1. Pendahuluan, Landasan Teoretis, dan Metode
Anton Chekhov, prosais dan dramawan Rusia, pernah berkata, “Man will become better when you show him what he is like.” Orang akan menjadi lebih baik ketika Anda tunjukkan kepadanya seperti apa ia, demikian terjemahannya.
Bahkan Roger Ebert, kritikus film yang memenangkan The Pulitzer Prize untuk kritik filmnya yang berselera pada tahun 1975, pun akan berkata sama seperti Anton Chekhov di atas bahwa adegan-adegan apa pun yang dieksplisitkan di film-film akan menolong manusia agar menjadi lebih baik karena sentimentalitasnya memang ke arah sana secara tidak langsung.
Begitulah gambaran selayang pandang dari manfaat menonton film yang berjudul Tuhan, Izinkan Aku Berdosa, yaitu agar orang menjadi lebih baik.
Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa dengan sutradara Hanung Bramantyo yang ditulis oleh Ifan Ismail dan Hanung Bramantyo tayang di bioskop Indonesia mulai Rabu, 22 Mei 2024. Sesungguhnya, film ini sebelumnya telah ditayangkan di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) 2023.
Film yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini disebut-sebut “berani” karena ia mengadaptasi novel karya Muhidin M. Dahlan yang berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (2003). Saat itu novel ini dinilai kontroversial sampai sempat ditarik sebab diasumsi menyinggung pihak tertentu.
Secara semiotik, apabila suatu teks—dalam hal ini sebuah novel—telah diubah atau dialih-wahanakan menjadi sebuah film, maka produk kedua sebagai film itulah yang harus dianalisis secara lengkap. Transformasi bentuk tekstual (novel) ke dalam bentuk audio-visual (film) menurut teoretikus Mario Klarer (1998) tak lepas dari anasir-anasir sastra yang melingkupi ceritanya.
Persoalan disebut-sebut “berani” sebagai aspek naratif dan “alih wahana” menjadi film sebagai aspek sinematik harus dikaji secara memadai. Selama ini pembahasan ihwal film ini sebatas pada plot atau jalan cerita belaka—hampir-hampir tak dikupas perihal aspek sinematiknya, termasuk aspek naratifnya secara mendalam dan objektif secara ilmiah.
Secara semiotik, setiap tanda memiliki penanda (form, bentuk) dan petanda (content, isi) menurut pakar Semiotika Ferdinand de Saussure (Narudin, 2023). Penanda untuk film dapat saya sebut sebagai “aspek sinematik” dan petanda untuk film dapat saya sebut sebagai “aspek naratif”. Sesungguhnya, dalam buku karya Roland Barthes berjudul Elements of Semiology, New York: Hill and Wang, tahun 1968, penanda dan petanda digunakan pada kajian budaya yang lebih luas. Gagasan semiotik Barthes tak lepas dari pengaruh Ferdinand de Saussure dalam buku terkenalnya itu, yaitu berjudul Course in General Linguistics (1974). Bahkan dalam buku Aart van Zoest (1993), film dinilai sebagai tanda ikonis, yakni tanda yang menggambarkan sesuatu.
Jadi, kritik film ini akan menggunakan metode di atas, yaitu membahas aspek naratif (petanda) dan kemudian membahas aspek sinematik (penanda) dengan teori-teori sosial kritis atau teori sastra kontemporer lainnya yang relevan dengan isu-isu dalam film ini dari segi aspek naratif. Batasan metodis ini untuk memudahkan pembahasan film ini secara utuh dan teratur.
Landasan teoretis aspek naratif dan aspek sinematik ini merujuk kepada buku karya David Bordwell dan Kristin Thompson berjudul Film Art: An Introduction (2004)—yang dalam kesempatan selanjutnya Himawan Pratista menulis buku Memahami Film (2008), merujuk kepada buku karya Bordwell dan Thompson di atas. Aspek naratif dalam kajian film ini mencakup: 1) Ringkasan plot (jalan cerita) dan 2) Batasan-batasan cerita yang berkaitan dengan pemikiran-pemikiran kontemporer yang relevan. Sedangkan, aspek sinematik meliputi: 1) Mise-en-Scene, 2) Sinematografi, 3) Editing, dan 4) Suara.
Dengan bahasan kedua aspek di atas, diharapkan film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa ini dapat terkupas kelebihan dan kekurangannya dan dapat mendorong kemajuan dunia perfilman di Indonesia.
- Informasi Produksi Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa
Sebelum membahas aspek naratif dan aspek sinematik, informasi produksi film disajikan di bawah sebagai berikut.
Sutradara : Hanung Bramantyo
Produser : Raam Punjabi
Skenario : Ifan Ismail, Hanung Bramantyo
Berdasarkan novel : Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur Muhidin M. Dahlan
Pemeran : Aghniny Haque (Kiran)
Donny Damara (Tomo)
Djenar Maesa Ayu (Ami)
Andri Mashadi (Daarul)
Samo Rafael (Hudan)
Nugie (Alim)
Goetheng Iku Ahkin (Ayah Kiran)
Onet Dhewanti (Ibu Kiran)
Ridwan Raoul Rohaz (Abu Darda)
Cornelio Sunny (Sandi)
Kedung Darma Romansha (Buldan)
Aksara Dena (Ahmad)
Penampilan Spesial : Nikita Mirzani (Resepsionis Losmen)
Keanu Angelo (Banci Salon)
Penata Musik : Fajar Ahadi
Sinematografer : Satria Kurnianto
Penyunting : Haris F. Syah
Perusahaan Produksi : MPV Pictures
Dapur Film
Tanggal Rilis : 1 Desember 2023
Durasi : 117 menit
Negara : Indonesia
Bahasa : Bahasa Indonesia
- Aspek Naratif Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa
3.1 Ringkasan Plot (Jalan Cerita)
Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa ini menceritakan kisah hidup seorang muslimat yang menjadi pelacur bernama Kiran (Aghniny Haque), seorang mahasiswi dan anggota Jama’ah Dardariyah yang bercita-cita ingin menegakkan syariat Islam di Indonesia. Namun, hal itu tidak terwujud, tidak sesuai dengan harapan Kiran. Kiran sungguh terpukul dibuatnya.
Kiran merasa dibodohi tatkala mengikuti Jama’ah Dardariyah itu. Menurut dirinya, pemikiran dan kegiatan Jama’ah Dardariyah itu tidak rasional dan bersifat dogmatis, merugikan dirinya dan orang banyak. Misalnya, saat Kiran hendak dinikahi oleh pemimpin Jama’ah Dardariyah itu, Abu Darda (Ridwan Raoul Rohaz), ternyata Kiran akan dijadikan istri ketiganya dan Kiran merasa telah diperlakukan secara tak adil dan didustai baik secara personal maupun secara religius.
Dengan segala kerapuhan jiwa Kiran, ia memilih hidup bebas—yang tak dapat dikekang oleh siapa pun—pergaulan bebas hingga seks bebas, alkohol, narkoba, dan sebangsanya. Kehidupan malam menjadi kehidupan baru Kiran. Bukan lagi kehidupan kajian agama. Bukan lagi busana muslimat yang terulur panjang menutupi seluruh tubuhnya, melainkan pakaian-pakaian yang justru melanggar apa-apa yang telah diajarkan oleh agamanya, yakni pakaian-pakaian yang membuka aurat, yaitu bagian badan yang tidak boleh kelihatan menurut hukum Islam.
Jiwa rapuh Kiran tak hanya dirusak oleh Abu Darda dan para pengikutnya—secara eufemistik, “para murid” Abu Darda—tetapi juga dihancurkan oleh Tomo (Donny Damara), seorang germo profesional karena ia seorang dosen pula yang menjelmakan Kiran menjadi pelacur profesional—profesional dalam arti melayani tamu-tamu para politikus yang meneriakkan tegaknya syariat Islam secara munafik, bermuka dua, seperti Alim (Nugie).
Terdapat pertentangan jiwa Kiran yang membuat ia berpaling dari seorang muslimat taat menjadi pelacur bejat, orientasi jiwa Kiran terbelah dua, yakni orientasi menghukum para politikus munafik itu dan melawan Tuhan. Disorientasi atau konfrontasi langsung Kiran kepada Tuhan pun terasa terburu-buru di dalam film ini sebab sebelumnya Kiran terkesan sebagai seorang muslimat taat dengan pengetahuan agama Islam yang cukup baik.
Konfrontasi langsung kepada Tuhan bisa terjadi dimanipulasi di dalam film ini akibat problem domestik, yaitu Ayah Kiran (Goetheng Iku Ahkin) yang menderita sakit keras dan hanya seorang pensiunan. Ibu Kiran (Onet Dhewanti) pun sekadar ibu rumah tangga yang tidak memiliki penghasilan tetap.
Demi harus bertahan hidup, Kiran melakukan perbuatan yang bertentangan dengan apa yang telah ia pelajari selama ini, yakni syariat Islam. Kiran memilih menjadi pelacur yang mendapat uluran tangan Ami (Djenar Maesa Ayu) atas nama “kebaikan semu”. Dengan kebaikan semu itu, Kiran lebih terjerumus justru ke dalam kehidupan malam yang gulita.
Kehadiran Daarul (Andri Mashadi) yang terkesan menjadi penolong keterpurukan nasib Kiran malah hanya memaanfaatkan tubuh Kiran belaka—kemudian ditinggalkan. Daarul sesungguhnya sama saja dengan para murid Abu Darda lainnya yang memanipulasi kebaikan atas nama agama. Yang lain bersikap patuh pada Abu Darda karena dianggap tokoh suci. Sedangkan Daarul memilih jalan munafik, yakni mengambil kesempatan di dalam kesempitan.
Pelecehan seksual Daarul atas nama menolong Kiran dengan bayaran tubuh Kiran secara cuma-cuma. Pelecehan seksual Tomo atas nama menolong Kiran yang terdesak secara ekonomi. Dan pelecehan seksual Ami yang menolong Kiran dengan memberi tempat leluasa untuk dunia pelacuran sesungguhnya dunia gelap dalam film ini yang membingkai kehidupan Kiran agar seperti terkurung di dalamnya. Keterkurungan Kiran ini mirip dengan seting atau latar tempat film ini, yakni gang-gang sempit yang tampak suram, kelabu, hingga gelap. Tambahan pula, kekerasan seksual yang melampaui batas dari Tomo dan Alim pun merupakan perilaku yang sukar dimaafkan.
Isu sensitif dan perubahan watak Kiran yang mencoloklah yang membuat film ini memiliki kualitas tertentu dibanding film Perempuan Berkalung Sorban dan lainnya. Kritik terhadap Jama’ah Dardariyah atau lazimnya disebut sebagai organisasi radikal pun tak terelakkan di dalam film ini. Sebagai mahasiswi, Kiran gagal dalam melewati fase intelektualnya. Sebagai anggota Jama’ah Dardariyah, Kiran gagal dalam melewati fase religiusnya—bukan fase spiritual sebab sudah jelas ajaran Islam yang dianutnya. Orang Amerika sering kali berkata, “I am spiritual, but I am not religious.”
Kegagalan Kiran di dalam dua fase itu, fase intelektual dan fase religius, ternyata hanya 80% gugatan dalam film ini di awal film, selebihnya 20% ialah hidayah (petunjuk) di akhir film ini seperti diakui pula oleh Hanung Bramantyo dalam salah satu wawancara di televisi.
Kiran diberi peluang untuk kembali kepada golongan orang-orang kanan—sikap eling atau tobat kepada Tuhan—bukan tetap berada di jalan golongan orang-orang kiri, yakni menjadi pelacur dan hidup dalam kegelapan akal dan hati.
Di penutup film ini para penonton seperti diberi “katarsis”, meminjam istilah filsuf Yunani kuno, Aristoteles, yaitu mendapat kelegaan emosional setelah dipertontonkan adegan seks yang bertubi-tubi, pelecehan dan kekerasan seksual, hingga pembunuhan berdarah setelah sekian penyiksaan terhadap Kiran—tubuh perempuan yang dianggap tak berarti di film ini.
Dari adegan-adegan religius hingga adegan-adegan seks, pelecehan dan kekerasan seksual hingga pembunuhan berdarah mengisyaratkan betapa film ini ingin disebut film yang kaya, tak hanya berupa film bergenre drama belaka (genre induk primer), tetapi aksi-aksi ekstrem, hingga komedi karakter cameo, penampilan sesaat resepsionis losmen (Nikita Mirzani) dan banci salon (Keanu Angelo) kontras dengan karakter Hudan (Samo Rafael) saat adegan di atas gunung yang horor, termasuk adegan penyiksaan Kiran disetrum listik, dan psikologi masam seperti karakter Sandi (Cornelio Sunny) di kolam renang. Jadi, ada rentang adegan yang luas, mulai dari adegan dramatis, adegan komedis, adegan horor fisik, hingga adegan horor psikologis.
Demikianlah ringkasan plot (jalan cerita) film ini yang dalam kajian semiotik, sinopsis atau ringkasan dengan sekian variasinya merupakan pembacaan heuristik, yaitu pembacaan selayang pandang untuk menangkap inti dari ceritanya.
Memang diakui dalam film ini menggunakan plot non-linier, tidak lurus atau maju-mundur. Dan itu sesungguhnya cukup mengganggu sebab alur-mundurnya terlalu kerap atau rapat sehingga mengganggu konflik-konflik batin yang sedang dikonstruksi di dalam shot, adegan, hingga sekuen film ini.
3.2 Batasan-batasan Cerita yang Berkaitan dengan Pemikiran-pemikiran Kontemporer yang Relevan
Batasan-batasan ini sangat menarik sebab film ini yang disebut film “berani” sesungguhnya menyentuh sekian pemikiran atau teori sosial kritis atau teori sastra kontemporer dari segi aspek naratif film. Tidak seluruh batasan ini diberikan di sini, tetapi beberapa batasan yang paling urgen saja sesuai dengan pemikiran-pemikiran kontemporer yang disentuhnya.
Pertama, isu agama. Isu agama yang diusung dalam film ini yaitu konfrontasi Kiran terhadap organisasi yang dipimpin oleh Abu Darda ialah isu pertentangan antara syariat Islam versus syariat nafsu. Ada hal yang tergesa-gesa di dalam film ini ketika perwatakan Kiran berubah dari penegak syariat Islam menuju penegak syahwat—alias menjadi pelacur. Bukankah Kiran seorang yang taat beragama, dibuktikan dengan adegan di awal saat kajian yang mengatakan bahwa solusi dari politik kacau bangsa ini akibat jauh dari Al-Qur’an dan Sunah? Apabila Kiran berpegang pada hal ini, tentu saja Kiran tak mudah terpengaruh oleh dorongan hidup yang getir secara ekonomi dan bujuk rayu Abu Darda yang libidinal belaka. Jadi, hal ini seharusnya tak membuat Kiran mudah tergelincir dalam jalan hidupnya.
Kemudian, ajaran radikal atas nama Islam bukan ajaran Islam. Abu Darda yang bertopeng Islam hanya mengajarkan prinsip-prinsip radikal sebab terorisme dan bom bunuh diri tidak diajarkan dalam ajaran Islam. Ajaran radikal Abu Darda dengan Jama’ah Dardariyah-nya sesat.
Kedua, isu pelecehan seksual dan orang-orang munafik yang melakukan tindak kekerasan seksual. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa seharusnya Kiran tak mudah tergelincir menjadi pelacur sebab secara psikologis ini termasuk kasus kontradiksi di dalam dirinya (a contradiction in terms), yaitu orang yang taat mendadak menjadi orang yang laknat. Dalam teori Dekonstruksi Jacques Derrida (via Ann B. Dobie, 2012), ini disebut dengan oposisi biner (pertentangan ganda) semisal relasi tak realistis karena sifat keinstanannya itu: taat versus laknat.
Kemudian, secara egoistis, Kiran pun tak dapat menghujat orang-orang munafik semacam Tomo, Sandi, dan Alim karena sesungguhnya Kiran pun termasuk orang munafik terhadap dirinya sendiri. Mengapa demikian? Karena alasan Kiran untuk memilih para politikus yang munafik itu merupakan sikap yang secara psikologis terbelah (berwatak ganda). Kiran terjun menjadi pelacur dari seorang muslimat taat pun sudah perilaku munafik. Mengapa Kiran tidak memilih jalan hidup yang lebih baik dengan modal pengetahuannya tentang syariat Islam yang kuat seperti ditampilkan dalam adegan-adegan film dengan kilas balik itu, seperti 1) menolak hidup kotor bersama Ami, 2) menolak hubungan di luar nikah dengan Daarul di losmen, 3) kabur dari Jama’ah Dardariyah Abu Darda dengan memilih perlindungan hukum atau orang-orang yang lebih baik, dan 4) menolak bergaul dengan teman-teman yang tak paham syariat Islam.
Sampai level pembicaraan ini, rupa-rupanya, sejak novel yang ditulis oleh Muhidin M. Dahlan yang berjudul Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur (2003) lalu diadaptasi oleh Hanung Bramantyo menjadi film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa (2023), memang dimaksudkan (melalui sudut pandang Kiran) agar Tuhan melihat ia berbuat seperti itu karena kekecewaannya terhadap agamanya.
Sepintas pandang, memanglah pelecehan dan kekerasan seksual dalam adegan-adegan film ini merupakan potret sedih kaum perempuan yang menjadi korban. Data Komnas Perempuan mencatat, sepanjang tahun 2024 terdapat 34.682 perempuan menjadi korban kekerasan. Dari jumlah itu, kekerasan seksual menempati posisi tertinggi 15.621 kasus, disusul dengan kasus kekerasan psikis 12.878, dan kasus kekerasan fisik 11.099.
Menurut konsultan politik, Denny JA (dalam salah satu Kata Pengantar buku puisi, 2025), data itu bukan data personal semata, bukan luka pada tubuh korban perempuan belaka, tetapi juga luka terhadap bangsa, moral bangsa yang membiarkannya.
Patriarki kadang kala datang dalam wajah yang lebih menakutkan, wajah seorang kiai atau ustaz. Itulah sebabnya patriarki disebut neraka yang menyamar. Ia datang terkadang dengan janji surga. Di balik jubah agama, ternyata ada sorot mata iblis. Selama patriarki masih ada, perempuan tak pernah benar-benar aman, termasuk di masjid atau di organisasi seperti di Jama’ah Dardariyah itu.
Telah jelas, perempuan jika berada dalam lingkungan patriarki yang bertopeng agama, tidak hanya direndahkan posisinya, tetapi juga dibungkam. Oleh sebab itu, dalam buku seorang feminis-eksistensialis karya Simone de Beauvoir (1949), perempuan hanyalah “alat kelamin kedua”—gender yang tak penting karena nomor dua.
Kemarahan Hanung Bramantyo sebagai sutradara terhadap isu pelecehan dan kekerasan seksual di organisasi semacam Jama’ah Dardariyah Abu Darda inilah yang membuat film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa digarapnya dengan serius karena selama ini suara minoritas yang bernasib seperti ini dibungkam—belum ada yang berani membongkarnya secara blak-blakan.
Sampai taraf pembicaraan aspek naratif di atas, tampaknya film ini memang mengandung kebenaran itu sesuai dengan niat baik dari sutradara Hanung Bramantyo. Meskipun demikian, jika diteliti secara cermat, pelecehan dan kekerasan seksual itu terjadi memang karena pilihan hidup Kiran yang kacau itu. Kekacauan dalam jiwa Kiran untuk memilih hidup seperti itu termasuk dalam kajian Psikoanalisis sebagai “represi” (Sigmund Freud, 1971).
Represi (tekanan jiwa) itu merupakan proses defensif (sikap pembelaan) menurut Lois Tyson (2006) bagi jiwa yang tertekan itu. Dalam hal ini jiwa tertekan Kiran. Dan represi Kiran merupakan prinsip kesenangan (the pleasure principle) dalam teori Psikonalisis dengan memilih menjadi pelacur dan justru dengan pilihannya itu menjadi budak seks yang menderita dan mencelakai dirinya sendiri. Prinsip kesenangan semacam ini bersifat naluriah atau instingtif (id) yang melanggar realitas (ego) dan moralitas (superego) yang diciptakan oleh pilihan hidup Kiran sendiri. Milieu hidup Kiran adalah konsekuensi logis dari pilihan hidup Kiran itu sendiri. Di sinilah justru letak kekurang-logisan dari film ini. Karakter Kiran semacam karakter wayang yang hitam-putih, yang seakan-akan putih dan hitam sudah dapat ditebak. Padahal jiwa manusia dinamis, ada potensi untuk menolak atau menjauh dari lingkungan yang negatif atau bahkan destruktif.
Oleh sebab itu, film ini karena berasal dari memoar atau catatan harian dan kemudian digubah menjadi sebuah novel, lalu diadaptasi menjadi sebuah film menurut teori C.G. Jung (1967) termasuk ke dalam mode psikologis karena materinya diambil dari kehidupan sadar manusia.
Ketiga, isu sufistik. Sikap zuhud (menjauhi kehidupan duniawi) Kiran sejak adegan awal menjadi penegak syariat Islam yang taat dalam alur non-linier hingga adegan akhir saat Kiran tak berdaya jatuh ke bawah tebing akibat berkelahi dengan Tomo karena kehidupan Tomo telah hancur pun merupakan sikap zuhud yang tidak konsisten—sebab Kiran merasa dekat lagi dengan Tuhan saat dirinya telah tak berdaya secara fisik. Sikap seperti ini tentu saja tidak akan disukai penonton yang memiliki pemahaman yang lebih tinggi terhadap film ini. Perhatikan ucapan Kiran ketika tubuhnya terkulai di atas rumput yang dirimbuni oleh dedaunan pepohonan di bagian akhir film:
Aku mau mencintai-Mu dengan bahagia.
Dengan bebas.
Dengan rindu setiap saat tanpa ditakut-takuti neraka.
Atau diiming-imingi surga.
Ucapan pemantik ini mirip dengan doa aneh Ibu Sufi, Rabiah Al-Adawiyah (713—801), di masa silam. Kontradiksi terjadi di sini secara sufistik. Jika Kiran mencintai Tuhan, maka Kiran harus tunduk kepada ketetapan yang telah Tuhan ciptakan, yaitu ada neraka dan ada surga setelah kematian manusia. Ucapan menolak surga dan tidak takut neraka merupakan proposisi yang kontradiktif secara logis. Maka jelas, bahwa memang jiwa Kiran sebagai alter ego novelis Muhidin M. Dahlan telah bersifat kontradiktoris. Alhasil, perubahan watak Kiran dari “perempuan saleh” menjadi “perempuan salah” terkesan mengada-ada.
Hanya kecerdasan Hanung Bramantyo telah mengubah novel itu menjadi film yang tetap memiliki kualitas yang bagus dengan penutup film yang mengingatkan orang-orang kepada manfaat kembali ke akar, yaitu kembali kepada syariat Islam seperti diteladankan oleh karakter Kiran yang dalam bahasa Hanung Bramantyo itulah hidayah atau petunjuk hidup yang baik itu—kembali kepada jalan yang benar.
Itulah sebabnya film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa ini menjadi pemenang penghargaan Festival Film Bandung, kategori Film Indonesia Terpuji, pada tahun 2024.
- Aspek Sinematik Film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa
Aspek sinematik meliputi: 1) Mise-en-Scene, 2) Sinematografi, 3) Editing, dan 4) Suara. Keempat aspek sinematik ini akan dibahas secara memadai di sini karena ini bagian dari Semiotika film yang tak boleh dihilangkan dalam kritik film yang baik.
4.1 Mise-en-Scene
Mise-en-scene didefinisikan sebagai segala aspek yang berada di depan kamera, meliputi seting atau latar, kostum, tata rias wajah, tata cahaya atau pencahayaan, dan pergerakan karakter atau pemain (Himawan Pratista, 2008).
Seting atau latar tempat sangat mendukung di film Tuhan, Izinkan Aku Berdosa ini, baik adegan di kampus, di kantin, di losmen atau di kos-kosan, di tempat kajian Jama’ah Dardariyah, di rumah, di salon, di apartemen, di gang-gang sempit, di pantai, di sawah, di pinggir jalan, di warung, di Rumah Sakit, maupun di mana saja. Fungsi seting tempat di film ini tidak hanya berfungsi sebagai penunjuk ruang dan waktu ketika itu, tetapi juga membangun mood, suasana hati, motif-motif tertentu di film, dan pendukung aktif seluruh adegan.
Kostum yang dikenakan pun selaras dengan seting tempat dan seting waktu. Kostum itu dapat menunjukkan status sosial di film ini, selain menampilkan kepribadian karakter atau pelaku cerita. Warna-warna kostum yang digunakan di dalam film ini pun sesuai dengan simbol yang hendak dicitrakan di dalam film ini, termasuk pemakaian aksesori di dalam film ini oleh para pelaku cerita.
Tata rias wajah pun selaras dan apik di film ini—lihatlah bagaimana tata rias wajah Kiran saat menjadi “muslimah taat” dan saat menjadi “pelacur laknat”, sangatlah kontras, termasuk tata rias wajah para pemeran film lainnya, tampak begitu diperhatikan agar tampak realistis.
Pencahayaan atau tata cahaya film ini seperti menggunakan teknik back lighting (arah pencahayaan dari belakang objek) sekaligus frontal lighting (arah pencahayaan dari depan objek). Teknik diafragma pun digunakan dalam film ini agar mampu mengontrol intensitas cahaya yang masuk ke dalam kamera. Misalnya, adegan Kiran dan Daarul saat tengah makan mi ayam di ujung gang walaupun itu seperti semburat kecil cahaya matahari dari arah belakang. Kemudian, adegan saat Kiran memakai baju muslimat, sedang berjalan lambat-lambat bersama teman-teman kajiannya di sebuah lorong di bagian awal film dan sekian adegan lainnya. Juga penggunaan teknik low-key lighting, yaitu tata cahaya yang menghasilkan batas yang tegas antara area gelap dan terang. Efek bayangan dominan. Contohnya, adegan saat Kiran mulai berjalan di lorong itu.
Pergerakan pemain atau karakter di dalam film ini pun tampak natural, berikhtiar keras untuk berakting secara alami, agar tampak faktual, tidak fiksional. Itu dapat terlihat dari akting-akting Kiran yang berusaha keras memperluas jangkauan psikologisnya (jarak psikologis) dari seorang muslimat taat menjadi seorang pelacur laknat. Juga peran Tomo, Alim, Ami, dan Hudan—semua tampak dinaturalkan.
4.2 Sinematografi
Ada beberapa sinematografi yang patut diperhatikan di dalam film ini, yaitu teknik slow motion, overhead-shot, low angle, high angle, crane shot, dan superimpose.
Perpaduan yang tertib dan cukup lengkap tampak pada pembuka film, yaitu adegan Kiran dan teman-teman kajiannya tatkala berjalan di lorong itu. Di sana ada slow motion, pergerakan lambat berjalan untuk mencapai efek dramatis film ini. Lalu, kamera di atas (overhead-shot) menyorot kepala yang tengah berjalan, juga kamera di bawah (low angle) agar pergerakan berjalan itu terasa dramatis dari dua arah: atas dan bawah. Teknik low angle pun digunakan, contohnhya, saat Sandi mendekati Kiran di pinggir kolam renang dan saat Kiran berjalan menuju salon Ami.
Berkali-kali digunakan teknik crane shot, menghasilkan efek sudut ketinggian (high angle), digunakan untuk menggambarkan lanskap luas, di atas bangunan atau alam sekitar. Teknik crane shot yang ekstrem pada saat Kiran terjatuh ke bawah tebing dengan pergerakan kamera secara horizontal, vertikal, dan ke arah mana saja—agar efek dramatis dirasakan oleh penonton film seolah-olah penontonlah yang sedang terjatuh ke bawah tebing itu.
Penggunaan superimpose (penumpukan gambar) sangat dominan pada adegan-adegan Kiran saat dilecehkan secara seksual dan disiksa, misalnya, adegan saat Alim menyiksa Kiran kemudian ia berbuat mesum setelahnya, juga adegan seksual Tomo bersama Kiran sekaligus saat kekerasan seksual dikerjakan. Gambar-gambar close up wajah Tomo, Alim, dan Kiran ditumpuk atau bertukar-tukar dengan warna-warna remang-remang yang memperkuat efek dramatis pelecehan dan kekerasan seksual ini.
4.3 Editing
Yang mengesankan di bagian editing ini tampaknya penggunaan teknik sekuen montase, yaitu dua aksi berbeda dilakukan secara paralel. Penggunaan ini dominan untuk membuat plot non-linier film ini, agar penonton terkecoh dengan jalan cerita film ini. Contoh dari sekuen montase ini misalnya dua aksi berbeda atau dua adegan berbeda yang membentuk sekuen montase yang berturut-turut dan memusingkan sesungguhnya, yaitu kilas balik adegan Kiran saat menjadi muslimah taat dan saat Kiran menjadi pelacur laknat. Jalan cerita yang dibuat dengan teknik sekuen montase ini ada kelebihannya. Namun, jika terlalu rapat dan cepat, tentu saja membingungkan pihak penonton film.
4.4 Suara
Bahasa film yang digunakan bermacam-macam, menunjukkan sebuah film yang kaya dari segi bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan dalam film ini bahasa yang dominan, tetapi terbagi dua: bahasa Indonesia ragam informal (bahasa gaul) dan bahasa Indonesia ragam formal (bahasa resmi). Contohnya sangat banyak, tak perlu diberi contoh di sini. Juga penggunaan bahasa daerah, bahasa Jawa, contohnya, oleh Ayah Kiran, “Ora salah, Kiran, Bu. Ojo….” Kemudian bahasa Inggris oleh Tomo, contohnya, “Don’t judge this wine by its label.” Bahasa Arab oleh Abu Darda, contohnya, “Laa, kadzabta.” Dan bahasa Latin yang digunakan oleh Kiran dalam ucapan, “Imitatio dei eritis sicut deus.” Pelbagai bahasa yang digunakan ini menunjukkan film ini tak hanya menyentuh budaya atau warna lokal di sana, tetapi juga menyinggung masalah global. Dengan penggunaan bahasa yang pelbagai ini, film ini ditujukan bagi seluruh kelas atau lapisan masyarakat.
Bahasa bicara di film ini kontras antara bahasa suara yang baik dan bahasa suara yang tak baik, misalnya, pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh Kiran versus bahasa kasar oleh Kiran saat marah. Kata-kata kasar seperti “monyet”, “lonte”, “pecun”, dan bahkan hingga kata kasar sekali “ngewe” (suara Kiran) yang tak dihapus (bleep), melainkan diganti dengan kata “tidur” di teks yang tercantum. Perpaduan bahasa bicara halus dan bahasa bicara kasar membuat film ini layak diperhatikan jika ditonton oleh anak-anak di bawah umur. Mereka harus dibimbing oleh orang tua tatkala mereka menonton, yakni untuk bahasa bicara yang kasar dan adegan-adegan seksual dan bahasa tubuh seperti mengacungkan kedua jari tengah ke langit.
Jenis suara di dalam film ini bervariasi, mulai dari monolog, dialog, dan dialog tumpang tindih (overlapping dialog). Misalnya, monolog Kiran di awal dan akhir film, saat berjalan di lorong dan saat jatuh di bawah tebing, terkulai tiada daya. Dialog terjadi di banyak bagian atau adegan. Dialog tumpang tindih terjadi saat Kiran bertengkar dengan para pemain lain, misalnya, dengan Tomo dan Alim meskipun terkesan tak tumpang tindih sebab Kiran tengah disiksa, merasakan kesakitan. Rintihan atau erangan kecil menindih dialog satu sama lain.
Elemen pokok suara pun terjadi di film ini, misalnya, timbre (warna suara) Kiran dan Tomo demikian jelas baik saat Kiran bermonolog maupun saat Tomo memelas kepada Kiran. Juga volume suara, ada suara yang terdengar lirih merintih-rintih, ada pula suara keras (loudness) mengamuk ke udara saat marah.
Seluruh adegan dalam film ini didukung oleh ilustrasi musik yang sesuai. Ilustrasi musik itu mendukung perasaan atau suasana hati di film ini. Soundtrack film ini lagu berjudul “Knows Me Better” oleh Mario Zwinkle seorang rapper asal Yogyakarta. Musik tradisional pun mengiringi seperti instrumen keroncong, termasuk musik yang bernuansa Timur Tengah berjudul “Arabic Pray” oleh Anthony Vega—dan iringan-iringan istrumental lainnya yang sesuai dengan atmosfer adegan-adegan film ini. Jika diteliti lebih cermat, seluruh musik yang mengiringi atau sebagai ilustrasi cukup sesuai dengan adegan-adegannya.
- Kesimpulan
Demikianlah kritik film secara semiotik untuk film yang berjudul Tuhan, Izinkan Aku Berdosa Hanung Bramantyo, ditinjau dari dua aspek, aspek naratif dan aspek sinematik secara lengkap dan objektif.
Hasilnya, film ini cukup berkualitas dari aspek naratif—hanya perlu diperhatikan lagi isi atau narasi dari film ini serta dampaknya bagi publik atau masyarakat luas. Dari aspek sinematik, film ini menampilkan kualitas yang cukup bagus.
Semoga kritik film secara objektif ini dapat dilanjutkan dengan kritik-kritik film lainnya yang bersifat tertulis, bukan dalam bentuk video atau podcast agar publik atau siapa pun dapat menilai film dengan selengkap-lengkapnya, baik dari segi cerita maupun dari segi teknik perfilmannya. (*)
Subang, 18 Agustus 2025
Daftar Pustaka
Barthes, Roland. 1968. Elements of Semiology. New York: Hill and Wang.
Beauvoir, Simone de. (2009) [1949]. The Second Sex (translated by Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier. Random House: Alfred A. Knopf.
Bordwell, David dan Kristin Thompson. 2004. Film Art: An Introduction (cetakan keempat). The McGraw-Hill Companies Inc..
Dobie, Ann B.. 2012. Theory into Practice: An Introduction to Literary Criticism, Third Edition. USA: Wadsworth.
Freud, Sigmund. 1971. Inhibitions, Symptoms, and Anxiety, translated by Alix Strachey, edited by James Strachey. London: The Hogarth Press LTD.
Jung, C.G. 1967. The Spirit in Man, Art, and Literature. Great Britain: Routledge & Kegan Paul Plc.
Klarer, Mario. 1998. An Introduction to Literary Studies. London and New York: Routledge.
Narudin. 2023. Sintesemiotik: Teori dan Praktik. Batam: MirNov.
Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Yogyakarta: Homerian Pustaka.
Saussure, Ferdinand de. 1974. Course in General Linguistics. Fontana/Coling.
Tyson, Lois. 2006. Critical Theory Today: A User-Friendly Guide (Second Edition). New York: Routledge.
Zoest, Aart van. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita Lakukan dengannya (terjemahan Ani Soekowati). Jakarta: Yayasan Sumber Agung.