Oleh Gunawan Trihantoro
Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah dan Ketua Satupena Kabupaten Blora
HATIPENA.COM – Cerdas berkomunikasi di era digital bukan sekadar pintar bicara, melainkan piawai membaca ruang, menakar konteks, dan menjaga kepercayaan publik.
Ketika komunikasi gagal, kebijakan baik pun bisa disalahpahami dan berujung kegaduhan.
Kasus Pati memberi pelajaran. Kebijakan kenaikan PBB-P2 250% memantik gejolak bukan hanya karena angkanya, tetapi terutama karena cara penyampaian yang dinilai menantang publik.
Narasi yang keras di ruang digital memperbesar resistensi, hingga berujung klarifikasi dan permintaan maaf bupati Pati.
Tidak berselang lama, Menkeu diterpa video potongan yang menarasikan “guru beban negara.”
Kemenkeu menegaskan itu hoaks—campuran potongan dan deepfake dari pidato di ITB—dan melakukan klarifikasi resmi.
Dua peristiwa ini mengajarkan tiga hukum komunikasi digital.
Pertama, persepsi mengalahkan niat; yang terdengar publik sering lebih kuat dari maksud pembicara.
Kedua, kecepatan mengalahkan keakuratan jika tak dikelola; vacuum informasi selalu diisi spekulasi.
Ketiga, jejak digital abadi; satu potongan video dapat hidup lebih lama daripada koreksinya.
Maka “cerdas berkomunikasi” untuk pejabat mestinya berbasis 4C: Clarity, Context, Compassion, Consistency.
Jelas dalam pesan, kaya konteks, berempati pada warga, dan konsisten lintas kanal.
Clarity berarti menyebut apa, mengapa, bagaimana, dan dampak.
Angka besar tanpa peta manfaat, fase, dan mitigasi akan tampak semena-mena.
Context menuntut waktu dan tempat yang tepat, plus data pembanding yang mudah dicerna.
Berkata benar di momen yang salah tetap terasa salah di mata publik.
Compassion mengakui beban warga sebelum bicara beban fiskal.
Kalimat pembuka yang empatik meredakan amarah separuhnya.
Consistency menuntut keselarasan rapat internal, konferensi pers, caption, sampai Q&A.
Satu disonansi kecil di reels bisa membatalkan seluruh paparan panjang.
Apa praktik konkretnya? Pertama, lakukan “pre-brief digital” sebelum kebijakan diumumkan.
Uji pesan ke focus group kecil dan simulasi framing warganet untuk memetakan potensi salah tafsir.
Kedua, siapkan “visual primer” sederhana, seperti kartu data satu layar, skenario dampak, dan contoh kasus.
Jangan bebani warga dengan jargon; tampilkan ilustrasi yang menjawab kekhawatiran paling umum.
Ketiga, susun protokol krisis 3T; Tanggap–Tuntas–Transparan.
Tanggap <24 jam, tuntas dengan langkah korektif, transparan dengan log klarifikasi lintas kanal.
Keempat, kelola ekosistem juru bicara.
Pastikan satu narasi inti, n-1 narasi pendukung, dan daftar “kalimat yang dihindari.”
Kelima, berlakukan “empat mata digital” untuk konten sensitif.
Setiap unggahan bernilai tinggi wajib diperiksa rekan sebaya dan ahli kebijakan.
Keenam, mitigasi disinformasi dengan toolkit cepat.
Punya template debunk, nomor verifikasi, dan kanal rujukan resmi yang mudah diakses warga.
Ketujuh, latih empati publik. Mulai dari kalimat pengakuan dampak warga, baru argumentasi teknokratis.
Urutan ini menurunkan tensi dan menaikkan daya terima.
Kedelapan, sediakan ruang dialog yang aman dan terdokumentasi.
Town hall hybrid, kotak saran digital, dan FAQ hidup menunjukkan kerendahan hati institusi.
Kesembilan, audit jejak bahasa. Cek diksi yang berpotensi ambigu, merendahkan, atau menantang.
Ingat, satu kata bisa menjadi judul ribuan unggahan.
Terakhir, rawat akuntabilitas dengan metrik komunikasi: kejelasan, sentimen, retensi pesan, dan koreksi hoaks.
Evaluasi berkala mencegah pengulangan krisis yang sama.
Era digital menuntut pejabat bukan hanya pandai memerintah, tetapi piawai memaknai perasaan warga.
Dengan 4C, protokol 3T, dan disiplin etik komunikasi, kebijakan tidak sekadar diumumkan, melainkan dipahami dan diterima.
Kasus Pati dan klarifikasi Menkeu sama-sama mengingatkan, bahwa kebenaran butuh strategi agar terdengar benar.
Ketika komunikasi cerdas menjadi budaya, kepercayaan publik bukan lagi target, melainkan konsekuensi. (*)