Oleh : Ririe Aiko
HATIPENA.COM – Di tengah dunia yang kerap menakar segala sesuatu dengan keuntungan, masih ada orang-orang berhati malaikat yang melakukan sesuatu tanpa pamrih. Bukan karena ingin dipuji, bukan pula karena mengharap imbalan, melainkan karena keyakinan sederhana bahwa kebaikan itu bernilai pada dirinya sendiri.
Diskusi webinar Hatipena yang mengangkat tema Orang Tua Seribu Anak menghadirkan sosok luar biasa: Bapak Sukrawardi dan Ibu Yulinogeti. Pasangan ini bukan hanya tuan rumah bagi tamu yang singgah, melainkan juga ayah dan bunda bagi ratusan anak asuh dari lintas negara dan budaya. Mereka membuka pintu rumahnya lebar-lebar bagi siapa saja yang datang dengan niat baik dan semangat belajar tanpa bayaran.
Di rumah sederhana itu, para pemuda dari berbagai penjuru dunia dan pelosok Nusantara tidak hanya menemukan tempat tidur. Mereka ikut larut dalam perjalanan batin: berdiskusi serius, tertawa lepas di meja makan, hingga melakukan perjalanan bersama untuk mengenal lebih jauh tentang tradisi Indonesia.
Kebersamaan itu membentuk ikatan emosional yang kuat dan bertahan lama. Bahkan, setelah mereka kembali ke negara masing-masing, hubungan tidak terputus. Ada yang mengundang Pak Sukra ke pernikahan, ada pula yang mengadakan reuni penuh nostalgia di restoran Jepang, dihadiri puluhan anak asuhnya.
Yang membuat kisah ini semakin istimewa, pasangan ini justru meminta agar anak asuh yang hadir datang dari latar belakang agama dan budaya berbeda. Bagi mereka, keberagaman bukanlah masalah, melainkan hadiah yang memperkaya hidup. Dari situlah tercipta keluarga besar lintas bangsa, lintas iman, yang terikat oleh kasih sayang dan rasa saling menghormati.
Kisah Sukrawardi dan Yulinogeti membuktikan bahwa ada diplomasi sederhana yang jauh lebih kuat daripada pidato politik: diplomasi kemanusiaan. Dengan menu utama—toleransi, kebersamaan, dan keikhlasan—mereka menjadikan rumahnya sebagai sekolah kehidupan.
Saya pribadi tersentuh. Dalam percakapan hangat bersama mereka, saya seakan diingatkan bahwa meski kita sering berjumpa dengan orang-orang yang bersikap tidak manusiawi, diskriminatif, bahkan apatis terhadap kesulitan sesama, ternyata masih ada juga teladan mulia yang mampu mengembalikan harapan. Mereka menunjukkan bahwa melakukan suatu kebaikan adalah bentuk kebahagiaan sejati.
Orang mungkin akan berkata, “Orang gila mana yang mau rugi demi orang lain?” Namun justru di situlah letak ajaran tertinggi dari agama, yang paling sulit diwujudkan: saat kita hidup bukan lagi dengan ukuran untung rugi, melainkan dengan kerelaan berkorban tanpa takut merasa kehilangan.
Seandainya sosok seperti Pak Sukra dan Ibu Yulinogeti berlipat ganda menjadi ratusan, ribuan, bahkan jutaan, mungkin kita tidak lagi hidup di dunia yang sarat egoisme. Barangkali kita akan menyaksikan masyarakat yang lebih manusiawi, di mana rumah bukan sekadar bangunan, melainkan ruang teduh tempat kasih sayang, toleransi, dan kebersamaan benar-benar hidup.
Dan di titik inilah kita perlu bercermin. Bisakah kita, dengan segala keterbatasan, melakukan sesuatu atas dasar ketulusan? Bisakah berbuat baik kepada orang lain justru menjadi sumber kebahagiaan kita sendiri? Terkadang, sebagian besar manusia masih sering egois. Jangankan membahagiakan orang lain, untuk melihat segala sesuatu tanpa ukuran untung-rugi saja rasanya sulit. Seolah semua hal harus ada timbal balik yang sepadan. Padahal, kebaikan sejati justru lahir dari keikhlasan tanpa perhitungan.
Mungkin inilah pesan terpenting yang bisa kita bawa pulang dari kisah mereka: berbuat kebaikan tidak perlu alasan, tidak perlu imbalan, karena ia sendiri sudah cukup untuk membuat hidup lebih berarti. (*)