Elza Peldi Taher
HATIPENA.COM – Minggu ketiga Agustus 2025, sebuah ruang olahraga baru lahir di Ciputat, Tangerang Selatan. Namanya Padel District. Dari luar, gedung itu tampak seperti arena olahraga yang mewah. Tapi bagi kelas menengah kota yang kian gandrung mencari gaya hidup baru, tempat ini ibarat oase di tengah hutan beton. Di sinilah olahraga, hiburan, dan pertemanan bertemu dalam satu ruang. Nama olahraganya, padel.
Padel District Ciputat berdiri dengan empat lapangan berkelas. Bukan hanya sekadar lapangan, tapi ruang yang dirancang untuk kenyamanan: kamar mandi luas dengan pendingin udara, lounge untuk nongkrong yang lega, café modern yang menawarkan makanan ringan kekinian, serta suasana yang membuat orang betah berlama-lama. Rasanya seperti sebuah klub sosial yang menyamar menjadi arena olahraga.
Di area yang sama, juga ada fasilitas billiard, yang menghadirkan 16 meja billiard dengan ruangan berkelas. Interior yang modern dan nyaman membuatnya lebih dari sekadar tempat bermain; ia menjadi arena pertemuan yang elegan.
Bagi sebagian orang, billiar adalah olahraga konsentrasi, kesabaran, dan strategi. Denting bola yang saling bertabrakan seakan memberi ritme tenang, berbeda dari riuh rendah di lapangan padel. Perpaduan keduanya—padel yang dinamis dan billiar yang anggun—membuat Padel District hadir sebagai ruang olahraga yang lengkap: tempat tubuh bergerak, pikiran bermain, dan jiwa bersosialisasi.
Dari Futsal ke Padel
Bagi warga Ciputat, tempat ini bukanlah arena baru. Selama 17 tahun terakhir, area ini dikenal lapangan futsalcamp. Anak muda, komunitas kampus, hingga pekerja kantoran pernah menghabiskan malam-malamnya di sini, berlari mengejar bola di lapangan.
Namun, zaman bergerak. Tren olahraga pun berubah. Futsal yang dulu menjadi magnet kini perlahan memberi ruang pada olahraga baru. Futsalcamp kemudian mereformasi diri: dari lapangan futsal yang melegenda menjadi arena padel dan juga billiard yang lebih segar. Sebuah metamorfosis, dari ruang lari ke ruang gaya hidup.
Padel District dan Billiar district diharapkan jadi rumah kedua bagi orang-orang Ciputat, Cinere, Pamulang, Bintaro, hingga Parung. Tempat olahraga tapi juga tempat bertemu kawan baru, tempat gaya hidup baru.
Padel: Tenis yang Jatuh Cinta pada Squash
Apa itu padel? Bagi banyak orang Indonesia, nama ini masih terdengar asing. Tapi di banyak kota dunia, padel adalah bintang baru olahraga raket. Ia lahir di Meksiko pada 1969, dibesarkan di Spanyol, lalu menjelma fenomena global. Lapangannya lebih kecil daripada tenis, dikelilingi kaca layaknya squash. Permainannya sederhana, hanya ganda melawan ganda, dengan raket padat berlubang.
Padel seperti tenis yang jatuh cinta pada squash, menghasilkan anak yang lincah, ramah, dan menyenangkan. Tak perlu bakat luar biasa, cukup keberanian untuk memukul bola dan sedikit ketangkasan. Dua menit masuk lapangan, orang sudah bisa tertawa, berlari, dan merasa menjadi bagian dari permainan.
Tren Baru Kelas Menengah
Di kota-kota besar, olahraga kini bukan sekadar soal keringat. Ia adalah identitas. Jogging di CFD, bersepeda dengan jersey lengkap, hingga yoga di studio estetik—semuanya bagian dari ekspresi kelas menengah urban. Padel kini masuk ke dalam daftar itu.
Tak heran, lapangan padel di Jabodetabek selalu penuh. Ada yang harus menunggu dua hingga tiga minggu untuk mendapat giliran. Data dari Pengurus Besar Padel Indonesia (PBPI) menyebut kini lebih dari seratus lapangan padel permanen. Jumlah itu akan terus bertambah. Angka itu menjadikan Indonesia salah satu negara dengan pertumbuhan padel tercepat di Asia Tenggara.
Padel, dengan cepat, menjadi kopi susu kekinian dalam bentuk olahraga. Semua orang ingin mencobanya, semua ingin mengunggah foto raket padel di media sosial, semua ingin menjadi bagian dari tren.
Masuknya padel ke Indonesia dimulai dari Bali. Di Pulau Dewata, wisatawan Eropa membawa serta kebiasaan mereka bermain padel. Komunitas kecil itu lalu tumbuh, sebelum akhirnya menyebar ke Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota-kota lain.
Kini, bukan hanya Ciputat yang terhubung dengan gelombang itu, tetapi juga Cinere, Pamulang, Bintaro, hingga Parung. Kawasan-kawasan penyangga Jakarta ini tengah tumbuh menjadi kantong kelas menengah baru. Kehadiran Padel District di Ciputat sekaligus menyapa mereka yang setiap hari mencari ruang segar untuk olahraga dan bersosialisasi.
Lebih dari Sekadar Olahraga
Padel District memosisikan diri bukan hanya arena olahraga, melainkan ruang sosial. Empat lapangan padel dan 16 lapangan Billar yang siap digunakan pagi menjelang kantor atau sore sepulang kerja, ditambah ruang nongkrong ber-AC, menjadikan tempat ini sebuah “ruang ketiga”, antara rumah dan kantor, yang nyaman dan penuh energi.
Di sore hari, ketika cahaya matahari jatuh di balik gedung, lapangan padel terlihat berkilau. Bola memantul ke dinding kaca, suara tawa pecah di udara, dan dari café terdengar denting gelas kopi yang beradu pelan. Suasana itu membuat padel terasa bukan sekadar olahraga, melainkan perayaan kecil akan hidup.
“Awalnya saya penasaran, tapi ternyata main padel gampang banget. Setelah sekali coba, saya ketagihan,” ujar seorang pemain pemula dari Bintaro yang mencoba lapangan padel untuk pertama kalinya.
Untuk mencapainya pun mudah. Padel District terletak di punggung jalan utama Ciputat, hanya tiga menit dari Tol Gaplek Pamulang. Lokasi yang strategis membuat siapa saja dari selatan Jakarta hingga Parung bisa datang tanpa perlu repot.
Penutup
Padel District lahir di tengah momentum. Ketika gaya hidup urban terus mencari simbol-simbol baru, padel hadir seperti angin segar yang menerpa kaca jendela kota yang berembun.
Kehadiran padel District, bukan sekadar bertambahnya fasilitas olahraga. Ia adalah tanda zaman: bahwa olahraga kini bukan lagi sekadar lari di stadion atau bulu tangkis di gang rumah. Olahraga adalah perayaan hidup, identitas sosial, sekaligus bagian dari gaya hidup. (*)
Ciputat 22 Agustus 2025